Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ternyata Nggak Harus Lahir Sempurna untuk Jadi Model Iklan di Jerman

28 Mei 2018   20:10 Diperbarui: 28 Mei 2018   20:49 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Draft halaman 2 majalah mebel Jerman (dok.Moebel Fetzer)

Ada yang pernah ngimpi jadi cover majalah atau model iklan? Yang punya postur tubuh lencir-tinggi dan langsing, wajah bening, ganteng presto, badan macho six packs atau kelebihan wadag lain, pasti lah lebih lancar jalannya ketimbang orang yang terlahir kurang atau biasa-biasa saja tampilannya.

Bagaimanapun, mumpung berkhayal itu nggak bayar, silakan bermimpi dan mencapai cita-cita apapun itu sampai titik darah penghabisan. Tuhan ada di mana-mana. Selalu ada jalan yang terbuka bagi orang baik, anak manis. Kalau nanem baik, panennya pasti inshaallah baik. Setuju?

Nahhhh, meskipun saya nggak pernah sekalipun ngimpi jadi cover sebuah majalah di Indonesia, apalagi di Jerman (bukan jejer taman atau jejer Kauman), ternyata itulah garis yang dibuat Allah tahun 2018 ini. Wajah saya bakal nampang di cover majalah mebel di kota sebelah! Astagagaganaaaaaa nggak salah? Kok, bisaaaaa? 

Awas, artikel ini panjang dan bisa jadi membosankan. Bagi yang tetap ingin menyimak kisah inspiratif berikut ini, silakan lanjotttt.

Informasi casting foto di Facebook

Pada suatu hari ....

"Bu, Sabtu mau ke mana?" Biasaaaa. Suami suka nanya-nanya acara buat weekend. Bagi kami komunikasi dan jalan bareng adalah sebuah anugerah.

"Biasalah, anter anak klub renang pagi ke kota sebelah. Setelah itu kita bisa jalan-jalan." Jawab saya.

Rupanya, ia punya informasi tentang foto syuting di kota tujuan saya itu. Informasi yang disebarkan lewat media massa Facebook oleh salah satu perusahaan mebel di kota Jerman. 

Suami saya ikut FB group sebuah kota Jerman dan ia membacanya. Informasi berbahasa Jerman yang mengundang siapapun untuk casting, tanpa batasan; usia, jenis kelamin, ras dan lain-lain serta gratis! Peserta boleh membawa tampilan karakter, bisa bawa baju tradisional Jerman seperti Dirndel sampai baju selam. Casting diadakan dua hari.

In vier Tagen ist es soweit!

Wir mchten hiermit nochmals alle einladen die Lust auf ein tolles Shooting haben. Bringt gerne "Charakter-Outfits" mit. Es gibt die Mglichkeit, sich umzuziehen. Von Dirndl bis Tauchanzug ist alles erlaubt :-)Wir freuen uns auf Euch!"

Buntutnya? Diarrrrrrr. Ia pengen saya ikut. Etapi, walahhh, waktu saya coba ngaca di kaca ukuran 2 x 1 meter di kamar tidur, saya ngakak sendiri. Mana ada foto model-madul kayak saya? Badan semampai (semeter tak sampai), hidungnya kayak colokan, kulitnya sawo busuk, wajahnya bundar kayak piring, dadanya trepes dan kaki banyak mur baut bekas dari jatuh polah, panjat pohon atau kesrimpet .... Boro-boro dipilih, lah wong baru casting saja saya khawatir ayam-ayam tetangga dari jago sampai kate pada keselek ketawa. Kalau jadi cover beneran, yang lihat bisa pada nggeblag, jatuh. Apa kata duniaaaa?

Aturan Casting

Demi menyenangkan hati belahan jiwa saya itu, pada hari H2, saya tetap berangkat. Niat saya, meski saya nggak PD buat ikut tapi tetap anterin dua gadis yang suka nonton Germany's next top model (GNTM) yang tayang tiap Kamis/Jumat bareng-bareng.

Hatahhh. Iya, yang gede dulu bercita-cita jadi walikota tapi begitu banyak lihat modelnya Heidi Klum, pengen jadi model. Yang bungsu, pengen jadi desainer baju merek "She-She" dan tinggal di Paris. Yo wisss, yang mewarisi bakat menari jadi ronggeng dukuh Seitingen nggak ada. Saya ingat "Anakmu bukan milikmu..."

Hahhh, membuka jalan anak masuk modelling? Teman-teman, mungkin ada negara atau orang tua yang nggak suka ada anak di bawah umur dikenalin dunia model. Saya termasuk pendukung apa saja bakat dan minat positif anak. Lahhh, kalau negatif, baru saya blandring pakai ketapel pasti luput. Maka dari itu, kalau anak-anak sudah mau sendiri buat ikutan casting di depan kamera, dilihat orang banyak, jadi anak pemberani ...yup, itu bagus! Jadi anak harus tangguh, jangan sedikit-sedikit "nggak bisa" atau nggak mau". Mencobalah sesuatu yang baru, penuh petualangan dan pengalaman berharga.

Dan lagi, kota tempat casting itu nggak jauh dari rumah, cuma 15 menit. Kalau ngebut meski tanpa benjut, bisa 10 menit lah. Jalannya kanan-kiri hutan, jadi agak sepi. Begitu tiba di pintu utama, bingung juga, kok sepi. Untung ada meja resepsionis yang bisa ditanya. Seorang petugas mengantar kami ke belakang sampai meja pendaftaran. Kami melewati show room mebel.

Di sana, seorang pemuda mempersilakan kami mengisi formulir. Disuruh mengisi data pribadi dan menandatangani ketentuan (bahwa foto boleh diunggah di FB, jika menang masuk majalah dan seterusnya). Karena anak-anak belum berumur 18 tahun, saya yang harus tanda tangan.

Haduhhh, anak yang gede ngambek. Tiba-tiba nggak mau ikut dan nggak mau ngisi formulir. Lah tadi di rumah siapa yang bilang mau,  sekarang bilang tempe. Halahhh, udah direwangi mbolos renang buat ikut casting eee ... sampai di tempat nggak jadi. Piye, jal? Sebel, kan nggak konsekuen. Waktu saya bujuk kalau dia ikut, mama ikut juga ... baru dia mau. Hahaha .... ada-ada saja. Kami pun diberi nomor dada.

Pemotretan

Selama dua hari dari tanggal 20-21 April pukul 09.00-17.00, seorang perias Stephanie Preuss sudah siap dengan perangkat kosmetik, cermin dan pernak-pernik yang dibutuhkan untuk menyulap wajah peserta casting.

Jiahh, punya saya disulap gimana? Dioperasi mah baru cling. Makanya begitu dipermak si mbak, wajah saya nggak berubah. Ajegggg.

Begitu pula anak-anak. Mereka protes "Kok, wajah kita sama saja ya, kayak nggak dimake-up?"

Barangkali karena tipis polesannya. Ingat, Jerman sangat peduli akan kesehatan dan kebersihan. Make up tebal nggak bagus untuk kulit apalagi bagi anak-anak.

Dua staff fotografer mempersilakan kami untuk duduk setelah didandani. Antri, peserta lain juga masih antri di sofa lain. 

Yahhhh, kalau tahu mau difoto saya pasti pakai batik kek atau kebaya biar kesannya "wow" dan Indonesia banget. Karena ikut casting dadakan, nggak siap. Ahhh, sayang sekali, peristiwa yang nggak bisa diulang.

Setelah peserta sebelumnya selesai, giliran kami maju. Anak-anak ditanya siapa yang mau duluan. Si bungsu ngacung. Lalu yang gede gantian difoto. Selanjutnya, keduanya barengan.

"Anda mau ikut foto bertiga?" Tanya fotografer yang rambut blondenya dikepang putar kepala seperti orang Yunani kuno.

Sebelumnya, saya tanya anak-anak, apa mau foto sama emaknya. Namanya anak-anak, kalau nggak berkenan, takutnya ngambek lagi. Bujuk lagi. Syukurlah mereka mengangguk. Kami pun foto bertiga. Adu-duuh, bingung juga mau gaya orang nggak pernah lomba foto casting.

Saya ingat waktu SMA pernah dijawil teman SMP, Iwan Ryanto buat jadi model gratisan seorang fotografer muda yang lagi belajar motret. Saya lupa namanya. Yaelahhh, kayak model sabun colek. Untung hanya untuk coba-coba dan koleksi pribadi. Time flies.

Di depan kamera dengan ribuan watt lampu di sanalah, kami diaba-aba suruh ketawa, berdiri seperti barisan tangga dengan tangan satu di pinggang dan lainnya. Kok, ngerasa kayak grup koor.

Tadi anak-anak disuruh berdiri, duduk, mendongak, close-up dan lain-lain. Begitu pula giliran saya casting. Tentu itu dilakukan setelah difoto gaya KTP dengan nomor dada.

Jumlah foto kami bertiga ada kalau 40 shots/takes. Selesai foto, kami dipersilakan menunggu untuk melihat semua hasil pemotretan. Sebelum pulang ke rumah, datang seorang pria tua bijaksana umuran 70 an bertanya "Sudah casting?" Beliau lah yang tadi di dekat meja pendaftaran juga mendatangi kami dan bertanya "Anda mau ikut casting?" Saya ngakak karena GR. Ini bapak pasti ngefans saya, tanya-tanya sampai dua kali. Hahaha ... Tambah gubrak mau salto karena begitu lihat papan staff, ternyata si bapak itu .... yang punyaaaaa (perusahaan).

Voting

Pemotretan beres. Rutinitas kembali normal.

Tepat tanggal 25 April, atau 4 hari setelah pemotretan, informasi dari perusahaan mebel itu mengumumkan semua foto (80), sudah bisa divoting. Terserah voter mau pilih yang mana. Mereka juga mengucapkan terima kasih atas partisipasi ratusan peserta selama dua hari itu.

Setelah mengunggah dua foto terbaik dari tiga yang dipilih tim, saya posting di facebook saya,  supaya teman-teman bantu vote. Pikir saya, kalau 1 persen dari 2210 teman bisa vote sudah bagus.

Hasilnya? Jumlah vote gambar kami bertiga 248 like dan gambar anak berdua 97 like. Banyak voter yang vote di postingan, bukan di foto pada FB perusahaan mebel itu. Saya harus ekstra mengirim pesan lagi, meminta teman-teman untuk mengulanginya dengan cara meng-klik gambar dan like di sana. Maaf ya, pada digangguin.

Suami saya malah unggah foto ketiganya (foto saya bersama anak-anak, foto anak-anak berdua dan foto saya sendirian). Halah. Saya maluuuu, mosok foto saya jelek disuruh ngevote jin dan manusia?

Hasilnya, jumlah perolehan vote terakhir; foto kami bertiga dapat 619 suara, foto anak-anak berdua 516 suara dan foto saya sendirian, 39 suara saja. Sedangkan satu pasutri dari Jerman mendapat vote yang lumayan 357.

Draft halaman 2 majalah mebel Jerman (dok.Moebel Fetzer)
Draft halaman 2 majalah mebel Jerman (dok.Moebel Fetzer)
Jadi model cover majalah mebel Jerman

Voting berjalan hari demi hari. Menunggu adalah pekerjaan yang mendebarkan. Was-was?

"Kok, info siapa yang menang nggak ada, ya? Apa kutelpon saja sekarang?" Usul suami saya. Ia nggak sabar, sudah dua minggu nggak ada berita. Apa betul kalau banyak voter di FB akan menang dan jadi model iklan mereka?

"Jangan, pak, sabar. Tunggu sampai 1 bulan, tanggal 21 Mei baru telponlah." Saya pengen suami saya belajar sabar. Haaa mana ada orang Jerman eperti dia sabar? Maunya cepaaat saja. Pikir saya, pasti tim butuh waktu untuk menjatuhkan keputusan.

Siapa yang sabar, subur. Tepat pada tanggal 15 Mei 2018, sebuah email saya terima dari bagian iklan perusahaan tersebut yang mengucapkan terima kasih atas partisipasi dalam acara casting. Kedua, mengabarkan bahwa tim telah memutuskan bahwa kami bertiga yang jadi pemenang. Ketiga, informasi bahwa foto saya akan dipasang di toko, jadi cover dan foto kami bertiga jadi halaman kedua dalam majalah mebel mereka, dicetak 75.000 eksemplar. Wow, bahkan selama ini buku saya saja hanya dicetak 1-3000 eksemplar saja.

Eh, bukannya foto saya hanya 39 vote, kok jadi model cover? Bukankah foto kami bertiga yang paling banyak vote? Kenapa foto rame-rame nggak jadi cover? Saya taksir, keputusan juri nggak bisa diganggu gugat! Apalagi, hey, ini Jerman yooo! Barangkali banyak penilaian yang nggak hanya dari penampakan tapi dengan cara menerawangggg. Heboh. 

Silakan menyimak foto para peserta lain yang sumpah, lebih hebat dan bagus dari saya di sini. Saking nggak enaknya dapat vote banyak, sementara yang lain hanya dapat sedikit vote, saya ngasih LIKE semua foto.

Hikmah yang saya ambil

Teman-teman, selain kabar gembira itu, terus terang banyak pengalaman pahit pernah di-bully sejak kecil, yang kadang membuat saya bertanya pada diri sendiri "mengapa saya dilahirkan tidak sempurna?"

Saya ingat puluhan tahun yang lalu, pernah ikut tes program pertukaran pelajar di Depdikbud Semarang. Meski memperoleh angka tertinggi, saya nggak jadi berangkat karena tinggi badan nggak sampai 165 cm. Omaigot, bertubuh pendek jadi kelemahan yang membuat jalan saya menuju Canada putus. Sudah ada 26 negara yang saya kunjungi, suatu hari nanti saya ingin jalan-jalan ke sana bersama keluarga. Pasti, entah kapan.

Saya ingat, ada anak laki-laki yang teman sekelas waktu di SMA, yang selalu memandang sinis dan bilang "Kamu jelek, nggak usah deket-deket kami", atau "Ya, ampun kamu pakai bedak kelly, ya? Wajah kamu mengkilat." Atau "Wah, wajah kamu kayak Yati Pesek, hidungmu itu lho ..." Ternyata, punya wajah jelek adalah pemandangan yang mampu mengganggu orang lain.

Saya nggak bakalan lupa pernah ikut tes di TVRI Pucanggading Semarang, nilainya tertinggi tapi nggak dipilih jadi penyiar TV karena yang dipilih yang kinyis-kinyis, umuran 19 tahun. Rupanya, usia dan wajah yang menarik adalah potensi unggul yang menentukan nasib seseorang.

Karena nggak dilahirkan sempurna, saya memang bukan orang yang banyak mengandalkan wajah dan tubuh dalam hidup. Sadar diri.

Saya harus bagaimana? Akhirnya gembira menemukan bahwa menonjolkan apa yang saya bisa adalah hal yang menyenangkan, nggak hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain. 

Misalnya menari, menulis artikel/buku, berbicara, menyanyi, membuat/mengisi acara atau bakat terpendam lain yang membuat saya bisa dihargai orang karena keunikan yang saya punya. Berbuat baik dan selalu bantu orang lain, semampu saya menjadikan hidup ini serasa nikmat dan begitu indah.

Terakhir, nggak dinyana nggak diduga, dari keajaiban jadi model iklan mebel di Jerman pada HUT ke-40 mereka tahun 2018 itu, saya semakin merasa yakin bahwa Tuhan punya banyak rahasia yang banyak manusia jangankan tahu, mengintip saja nggak bakalan bisa.

Untuk itulah, tetap berpikiran positif, bermanfaat dan aktif dalam hidup, adalah hal yang selalu ingin saya lakukan sampai mati. Bagaimana dengan Anda? Tetap semangat. Selamat hari Senin, I like Monday too.

Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun