Tingkatan skor UKBI
Kategori tingkatan UKBI sesuai skor adalah sebagai berikut:
- Istimewa (skor 725-800)
- Sangat unggul (skor 641-724)
- Unggul (skor 578-640)
- Madya (skor 482-577)
- Semenjana (skor 405-481)
- Marginal (skor 326-404)
- Terbatas (skor 251-325)
Pada dasarnya, UKBI mencakup 40 butir soal dengan wacana lisan 4 dialog dan 4 monolog. Waktunya? Hanya 30 menit. Untuk seksi merespons kaidah, ada 25 soal selama 20 menit. Soal tertulis berupa kalimat, di mana peserta harus memilih opsi pengganti untuk bagian yang salah dalam kalimat tersebut.
Kemudian, seksi ketiga adalah membaca. Ada 5 wacana tulis dan masing-masing berisi 8 butir soal. Waktunya 40 menit. Dikira-kira saja, satu wacana 1 menit? Mana bisa. Saya ini lamban. Omaigot.
Keempat, seksi menulis. Hanya ada 1 butir soal, yakni mempresentasikan gambar/diagram/tabel sebanyak 200 kata selama 30 menit.
Jika seksi 1-3 terlalu lama mengerjakannya dan waktunya habis berarti sudah tidak punya kesempatan lagi pada seksi ini.
Mirip dengan tes bahasa Jerman TELC (B1-B2) yang saya pernah jalani di mana dua penguji memberi kesempatan peserta presentasi tentang sebuah tema yang dipilih dan memberi beberapa pertanyaan. Dalam UKBI, seksi berbicara juga sebagai seksi terakhir. Hanya ada 1 butir soal selama 15 menit, mempresentasikan gambar/diagram/tabel secara lisan.
Mengapa harus ada UKBI?
Karena Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI ingin agar bahasa Indonesia yang dipakai oleh lebih dari 250 juta penduduk Indonesia itu sejajar dengan bahasa besar lain di dunia. Kalau di Jerman penduduknya 80 juta dan menggunakan bahasa Indonesia, jumlah penggunanya masih kalah dengan pengguna bahasa Indonesia, bukan?
Nah, tes standar bagi penutur jati maupun penutur asing ini penting sekali dan bermanfaat. Coba saja, kalau belajar bahasa Inggris, kita akan mendapat sertifikat TOEFL atau IELTS, sedangkan bahasa Jerman dengan GOETHE atau TELC. Sedangkan bahasa Indonesia belum ada, padahal sudah banyak orang asing yang mempelajarinya. Paling tidak, mereka yang tersebar di 64 negara di dunia.
Menurut Manu, mantan mahasiswa HTWG Konstanz, pernah belajar bahasa Indonesia di sana juga menjadi posisi tawar yang tinggi ketika melamar pekerjaan. Selain bisa bahasa Jerman sebagai bahasa ibu dan bahasa Inggris, ada bahasa Indonesia.