Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berapa Tingkat Uji Kemahiran Bahasa Indonesia Anda?

8 November 2017   16:35 Diperbarui: 8 November 2017   19:14 7686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghadiri lokakarya Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing, APPBIPA memang sesuatu. Bersyukur bahwa mbak Andi Nurhaina ingat untuk mengundang saya agar ikut. Tanpanya, saya tak bisa. Terima kasih, mbak!

Dalam acara, mbak Ari yang diutus APPBIPA pusat itu menyampaikan tentang UKBI atau Uji Kemahiran Bahasa Indonesia. "TOEFL-nya Bahasa Indonesia"

"Siapa yang mau jadi relawan untuk simulasi UKBI?" Dr. Ari, dosen UN Yogyakarta bertanya pada kami.

Waaaa... saya mau kabur. Semua saling berpandangan. Kami mengkeret, sungkan. Akhirnya, didaulatlah Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Berlin, Dr. Ahmad Saufi.

"Pak Saufi... Pak Saufiii...Pak Saufiiiii." Sorak-sorai kami.

Hahaha... saya bayangkan di kaos dalam atase baru kita itu mengalir keringat sebesar biji jagung, deras berjatuhan. Menang jadi abu, kalah jadi arang.

"Tenang, saja... kamu tidak bakal dipecat." celetuk pak dubes RI untuk Jerman. Hahaha, Pak Foke... nambah-nambahin kecepatan skala jantungnya saja.

Pak Saufi diam tapi bukan semedi. Kepala pria ramah itu menunduk sebentar, geleng-geleng kepala, lalu maju ke depan. Merasa didaulat penuh oleh peserta yang hadir, termasuk saya adalah kehormatan. Betul, pak?

Dengan yakin, Pak Saufi duduk di meja pemateri. Beliau mencoba tes kemahiran berbahasa Indonesia (UKBI). Hei, sebentar, rupanya nggak hanya beliau yang deg-degan jantungnya. Saya, kok, juga ikut tegang? Bagaimana kalau saya yang dites dan ternyata nggak lulus? Hiyy, malu. Secarik kertas saya sobek, pikir saya, untuk menuliskan jawabannya. Ingin tahu sejauh mana Bahasa Indonesia saya. Alamak!

Ehem. Suasana tenang. Kami menjaga ruangan tetap sunyi, supaya pak Saufi bisa konsentrasi.

TET!

Huh, suaranya kenceng banget, buru-buru operator yang muda dan ganteng (mahasiswa HTWG) segera maju ke depan dan mengatasinya. Simulasi ujian pun dimulai. Pak Saufi mengamati layar komputer di depan beliau. Kami memandangi layar proyektor. Aturan mengerjakan UKB tertera di sana. Ada beberapa menit waktu untuk membaca pertanyaan sebelum percakapan dimulai. Sama seperti tes bahasa Jerman di Jerman.

Percakapan (dok.APPBIPA)
Percakapan (dok.APPBIPA)
Sebuah percakapan terdengar, antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Dari sana, banyak informasi yang harus diserap. Contohnya; berapa jumlah uang yang dibayarkan, berapa uang yang dikembalikan, apa reaksi si pria dan seterusnya. Menurut mbak Inna Herlina (dosen bahasa Indonesia di Berlin) dan saya, pak Saufi salah menjawab soal nomor satu. Harusnya Rp 100.000,00.

"Eh, itu salah yang nomor satu." Sebuah suara di sayap kanan terdengar.

"Ssssst ..." Yang lain di sayap kiri mengingatkan untuk tetap  tenang. Ini simulasi, layaknya ujian yang tidak boleh diganggu atau diintimidasi. Nggak boleh bocor.

Mana yang benar? (dok.APPBIPA)
Mana yang benar? (dok.APPBIPA)
Pemahaman teks (dok. APPBIPA)
Pemahaman teks (dok. APPBIPA)
Berikutnya, pak Saufi disuruh membaca sebuah teks dan menjawab pertanyaan dengan jawaban model pilihan dalam waktu 5 menit. Aduuuuh, cepat sekali. Saya, yang ikut mikir, sudah panik duluan. Tolonnnnnngg, oh, lontong! Kepala serasa jadi kelapa, nggelindingggg. Kepala diparut, kelapa digaruk. Hahaha.

Akhirnya, saking cepetnya simulasi, pak Saufi salah klik dan hasil tes berlalu. Yaaaah ... hanya bisa dilihat dalam sekian detik. Walahhh, tadi berapa, ya?

"Teman-teman ada yang sempat lihat, berapa skor pak Saufi?" mbak Ari bertanya pada kami.

"Santai saja, pak, pasti tadi "I"...." Seru seorang peserta wanita. "I", yang dimaksud adalah istimewa. Ujaran si mbak, disambut tawa lebar kami. Haaa ... iya, tadi nggak awas melihat layar. Konon, hanya ada 1-2 orang peserta UKBI yang selama ini berhasil mencapainya. Susah pakai banget.

"Benarkah?" Pak Saufi nggak percaya diri. Hihihi.

"Pasti sengaja, tuh, biar nggak ketahuan." Mas Erwin yang aktif di beragam ormas di Hamburg itu menyindir. Si mas yang lucu itu memang pandai bercanda. Hahaha ... lihatlah, pak Saufi malu lagi. Idih, merah padam.

Ya, ampun, betul. Tes UKBI memang butuh konsentrasi penuh dan pemahaman yang luas pada rekaman suara (percakapan), pertanyaan dan teks yang ada. Jadi, jangan meledek pak Saufi karena jangan-jangan kita sendiri lebih buruk dari beliau. Hihihi. Seperti halnya tes bahasa Jerman, tes bahasa Indonesia itu juga sangat terbatas waktunya. Nggak bisa lenggang kangkung lantaran berpacu dalam waktu. Selesai, tidak selesai, dikumpulkan. Setelahnya, meres otak, apa bisa mencapai skor yang diinginkan?

Tingkatan skor UKBI

Kategori tingkatan UKBI sesuai skor adalah sebagai berikut:

  • Istimewa (skor 725-800)
  • Sangat unggul (skor 641-724)
  • Unggul (skor 578-640)
  • Madya (skor 482-577)
  • Semenjana (skor 405-481)
  • Marginal (skor 326-404)
  • Terbatas (skor 251-325)

Pada dasarnya, UKBI mencakup 40 butir soal dengan wacana lisan 4 dialog dan 4 monolog. Waktunya? Hanya 30 menit. Untuk seksi merespons kaidah, ada 25 soal selama 20 menit. Soal tertulis berupa kalimat, di mana peserta harus memilih opsi pengganti untuk bagian yang salah dalam kalimat tersebut.

Kemudian, seksi ketiga adalah membaca. Ada 5 wacana tulis dan masing-masing berisi 8 butir soal. Waktunya 40 menit. Dikira-kira saja, satu wacana 1 menit? Mana bisa. Saya ini lamban. Omaigot.

Keempat, seksi menulis. Hanya ada 1 butir soal, yakni mempresentasikan gambar/diagram/tabel sebanyak 200 kata selama 30 menit.

Jika seksi 1-3 terlalu lama mengerjakannya dan waktunya habis berarti sudah tidak punya kesempatan lagi pada seksi ini.

Mirip dengan tes bahasa Jerman TELC (B1-B2) yang saya pernah jalani di mana dua penguji memberi kesempatan peserta presentasi tentang sebuah tema yang dipilih dan memberi beberapa pertanyaan. Dalam UKBI, seksi berbicara juga sebagai seksi terakhir. Hanya ada 1 butir soal selama 15 menit, mempresentasikan gambar/diagram/tabel secara lisan.

Mengapa harus ada UKBI?

Karena Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI ingin agar bahasa Indonesia yang dipakai oleh lebih dari 250 juta penduduk Indonesia itu sejajar dengan bahasa besar lain di dunia. Kalau di Jerman penduduknya 80 juta dan menggunakan bahasa Indonesia, jumlah penggunanya masih kalah dengan pengguna bahasa Indonesia, bukan?

Nah, tes standar bagi penutur jati maupun penutur asing ini penting sekali dan bermanfaat. Coba saja, kalau belajar bahasa Inggris, kita akan mendapat sertifikat TOEFL atau IELTS, sedangkan bahasa Jerman dengan GOETHE atau TELC. Sedangkan bahasa Indonesia belum ada, padahal sudah banyak orang asing yang mempelajarinya. Paling tidak, mereka yang tersebar di 64 negara di dunia.

Menurut Manu, mantan mahasiswa HTWG Konstanz, pernah belajar bahasa Indonesia di sana juga menjadi posisi tawar yang tinggi ketika melamar pekerjaan. Selain bisa bahasa Jerman sebagai bahasa ibu dan bahasa Inggris, ada bahasa Indonesia.

Sayangnya, di Jerman sendiri belum model ujian untuk mendapatkan sertifikat (bahasa Indonesia) nya dan kursus persiapan ujiannya. Untung sekarang ada APPBI Jerman. Semoga akan ada ujian dan sertifikatnya (disesuaikan dengan keadaan di Jerman). Pak Fauzi Bowo, dubes RI untuk Indonesia yang hadir mengatakan bahwa pengesahannya tidak semudah kata-kata. Banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menuju ke sana. Semoga saja sepeninggal beliau, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di Berlin (Bapak Dr. Ahmad Saufi) akan memperjuangkannya. Janji, ya, pak?

Meski masih kepikiran, ketika banyak orang asing yang belajar bahasa Indonesia di seluruh dunia mengkritik bahwa pemakaiannya hanya dalam sektor formal tetapi dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak bahasa gaul yang dipakai masyarakat, bukan bahasa baku. Bagaimanapun UKBI ini pengakuan sejauhmana seseorang mahir berbahasa Indonesia entah penutur asli/jati atau asing sekalipun. SPS, Sangat Penting Sekali.

*

Ya, ya, ya... sadar. Tes TOEFL pasti sudah, tes IELTS sudah pernah dengar, TELC sudah mencoba  tapi UKBI malah belum. Halaaaaah. Padahal, bahasa Indonesia adalah bahasa ibu. Belum tentu orang Indonesia mahir berbahasa Indonesia di atas kertas (sertifikat). Jangan-jangan orang asing lebih mahir dalam tes UKBI ini. Bagaimana ini? Tertarik untuk mencoba sejauhmana kemahiran Anda dalam berbahasa Indonesia? Coba saja tesnya dan unduh di UKBI Kemdikbud. Selamat mencoba. Jangan lupa siapkan air putih. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun