Huh, suaranya kenceng banget, buru-buru operator yang muda dan ganteng (mahasiswa HTWG) segera maju ke depan dan mengatasinya. Simulasi ujian pun dimulai. Pak Saufi mengamati layar komputer di depan beliau. Kami memandangi layar proyektor. Aturan mengerjakan UKB tertera di sana. Ada beberapa menit waktu untuk membaca pertanyaan sebelum percakapan dimulai. Sama seperti tes bahasa Jerman di Jerman.
"Eh, itu salah yang nomor satu." Sebuah suara di sayap kanan terdengar.
"Ssssst ..." Yang lain di sayap kiri mengingatkan untuk tetap tenang. Ini simulasi, layaknya ujian yang tidak boleh diganggu atau diintimidasi. Nggak boleh bocor.
Akhirnya, saking cepetnya simulasi, pak Saufi salah klik dan hasil tes berlalu. Yaaaah ... hanya bisa dilihat dalam sekian detik. Walahhh, tadi berapa, ya?
"Teman-teman ada yang sempat lihat, berapa skor pak Saufi?" mbak Ari bertanya pada kami.
"Santai saja, pak, pasti tadi "I"...." Seru seorang peserta wanita. "I", yang dimaksud adalah istimewa. Ujaran si mbak, disambut tawa lebar kami. Haaa ... iya, tadi nggak awas melihat layar. Konon, hanya ada 1-2 orang peserta UKBI yang selama ini berhasil mencapainya. Susah pakai banget.
"Benarkah?" Pak Saufi nggak percaya diri. Hihihi.
"Pasti sengaja, tuh, biar nggak ketahuan." Mas Erwin yang aktif di beragam ormas di Hamburg itu menyindir. Si mas yang lucu itu memang pandai bercanda. Hahaha ... lihatlah, pak Saufi malu lagi. Idih, merah padam.
Ya, ampun, betul. Tes UKBI memang butuh konsentrasi penuh dan pemahaman yang luas pada rekaman suara (percakapan), pertanyaan dan teks yang ada. Jadi, jangan meledek pak Saufi karena jangan-jangan kita sendiri lebih buruk dari beliau. Hihihi. Seperti halnya tes bahasa Jerman, tes bahasa Indonesia itu juga sangat terbatas waktunya. Nggak bisa lenggang kangkung lantaran berpacu dalam waktu. Selesai, tidak selesai, dikumpulkan. Setelahnya, meres otak, apa bisa mencapai skor yang diinginkan?