Konstanz, Jerman. Meski sudah berkali-kali berkunjung ke kota yang cantik dan hangat ini, ya ampun ... saya kesasar. Awalnya, saya sudah mencari alamat dengan googlemap. Nyatanya, saya lebih percaya apa kata orang di jalan. Ya, saya memilih jalan yang lebih jauh yang ditunjukkan mereka.
Astagagagana. Setelah berjalan hampir sejam (yang harusnya hanya 17 menit), tibalah saya di tempat tujuan, sekolah tinggi HTWG Konstanz di gedung James Bond F007. Di sanalah, saya mengikuti lokakarya APPBIPA di Jerman. Horeeee, bebas tiga hari dari tugas di rumah! Selamat tinggal dapur, kasur, sumur....
Apa itu APPBIPA?
Nama yang memang baru pertama kali saya dengar. Baru sadar, terlalu lama tinggal di Jerman membuat saya nggak begitu mengikuti perkembangan terbaru di tanah air dan tentu, bahasanya meskipun rajin di medsos. Hahaha. Kapok lombok.
Adalah mbak Dr. Ari Kusmiatun. Pengurus pusat APPBIPA atau Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing dari Indonesia itu juga dosen Universitas Negeri Yogyakarta. Bahagianya bertemu dan mendapat banyak ilmu dari salah satu pemateri dalam lokakarya yang dihadiri dosen bahasa Indonesia dari berbagai universitas Jerman dan VHS Jerman.
Tujuan mbak Ari banyak, antara lain yang pertama, sosialisasi APPBIPA, badan yang jadi pemersatu para pejuang BIPA. Di Jerman sendiri, cabangnya baru satu. Tepok jidat dulu. Dibandingkan dengan Thailand, sangatlah jauh. Kok, bisaaa? Aneh, padahal minat belajar Bahasa Indonesia di negeri yang punya bahasa Jerman itu termasuk masih ada dan bagus.
Tambah keriting begitu mendengar mbak Poppy, dosen bahasa Indonesia di Universitas Koeln cerita tentang hasil sebuah riset yang dibacanya, memberitakan lain. Jumlahnya menurun. Oh, inikah PR yang akan digarap lokakarya? Jangan tanya pada rumput yang bergoyang. Jangan pula tanya pak Jokowi, apalagi menteri-menteri beliau. Hahaha.
Tak berapa lama, mbak Andi selaku pemrakarsa acara menyentil, APPBIPA Jerman akan bermetamorfosis sebagai APPBIPA Eropa, setelah nanti APPBIPA Swiss berdiri. Wow, bersatu kita teguh, bercerai jangan sampai. Diharapkan, di masa mendatang pun semakin banyak cabang APPBIPA di Jerman. Semoga (iconmata merem,berdoa). Jerman nggak boleh kalah.
Kedua, menyampaikan evaluasi dalam pembelajaran BIPA (UKBI atau UKBIPA).
Ketiga, menjadi jembatan pengukuhan APPBIPA Jerman dengan APPBIPA pusat lewat Skype oleh Dr. Liliana Muliastuti, M.Pd, ketua APPBIPA pusat di Jakarta.
Tujuan saya sendiri apa? Ingin belajar (siapa tahu suatu hari nanti jadi guru bahasa Indonesia di Jerman, nggak melulu bahasa Inggris yang bukan bahasa ibu) dan mendapat ilmu serta teman baru. Seru, rasa nganan saya semakin besar dibandingkan ngiri. Semakin ke dalam, semakin terlihat saya ini kecil dibanding semua yang hadir, sebutir debu. Geleng-geleng kepala, bukan dari minum obat gedeg. Perempuan-perempuan diaspora di Jerman memang bisa!
Apakah Belajar Bahasa Indonesia yang Baku itu Rugi Karena Bahasa Gaul?
Banyak pemateri yang berbagi hari itu. Akan saya ceritakan lain waktu. Kali ini saya ingin berbagi tentang salah satu mantan mahasiswa mbak Andi Nurhaina yang sungguh menggemaskan. Sampai-sampai beberapa dosen yang anaknya sudah di atas duapuluhan tahun bercanda, menyesal karena anaknya itu bukan perempuan. Harapan mengambilnya sebagai calon mantu, pupus sudah. Huh! Ya, sudah jadi calon arang saja.
Sssst, alumni HTWG Konstanz itu bernama Manuel Denner. Dia memenangkan lomba pidato berbahasa Indonesia di KBRI Berlin pada Juni 2016. Luar biasa, anak kami yang separoh orang Indonesia saja belum tentu bahasa Indonesianya nanti akan sefasih dia, mana lucu banget diksinya. Nggak percaya? Dalam percakapan skype dengannya, perut kami betul-betul mulas. Saya yakin bahkan ada peserta yang sampai ke toilet, mengecek apa yang terjadi di balik baju bagian bawah. Itu bukan karena ada orang asing yang berbicara dengan bahasa Indonesia saja tetapi juga apa yang diceritakannya kepada kami.
Begini; waktu SMA, dia pernah ditanya orang tuanya. "Kalau sudah lulus mau apa?" Bingung, Manuel bingung karena keinginannya banyak. Ia tertarik dengan bahasa, budaya dan bisnis. Setelah mencari ke mana-mana di Jerman, ia menemukan HTWG di Konstanz yang punya program studi perkawinan dari semua keinginannya tadi. Di sanalah, ia belajar bisnis dan bahasa Indonesia selama hampir 4 tahun. Berapa? Empat tahun!
Pikirnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 mampu mencapai 5% adalah hal yang luar biasa. Penduduk Indonesia pada tahun 2016 sudah tercatat sebanyak 259 juta jiwa. Indonesia digadang-gadang akan menjadi anggota G7 pada tahun 2030 (Mc Kinsey and company). Kurang opo?
Dengan mempelajari bahasa Indonesia, ada banyak keuntungan yang didapat. Bahkan, dia menyebut bahasa Indonesia itu bahasa istimewa, nggak rumit karena kata kerja tidak berubah meski subyeknya berbeda dan tidak juga berubah ketika waktunya tidak sama (lampau, sekarang dan masa depan). Bangganya hamba ini (icon menepuk dada sampai batuk-batuk manggis).
Ih, sayangnya, dia juga sebel. Opininya, belajar bahasa Indonesia sesuai KBBI selama empat tahun mati-matian di HTWG tapi kupingnya serasa diiris-iris ketika mendengar banyak orang Indonesia sebagai penutur asli, justru seenak jidatnya sendiri.
Sebabnya, ketika dia ke Indonesia, bahasa yang dipelajarinya sampai "berdarah-darah" itu tidak terpakai. Ia bingung memahami kalimat orang. Kasihan, oh kasihan. Ada bahasa gaul, tidak baku dan tidak formal. Walaupun demikian, dia nggak pernah merasa menyesal belajar bahasa baku.
Saya bahkan sampai malu ketika dia menuding bahwa pengalaman bahasa Indonesia orang Indonesia sendiri sebagai penutur asli, kurang! Contohnya, ia melihat tulisan di mana-mana "Dilarang buang sampah di sini." Itu seharusnya menjadi "Dilarang buang sampah di sini." Oh, saya juga sering membuat kesalahan (entah saltik atau karena tidak tahu). Yang menghibur, rupanya kesalahan itu juga ditemukan mahasiswa baru Universiti Teknologi Malaysia tersebut, di negeri jiran. Xixixi .. Ada temannya. Kalau yang pemilik bahasanya saja masih salah-salah dan suka-suka, bagaimana dengan orang asing? Bercerminlah.
Nggak hanya sampai di situ, Manu juga prihatin ketika banyak anak muda Indonesia mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Ya ... Anda tahu, kan yang sedang trend sekarang; kids jaman now.
Bahkan SBY disebutnya sebagai tokoh negara yang memberi teladan buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia. Padahal kata sastrawan Triyanto Triwikromo dari Suara Merdeka Semarang yang kebetulan diundang, pak SBY pernah jadi duta Bahasa Indonesia. Oh, ya? Baru tahu dan saya langsung nyengir kuda.
Kemudian, Manu memetik salah satu teks pidato beliau saat masih menjadi presiden RI. Di sana, masih ada kata "structure", "magnitude" yang diselipkan. Saya sendiri malah nggak pernah mengawasi atau menelitinya. Ini bule, sempat-sempatnya, super rajin. Sejenak, ingatan saya melayang pada Kompasianer Edrida Pulungan, sebagai staf DPRRI yang biasa mempersiapkan semua pidato resmi. Meres otak bikinnya, adem panas tubuhnya. Lah, yang membuat naskah presiden bagaimana, tuh?
Yang paling ngeres adalah saat terjun ke lapangan, di mana pria muda Jerman yang cukup ganteng itu menemukan bahasa Indonesia vs bahasa gaul.
X: Dari mana, Bro?
Y: Dari sana.
Bro, diambil dari kata bahasa Inggris; brother, kakak laki-laki yang disingkat. Bukankah Indonesia mengenal kak, mas atau bang?
Atau:
Seorang bos berkata kepada sekretarisnya: mbak, ini tolong diituin ya?" Meski tidak semua orang paham, si wanita menerima berkas dari atasannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam folder. Manu garuk-garuk kepalanya meski tidak ketombean. Kok, tidak ada subyek atau kata kerja dalam kalimat? Manu bingung. Hahaha, lagi mudik S dan KK.
Atau:
Seorang karyawan menanyakan kepada temannya "Oh, ya ... Itunya sudah dianuin, belum?" Karena paham apa yang dimaksud, temannya menunjukkan hasil kerjanya.
Begitulah, mengapa Manu pusing tujuh keliling pakai baisikel (atau sepeda, kosa kata yang ia dapat dari Malaysia ). Rupanya dalam praktek bahasa Indonesia, tidak semudah kata-kata. Ditambah, kini dia belajar di Malaysia dan meski serumpun dengan bahasa Indonesia, ada kata-kata yang bikin dia kaget. Contoh lainnya; "masuklah dengan percuma" atau "tiket percuma."
Bukankah percuma dalam bahasa Indonesia itu artinya sia-sia. Masak Manu kalau masuk ruangan atau bus di negara itu akan sia-sia? Iya juga, ya? Ah, sudahlah. Manu, hari itu memang baru jadi tokoh dagelan bahasa.
Tapi Manu harus ingat, dalam tes bahasa Jerman yang saya jalani bersama TELC di Jerman, tidak semua bahan ujian (mendengar, misalnya) menggunakan bahasa Jerman baku tetapi ada selipan bahasa dialek (Bayerisch, Kölnisch, Schwäbisch atau Badisch). Padahal saya diajari bahasa Jerman baku tapi harus paham dengan dialek Schwabisch (dan lainnya itu) di dalam masyarakat. Sama, bukan? Harus mengikuti perkembangan jaman dan luas wawasan.
***
Merasa tertohok dengan semua yang dikatakan Manu, sebentar kemudian mengangguk lalu saya tertawa terpingkal-pingkal, mentertawakan diri sendiri yang suka menulis tetapi nggak sesuai KBBI. Dasar, ibu-ibu zaman now!
Apa yang dilakukan pengajar bahasa Indonesia yang masuk dalam APPBIPA? Tetap kukuh mengajarkan Bahasa Indonesia yang baku, sekaligus memberi contoh perkembangan bahasa pergaulan yang semakin banyak dari masa ke masa. Itu bagus. Mengapa? Supaya mahasiswa tidak ketinggalan zaman dan mengirim mereka ke medannya langsung. Ya, mengunjungi Indonesia! Ekskursi memang joss.
Bagaimana dengan umpan balik Anda? Sudahkah Anda berbahasa Indonesia yang baik dan benar?
Saya? Belum, harus banyak belajar keras. Lebih keras dari Manu. Bagaimanapun sudah bersyukur, niat rajin nulis ada dan tetap semangat meski bahasanya salah-salah terus. Merasa jadi perusak bahasa (?) sekaligus termasuk pegiat literasi dan budaya, akuorapopo. Coba saja saya minder, lalu takut menulis dari dulu karena tulisan nggak sesuai dengan kaedah KBBI, malah saya nggak pernah nulis, tho? (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H