Bahkan SBY disebutnya sebagai tokoh negara yang memberi teladan buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia. Padahal kata sastrawan Triyanto Triwikromo dari Suara Merdeka Semarang yang kebetulan diundang, pak SBY pernah jadi duta Bahasa Indonesia. Oh, ya? Baru tahu dan saya langsung nyengir kuda.
Kemudian, Manu memetik salah satu teks pidato beliau saat masih menjadi presiden RI. Di sana, masih ada kata "structure", "magnitude" yang diselipkan. Saya sendiri malah nggak pernah mengawasi atau menelitinya. Ini bule, sempat-sempatnya, super rajin. Sejenak, ingatan saya melayang pada Kompasianer Edrida Pulungan, sebagai staf DPRRI yang biasa mempersiapkan semua pidato resmi. Meres otak bikinnya, adem panas tubuhnya. Lah, yang membuat naskah presiden bagaimana, tuh?
Yang paling ngeres adalah saat terjun ke lapangan, di mana pria muda Jerman yang cukup ganteng itu menemukan bahasa Indonesia vs bahasa gaul.
X: Dari mana, Bro?
Y: Dari sana.
Bro, diambil dari kata bahasa Inggris; brother, kakak laki-laki yang disingkat. Bukankah Indonesia mengenal kak, mas atau bang?
Atau:
Seorang bos berkata kepada sekretarisnya: mbak, ini tolong diituin ya?" Meski tidak semua orang paham, si wanita menerima berkas dari atasannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam folder. Manu garuk-garuk kepalanya meski tidak ketombean. Kok, tidak ada subyek atau kata kerja dalam kalimat? Manu bingung. Hahaha, lagi mudik S dan KK.
Atau:
Seorang karyawan menanyakan kepada temannya "Oh, ya ... Itunya sudah dianuin, belum?" Karena paham apa yang dimaksud, temannya menunjukkan hasil kerjanya.
Begitulah, mengapa Manu pusing tujuh keliling pakai baisikel (atau sepeda, kosa kata yang ia dapat dari Malaysia ). Rupanya dalam praktek bahasa Indonesia, tidak semudah kata-kata. Ditambah, kini dia belajar di Malaysia dan meski serumpun dengan bahasa Indonesia, ada kata-kata yang bikin dia kaget. Contoh lainnya; "masuklah dengan percuma" atau "tiket percuma."