Bukankah percuma dalam bahasa Indonesia itu artinya sia-sia. Masak Manu kalau masuk ruangan atau bus di negara itu akan sia-sia? Iya juga, ya? Ah, sudahlah. Manu, hari itu memang baru jadi tokoh dagelan bahasa.
Tapi Manu harus ingat, dalam tes bahasa Jerman yang saya jalani bersama TELC di Jerman, tidak semua bahan ujian (mendengar, misalnya) menggunakan bahasa Jerman baku tetapi ada selipan bahasa dialek (Bayerisch, Kölnisch, Schwäbisch atau Badisch). Padahal saya diajari bahasa Jerman baku tapi harus paham dengan dialek Schwabisch (dan lainnya itu) di dalam masyarakat. Sama, bukan? Harus mengikuti perkembangan jaman dan luas wawasan.
***
Merasa tertohok dengan semua yang dikatakan Manu, sebentar kemudian mengangguk lalu saya tertawa terpingkal-pingkal, mentertawakan diri sendiri yang suka menulis tetapi nggak sesuai KBBI. Dasar, ibu-ibu zaman now!
Apa yang dilakukan pengajar bahasa Indonesia yang masuk dalam APPBIPA? Tetap kukuh mengajarkan Bahasa Indonesia yang baku, sekaligus memberi contoh perkembangan bahasa pergaulan yang semakin banyak dari masa ke masa. Itu bagus. Mengapa? Supaya mahasiswa tidak ketinggalan zaman dan mengirim mereka ke medannya langsung. Ya, mengunjungi Indonesia! Ekskursi memang joss.
Bagaimana dengan umpan balik Anda? Sudahkah Anda berbahasa Indonesia yang baik dan benar?
Saya? Belum, harus banyak belajar keras. Lebih keras dari Manu. Bagaimanapun sudah bersyukur, niat rajin nulis ada dan tetap semangat meski bahasanya salah-salah terus. Merasa jadi perusak bahasa (?) sekaligus termasuk pegiat literasi dan budaya, akuorapopo. Coba saja saya minder, lalu takut menulis dari dulu karena tulisan nggak sesuai dengan kaedah KBBI, malah saya nggak pernah nulis, tho? (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H