Duluuu sekali, saya suka nyanyiin lagunya Vina Panduwinata, "Si Burung Camar", "September Ceria." Lagu yang sempet ngetren tahun 70-an di Indonesia.
Rupanya, ketika di Jerman, lagu itu masih relevan saya nyanyiin karena ada istilah der Goldene September. Gold=emas. Der=artikel yang menyertai kata benda "September."
Der Goldene September, apaan tuhhh? September, bulan yang seharusnya sudah masuk hitungan musim gugur (September-Oktober-November) di mana dedaunan rontok, udara makin dingin, angin kian kencang bisa sampai 170 Km/jam, kelinci liar dan landak mulai berkeliaran, banyak hujan... Kayak emas karena masih anget layaknya musim panas.
Selain September emas, ada Oktober emas atau dalam bahasa Jerman "der Goldene Oktober". Orang-orang Jerman Selatan di Schwabenland menyebutnya sebagai der alteweibersommer. Alt=tua, Weiber=wanita tua, Sommer=musim panas. Der altweibersommer, musim gugur yang hangat-kehangatan yang selalu dibutuhkan wanita tua layaknya kehangatan musim panas. Aneh, bisa anget sampai temperatur 25 derajat! Kalau di Indonesia itu jadi temperatur AC, di Jerman sudah angettt karena musim gugur biasanya 10 derajat sampai minus-minus.
Apa yang istimewa di musim gugur?
1. Pepohonan seperti lampu merah
Tinggal di dekat hutan jadi istimewa karena bisa mengamati pergantian musim. Jika musim gugur seperti saat ini tiba, bisa melihat langsung perubahan alam. Pepohonan yang tadinya semua hijau berubah jadi hijau, merah, kuning. Mirip lampu merah, ya? Saya ingat sekali kesan mami Kartika Affandi. Beliau pernah tinggal di Austria, deket Jerman. Saat saya tanya musim apa yang paling disuka, selain musim salju karena ada snow, adalah musim gugur di mana dedaunan berubah jadi warna-warni. Alasannya, asyik buat jadi obyek lukisan.
Saya sependapat. Begitu pula di Jerman, banyak orang suka musim gugur. Tambah wow, jika jalan-jalan memasuki hutan di Jerman. Perubahannya sungguh luar biasa di depan mata. Merah, kuning di antara hijaunya pohon cemara yang selalu hijau atau immer gruen. Seperti di film-film negeri dongeng.
Dedaunan yang rontok berjatuhan di tanah, banyak berwarna kuning seperti emas dan ada yang coklat karena sudah tua.
Kalau ada senang pasti ada nggak senangnya. Kalau di kebun banyak pohon besar seperti di rumah kami, artinya harus banyak membersihkan jutaan bahkan miliaran daun. Jika tidak, akan menutupi tanah saat salju menimpa dan rumput tidak bisa tumbuh dengan baik.
Ingat Halloween atau Helloween? Perayaan gaya Amerika atau tepatnya, Irlandia yang disukai anak-anak karena bisa ngumpulin permen dan gula-gula di rumah tetangga, memakai kostum dan rias wajah serem dan pesta.
Di kampung kami ada tradisi mengukir Rben, bahan gula yang bentuknya seperti elips. Selain itu ada juga mengukir labu oranye. Tak hanya anak-anak, lansia pun menyukai kegiatan mengukir itu.
Sedangkan ibu-ibu, biasa memajang hasil ukiran labu atau dekorasi labu dari plastik atau yang asli, di depan pintu.
4. Landak
Tahun pertama tinggal di rumah kami, saya paling takut mendengar bunyi berisik dari kebun. Akhirnya, setelah tahu itu adalah landak bukan maling, saya bisa tidur. Hahaha ....
Landak. Kalau ada orang yang takut sama hewan berduri itu, pasti nggak nyangka kalau sebetulnya, landaknya lebih takut pada manusia. Itu kami rasakan ketika ada landak nyasar masuk garasi kami. Mau dikeluarin dari garasi, muter-muter kayak gasing, bingung.
5. Lampion
Ada peringatan yang disukai anak-anak; Laterne Lauf. Karnaval keliling kampung dengan membawa lampion, entah bikinan sendiri atau beli sendiri.
Lampu lampion bisa dari bolam/bolep atau lilin kecil.
6. Langit warna-warni
Buku saya yang berjudul "38 WIB (Wanita Indonesia Bisa)" tahun 2013, covernya berwarna oranye dengan gambar langit Jerman yang saya bidik dari balkon rumah. Pemandangan bukit Lupfen berwarna gelap dan langit yang punya warna oranye, merah dan biru. Amboi, indahnya.
Tahun ini juga mirip, tapi tidak ada oranye di sana. Hanya merah muda, kuning dan biru.
Karena banyak angin, orang memainkan layang-layang. Bahkan sebuah desa bernama Leibertingen, memiliki tradisi tahunan festival layang-layang. Seru mengamati bagaimana tiap peserta menaikkan layang-layang, mengulur benang sampai menurunkannya gara-gara cuaca tiba-tiba memburuk. Hujan rintik-rintik, takut kesetrum!
Nah, itu tadi kurang lebihnya ciri-ciri musim gugur di Jerman. Kalau ada pepatah, daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Kalau melihat keemasan musim gugur kayak tahun ini? Pasti nggak bakal bisa bilang begitu. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H