Benjamin. Kakak sulungku itu akan segera berulang tahun. Dua minggu lagi. Rasanya tak sabar ia berpesta pora bersama teman-temannya. Aku? Sebenarnya malas karena kakak selalu berlebihan, mabuk-mabukan sampai pagi dalam sebuah pesta. Ia seolah lupa bahwa hidup itu sangatlah pendek. Bagaimanapun, aku sayang sama kakakku itu. Tanpanya, aku bagai kerikil yang terlindas kaki-kaki manusia. Apalagi ayah-ibu sudah lama tiada.
Akhir-akhir ini, ada yang kurasa. Di rumah kami, suasana berubah aneh. Dari hari ke hari, kakak tak bisa tidur. Bukan karena sakit gigi atau karena banyak utang tetapi lantaran urusan ulang tahun itu. Aku sering terbangun ketika kakak mondar-mandir ke kamar mandi lalu nonton TV sampai pagi. Ah, paginya, aku ngantuk sekali.
"Kakak, setiap malam kamu menggangguku. Aku tak bisa tidur gara-gara kamu." Aku berdiri di depan kakak yang sedang bermalasan di sofa. Tanganku berkacak pinggang.
"Nahh ... Kenapa waktunya tidur kamu tidak tidur? Salah itu ..." Buku yang sedari tadi ia baca, didekapnya.
"Ih, kakak ... kamu ..." Rasanya sebal dengan komentarnya yang tak peduli itu. Aku kehilangan kata-kata.
"Sudah sana, mandi, kamu bau." Tangannya yang kekar mengusap-usap anak rambutku.
Aku cemberut tapi seperti biasa, tetap menurut.
Sepuluh menit berlalu. Keluar kamar mandi, aku dengar samar-samar, kakak sedang menerima sebuah telepon.
"Kenapa kamu tak mau datang ke pestaku?"
"Kami tidak suka adikmu."
"Ini pestaku, bukan pesta adikku. Tolong bedakan itu. Ia akan ada di dalam pesta tapi tak lama. Seminggu yang lalu kamu ultah, aku datang ... padahal aku juga tak suka istrimu." Balas kakakku kalem.