Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kapan Botol Refund Marak di Indonesia?

8 September 2017   18:21 Diperbarui: 11 September 2017   21:33 2121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Botol non refundable Indonesia (dok.Gana)

Pertama pastilah karena kebiasaan. Nggak mau repot cari tempat sampah. Masyarakat belum mampu untuk otomatis membiasakan diri membuang sampah di tempatnya. Jangankan anak-anak, orang dewasa juga sami mawon. Hayo, ngakuuuu.

Saya masih ingat kejadian di Semarang. Ketika suami sedang menyetir, ia hampir ngerem mendadak lantaran seorang anak SMP yang dibonceng sepeda motor oleh ibunya, tiba-tiba membuang botol plastik yang sudah kosong di jalan. Byuh! Sebuah pemandangan yang nggak bakal dia lihat di Jerman. Bukankah sampah dibuang di tempat sampah? Suami saya pun mengacungkan tangannya, begitu tahu si anak menengok ke arah kami: "Wooo, goblok. Nggak boleh sampah sembarangan. Awas, ya!"

Atau ketika kami berada di Tegenungan, Bali. Obyek wisata yang indah di daerah kloster mewah itu tentunya menjadi magnet wisatawan, nggak hanya lokal tapi juga asing. Sayangnya, tercemar oleh sampah! OMG.

Terlihat, seorang pria renta tampak tertatih memunguti botol plastik di sana-sini, di sekitar anak tangga pangkalan penjemputan mobil menuju stand souvenir kerajinan Bali. Satu hal, itu rejeki si bapak karena barangkali bisa dikiloin dapat duit. Hal lain, menandakan betapa turis atau siapapun yang ada di kawasan itu, nggak ramah lingkungan.

Segera saya kerahkan anak-anak untuk membantu si bapak mengumpulkan botol plastik. Ending-nya, saya bagi rejeki ke si bapak buat makan hari itu. Memang nggak seberapa, saya pengen menghargai orang yang suka kerja keras dan nggak malas-malasan meski sudah tua dan untuk jalan kaki saja sudah susah. Banyak lho, orang muda yang malas dan nggak suka kerja keras di dunia ini. Huh.

Hmm ... sampah oh sampah. Pendidikan ramah lingkungan di sekolah-sekolah atau kampung-kampung supaya tidak membuang sampah sembarangan sudah banyak dilakukan, peringatan untuk tidak membuang sampah sembarangan dipasang di mana-mana, tong meski nggak banyak ada lah nongkrong di mana-mana, ancaman denda tertulis di beberapa tempat ... namun rupanya nggak mampu membuat masyarakat kita disiplin buang sampah.

Kedua, ironi kalau sudah terbiasa membuang sampah di tempatnya, bahkan sudah mulai disendirikan yang plastik-kertas-bio, eeee ... di TPA dicampur aduk lagi. Harusnya didaur ulang sesuai jenisnya. Masyarakat cerdas mana yang mau saja diajak berpikir dengan logika 1+1=0?

Selayaknya pemerintah atau swasta mendirikan perusahaan waste managementatau recycling services. Supaya mata rantainya nggak putus, supaya ada manfaat berkelanjutan. Ke depan, bukan mundur. Ada jalan yang terbuka menuju bebas sampah.

Ketiga, butuh pos dana rumah tangga. Seperti di Jerman, kami dan rumah tangga lainnya harus membayar uang sampah. Misalnya untuk sampah kertas dan plastik gratis karena nanti bisa didaur ulang dan perusahaan bisa mendapatkan keuntungan. Sampah bio 60 liter yang diambil sebulan sekali=33 euro, sampah pampers 120 liter yang diambil 2 mingguan=36 euro dan sampah campuran yang butuh penanganan khusus dalam tong 60 liter, bayar 79 euro/tahun. Memang tidak gratis tetapi serasa tanggung jawabnya bisa dibebankan pada yang terpercaya. Di bumi nusantara, untuk makan saja masih banyak masyarakat bawah yang sulit, apalagi untuk iuran sampah? Akibatnya, buang sampah sembarangan, dipendam atau dibakar, yang ternyata bukan solusi terbaik (apalagi untuk sampah plastik). Harus dicarikan solusinya....

Uang sampah di Jerman tadi nggak mirip sama sekali dengan uang sampah Rp 50.000 atau 3,5/minggu yang dulu waktu di Indonesia selalu kami bayar. Mbok tukang sampah langganan selalu mengumpulkan sampah dari kloster khusus bule. Legaaaa rasanya bahwa sampah nggak numpuk di rumah dan sudah ada yang mengurusi. Ternyata, eh ternyata, waktu kami sedang asyik duduk di kebun yang menghadap sungai dan hutan, kami melihat tukang sampah mengeluarkan kantong plastik yang ia kumpulkan dan membuangnya di sungai. Glodakkk! Lahhhh ... berarti selama itu, kami juga ikut berkontribusi mencemari sungai! Lagi-lagi, podo wae.

Berlakukan Botol refund di Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun