Dua minggu berlalu. Selama itu pula, Firad tak pernah datang ke tempatku. Entah mengapa, ia mulai mengisi kisi-kisi hatiku. Tanya tentangnya selalu mendera di dada.
“Ting Tong Tong“ Bel yang kutunggu-tunggu dan tak lagi kubenci.
Hari ini, tukang pos berseragam coklat datang. Bukan. Bukan Firad yang ada di depanku. Waktu kutanya tentangnya, si lelaki bilang Firad sakit. Sang teman hanya sementara menggantikannya.
Ah, aku merasa bersalah. Apakah ia tersinggung dengan perkataanku saat terakhir kali bertemu? Kuminta pak pos menunggu. Sekotak coklat kesukaanku untuk Firad kutitipkan padanya. Salam manis.
***
Seminggu kemudian.
“Ting Tong Tong“ Bunyi bel pintu rumah yang kurindu. Betul! Firad ada di depanku. Ia datang dengan membawa paket kecil.
“Coklatmu sudah kuterima. Manis. Semanis wajahmu. Sebagai gantinya, ini untukmu.“ Kotak kecil berwarna merah jambu dengan pita putih itu menarik perhatianku.
“Tak perlu tanda tangan?“ Aku tersipu-sipu. Tukang pos Jerman adalah orang yang paling butuh tanda tanganku, selain para penggemar buku-buku romanku.
“Tidak, karena pengirimnya aku.“ Firad tertawa kecil. Gigi-giginya yang putih dan rapi itu memikatku. “Bukalah, aku ingin tahu reaksimu.“
“Aku buka nanti saja. Aku sedang tidak ada waktu.“ Aku masih ingin menipu diri, berpura-pura meyakinkan bahwa aku tidak tertarik dengan pria tukang pos yang baru kukenal itu. Hanya karena ia berwajah mirip Bernhard, pria yang pernah ada dalam hidupku?