“Ting Tong Tong“ Bunyi bel pintu rumah dipencet. Aku paling benci mendengar bunyi bel itu karena artinya; aku harus menghentikan apa yang kukerjakan di komputer kesayanganku, keluar dari kamar, turun ke bawah dan menuju pintu utama!
Kesal. Untuk sekian menit, imaginasi karangan fiksiku akan terpenggal. Menulis, melupakan Bernhard yang memilih wanita berkebangsaan Rusia itu, ketimbang aku.
Jam dua siang. Kulirik jam dinding di dekat pintu. Kubuka daunnya, kutemukan sosok yang hampir saja bikin jantungku copot. Pria yang wajahnya mirip Bernhard! Kuusap mataku berkali-kali. Barangkali aku salah lihat. Pria di depanku memang mirip Bernhard!
“Selamat siang. Ada paket untuk Gladiol Pancawijaya.“ Tukang pos itu menyebut namaku dengan lucu. Nama khas Indonesia yang alfabetnya tak sama. Susah lafalnya. Entah mengapa aku tidak tertawa. Wajahku cemberut, rambutkupun kusut.
Aku hanya mengangguk. Menandatangani mesin konfirmasi dan menutup pintu. Ekor mata tukang pos itu masih memandangiku di antara jepitan pintu dan palangnya. Perlahan-lahan, langkahnya meninggalkan halaman depan apartemen yang masih penuh dengan mawar, meski musim gugur telah datang.
Tak percaya dengan pemandangan yang baru saja kutemui, kusibak tirai jendela dekat pintu. Ah, bukan. Itu bukan Bernhard. Cara berjalannya beda!
Aku mendesah .... entah mengapa pikiranku masih saja berdansa dengannya. Bernhard sudah lama pergi. Tuhan, kesadaranku belum juga tiba.
***
Seminggu berlalu, Bernhard dan pria berwajah mirip Bernhard itu masih menari-nari di dalam otakku.
“Ting-tong-tong.“ Jam dua siang. Aku meloncat kegirangan. Kuharap, itu tukang pos yang sama; berseragam coklat dan berwajah mirip Bernhard. Sebab tak tahu namanya, kujuluki dia, September. Bulan di mana aku bertemu dengannya untuk pertama kali. Kupandangi cermin di kamar, kubenahi pakaianku. Cantik.
Kubuka daunnya. Benar, di depanku, berdiri pria yang sama! Tak ada surat atau paket yang ia bawa. Keningku mengkerut. Mau apa dia? Kedua tangannya seolah menyembunyikan sesuatu.
“Selamat siang, ada kiriman pos untuk saya?“ Kalimatku meluncur begitu saja tapi senyumku tak juga mengembang. Ah, aku harus menyembunyikan rasa rindu yang kupendam. Aku tak kenal dia. Aku takut kalau ia tahu aku suka kedatangannya, menunggu kehadiran orang berwajah Bernhard.
“Selamat siang, nona Gladiol.“ Oh, Tuhan! Dia masih ingat namaku. Ingin kuraba dadaku untuk mengukur seberapa cepat ia melaju. “Maaf, hari ini tidak ... tapi ada sesuatu yang menggangguku sejak pertama kali kita bertemu di pintu ini. Sudah seminggu aku tak bisa tidur. Bunga ini untukmu.“ Tangannya menyodorkan sesuatu. Oh! Serangkai bunga mawar merah yang wanginya sudah menusuk hidungku! Mungkin ia tahu aku suka mawar, dari hamparan bunga di halaman depan.
“Untuk apa? Anda salah alamat. Kita tak saling kenal.“ Bunga itu kukembalikan padanya.
“Karena engkau manis, aku ingin mengenalmu“ Tangannya memegang pergelangan tanganku dan memindahkan rangkaian bunga lagi.
“Hati-hati. Jangan-jangan Anda kecewa nanti. Barangkali aku bukan wanita yang baik untuk Anda.“
“Aku sudah berpikir selama seminggu, bulat sudah tekatku, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Namaku Firad“ Tangannya mengajak berjabat tangan. Lembut!
“Gladiol.“
“Aku sudah tahu....“ Senyum Firad mengembang. Kulihat wajah Bernhard di sana. Aku terpesona. Bernhard? Ah, bukan ....
Firad melihat jam tangan. Buru-buru menuju mobil panjang berwarna coklat bertuliskan “Ups“ di sana. Selamat jalan, Firad. Senang berkenalan denganmu. Semoga kau bukanlah Bernhard yang menjelma. Semoga kau tak akan jadi Bernhard kedua yang akan mengecewakanku.
***
Dua minggu berlalu. Selama itu pula, Firad tak pernah datang ke tempatku. Entah mengapa, ia mulai mengisi kisi-kisi hatiku. Tanya tentangnya selalu mendera di dada.
“Ting Tong Tong“ Bel yang kutunggu-tunggu dan tak lagi kubenci.
Hari ini, tukang pos berseragam coklat datang. Bukan. Bukan Firad yang ada di depanku. Waktu kutanya tentangnya, si lelaki bilang Firad sakit. Sang teman hanya sementara menggantikannya.
Ah, aku merasa bersalah. Apakah ia tersinggung dengan perkataanku saat terakhir kali bertemu? Kuminta pak pos menunggu. Sekotak coklat kesukaanku untuk Firad kutitipkan padanya. Salam manis.
***
Seminggu kemudian.
“Ting Tong Tong“ Bunyi bel pintu rumah yang kurindu. Betul! Firad ada di depanku. Ia datang dengan membawa paket kecil.
“Coklatmu sudah kuterima. Manis. Semanis wajahmu. Sebagai gantinya, ini untukmu.“ Kotak kecil berwarna merah jambu dengan pita putih itu menarik perhatianku.
“Tak perlu tanda tangan?“ Aku tersipu-sipu. Tukang pos Jerman adalah orang yang paling butuh tanda tanganku, selain para penggemar buku-buku romanku.
“Tidak, karena pengirimnya aku.“ Firad tertawa kecil. Gigi-giginya yang putih dan rapi itu memikatku. “Bukalah, aku ingin tahu reaksimu.“
“Aku buka nanti saja. Aku sedang tidak ada waktu.“ Aku masih ingin menipu diri, berpura-pura meyakinkan bahwa aku tidak tertarik dengan pria tukang pos yang baru kukenal itu. Hanya karena ia berwajah mirip Bernhard, pria yang pernah ada dalam hidupku?
“Tolonglah, aku ingin tahu.“ Firad menunduk.
Tanganku seperti disihir. Kubuka pelan-pelan kotak kecil yang indah itu. Sebuah cincin dan kalung emas panjang! Mataku terbelalak. Ingatanku melayang pada cerita tetangga sebelah tentang mahar orang Turki. Degup jantungku mulai mengencang. Sebegitu cepatkah keputusan pria yang mirip Bernhard itu dijatuhkan padaku?
“Maksudmu ....“
“Emm... Gladiol ... maukah kau menikahiku?“ Firad berlutut.
September. Betulkah engkau datang untuk membahagiakanku? (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H