Sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh juga. Di hari terakhir, aku bener-bener KO. Badanku demam, menggigil, mual, rasanya mau muntah. OMG! Kayaknya, aku masuk angin...
"Can you do a favor for me?" Kudekati teman sekamarku bernama Willy. Meminta bantuannya.
"What can I do for you, Andy?" Cowok berbadan six packs bukan six bags itu memang perhatian padaku. Sebenarnya, ia sekamar dengan peserta dari Amerika tapi ia minta tukar panitia untuk sekamar denganku, mulai hari kedua. Semoga dia bukan homo.
Kuajari dia cara mengerok kulit bagian punggung. Ia ketakutan.
"Noo... It seems hurting you, Andy .. I can't do that. Sorry. I'm afraid someone will report me for doing that." Willy menolak permintaanku. Aku mengerti bahwa kerok belum dianggap menyembuhkan oleh orang bule macam Willy. Belum ada pemikiran hubungan antara kerok dengan kembali sehat. Ini masih dianggap sebagai penyiksaan.
"Pitty. I don't want to take any medicine. I just need you to do this massage and I will be better" aku meringis, menahan sakit yang sudah tak tertahan. Aku memang keras kepala, paling anti minum obat. Padahal sudah ada aspirin yang diberikan Willy sejak kemarin. Tak kusentuh. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku ingat emak. Menyesali apa yang terjadi, apa yang kuputuskan. Andai minyak angin emak kubawa, paling tidak sedikit meringankan sakitku. "Ohhhh, emakkk ... Aku kangen minyak anginmu." Gumamku.
"Excuse me ...what did you say?" Willy yang sudah berbaring di dipan seberangku, meletakkan novel di tangannya yang kekar.
"Minyak angiiiinnn ..." Aku mengerang.
"Sorry?"
"Minyak angin"
"Minjak anggin?"