Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minyak Angin

22 Mei 2016   05:12 Diperbarui: 22 Mei 2016   08:06 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Andi, jangan lupa bawa minyak angin..." Emak tergopoh-gopoh mengulurkan sebotol minyak berwarna hijau itu.

"Yaaaaah, emak ... Andi mau berangkat ke London mak, bukan ke Solo. Nanti orang-orang di pesawat bisa ngamuk bau caplang begini." Aku ingat, dalam perjalanan Jakarta-Dubai, menuju Jerman, banyak TKW yang jadi penumpang pesawat yang kutumpangi. Seorang ibu-ibu sakit, ia mandi minyak angin, sampai seorang bule ngamuk ke pramugari agar segera dicari bau yang dikatakan busuk itu. Akhirnya, sang bule dipindah ke kelas business yang masih kosong beberapa kursi. Hahaha ... Hidung manusia memenag beda-beda.

"Yaaahhh... Emak sayang kamu, Andi. Kalau kamu masuk angin di negeri orang, emak nggak bisa ngerokin. Kalau ada minyak kan mendingan..."

Aku tetap keras kepala. Minyak angin itu kukembalikan ke emak. Keluar dari ranselku. Semua beres. Check list komplit.

Taksi mengantarku ke bandara. Sengaja emak tak ikut, biarlah, daripada nanti malah nangis bombay melepas aku, anak semata wayangnya yang terbang jauh ke angkasa. Tempo hari waktu paklik umroh saja, emak mau pingsan dipamitin di bandara Ahmad Yani. Ah, emakku sayang.

***

London. Indah sekali pemandangan dari atas. London eye, big Ben, kastil, jembatan, kerlap-kerlip lampu ... Wowww ... Memang betul kata orang-orang. Mereka yang nggak suka pergi-pergi itu hanya baca buku selembar ... Aku sempat membaca buku.

Banyak romantika kehidupan yang dialami di negeri orang. Seperti yang kualami  seminggu di London.

"Do we have free time in the afternoon?" Kucoba dekati teman baruku Sheila. Dia salah satu panitia seminar yang aku hadiri. Selain stress mengunyah materi, aku pengen jalan-jalan dong. Sambil menyelam minum jus kedondong. Jalan-jalan asyik, dong.

"Don't worry, everyday after dinner, we'll be free. You can do what you want but please, be aware, our seminar will be start at 8 o'clock every morning." Setelah makan malam, nggak ada lagi session. Aku bisa jalan-jalan. Tapinya, meski ada bus malam, tetap saja banyak toko sudah tutup. Yaaah, paling nggak, aku bisa cuci mata menatap gadis-gadis rambut pirang bermata biru dan berbibir merah, yang bertebaran di mana-mana.

Musim semi memang belum sehangat musim panas. Anginnya masih semribit, bikin badan menggigil dan bulu kuduk berdiri. Demi memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, aku puas-puasin jalan-jalan malam. Kadang sendiri, seringnya sama temen-temen. Mulai dari topi, syal, jaket tebal dan sepatu boot membungkusku. Aku takut sakit. Bisa dijewer emak nanti, pulang-pulang bawa penyakit. Mustinya oleh-oleh lahhh yang dibagi, kayak souvenir atau apa kek.

Sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh juga. Di hari terakhir, aku bener-bener KO. Badanku demam, menggigil, mual, rasanya mau muntah. OMG! Kayaknya, aku masuk angin...

"Can you do a favor for me?" Kudekati teman sekamarku bernama Willy. Meminta bantuannya.

"What can I do for you, Andy?" Cowok berbadan six packs bukan six bags itu memang perhatian padaku. Sebenarnya, ia sekamar dengan peserta dari Amerika tapi ia minta tukar panitia untuk sekamar denganku, mulai hari kedua. Semoga dia bukan homo.

Kuajari dia cara mengerok kulit bagian punggung. Ia ketakutan.

"Noo... It seems hurting you, Andy .. I can't do that. Sorry. I'm afraid someone will report me for doing that." Willy menolak permintaanku. Aku mengerti bahwa kerok belum dianggap menyembuhkan oleh orang bule macam Willy. Belum ada pemikiran hubungan antara kerok dengan kembali sehat. Ini masih dianggap sebagai penyiksaan.

"Pitty. I don't want to take any medicine. I just need you to do this massage and I will be better" aku meringis, menahan sakit yang sudah tak tertahan. Aku memang keras kepala, paling anti minum obat. Padahal sudah ada aspirin yang diberikan Willy sejak kemarin. Tak kusentuh. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku ingat emak. Menyesali apa yang terjadi, apa yang kuputuskan. Andai minyak angin emak kubawa, paling tidak sedikit meringankan sakitku. "Ohhhh, emakkk ... Aku kangen minyak anginmu." Gumamku.

"Excuse me ...what did you say?" Willy yang sudah berbaring di dipan seberangku, meletakkan novel di tangannya yang kekar.

"Minyak angiiiinnn ..." Aku mengerang.

"Sorry?"

"Minyak angin"

"Minjak anggin?"

"Yes, minyak angin."

"I don't understand" Willy geleng kepala, ia memang tak tahu benda apa yang  kusebutkan. Tapi biarlah aku hanya bisa meratap. Aku menyesal dan tak  paham...mengapa aku keras kepala? Tak menuruti kata emak untuk membawa bekal minyak angin. (G76).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun