Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tjiptadinata Wrote: Click “LIKE“, Make Somebody Happy!

21 Mei 2016   16:38 Diperbarui: 21 Mei 2016   16:44 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul Buku : Beranda Rasa

Penulis : Tjiptadinata Effendi

Penerbit : Peniti Media - Jakarta

Cetakan : Pertama, 2015

Jumlah hal.: 117 hlm.

Jumlah bab : 3 bab

Ukuran buku : 21 x 14,5 cm

Tentang Penulis: Tjiptadinata Effendi lahir di Padang, 21 Mei 1943. Menikah dengan Roselina Tjiptadinata, dikarunia 2 orang putra dan satu orang putri. Penghargaan yang diterima pria yang suka jalan-jalan itu adalah Man of the year 2011 oleh salah satu badan swasta, Kompasianer of the year 2014 dari Kompasiana dan masih banyak lagi. Tak heran kalau bapak kompasianer yang satu itu bijaksana dan penuh olah rasa. Beliau, pendiri dan ketua yayasan Waskita Reiki. Sejak tahun 2006 tinggal di Wolonggong, Australia.

***

Siapa yang tak kenal pak Tjiptadinata Effendi asli Padang dan tinggal di Ostrali. Hayoooo ... yang bilang tidak, seperti pacar ketinggalan kereta nihhh.

Nah, selain dekat dengan Kompasianer semuanya, Kompasianer of the year 2014 itu juga dekat dengan saya, kompasianer amit-amit yang tinggal di Jerman. Dari mulai saling berkunjung di akun Kompasiana, Facebook sampai Whatsapp ... sambung - menyambung.  Terakhir kali, saya menyanyi di WA untuk pak Tjipta. Semoga suara metal samber bledek saya nggak mecahin kaca rumah atau kaca mobil bapak.

Tepat dengan ulang tahun pak Tjipta hari ini, Sabtu, 21 Mei 2016, Gana hendak menulis postingan buat bapak. Kebetulan jodoh, tiga buku dari Indonesia yang saya beli dari pak Thamrin Sonata, telah tiba minggu lalu. Kurir yang dulu sekretaris saya terus jadi sekretaris suami saya itu rela membawakannya dari Semarang - Berlin sampai ke rumah. Makanya, pas sekali kalau saya kupas sekarang pas selametan.

Ulasan Buku:

Cerita-cerita kehidupan pak Tjipta bisa kita nikmati di akun Kompasiana beliau. Rangkuman dari artikel sebanyak 1950, 391 di antaranya dapat HL, ditulis sejak 15 Oktober 2012 itu ada yang menjadi buku “Beranda Rasa“. Salah satu postingan yang saya baca dan membekas adalah tentang kisah nyolong pagar bambu orang buat bikin layangan sampai berdarah-darah dan kena marah. Sungguh membekas di hati saya. Itu diikutkan dalam buku “BR“. Judulnya “Kita Bukan Maling“ halaman 9-12. Masa-masa sulit di waktu kanak-kanak, nggak bisa beli layangan, bikin sendiri lalu maling pagar orang. Atau kisah sepatu pak Tjip yang hanya sepasang. Hiks. Sama, pak ...  sama ibu saya, kalau belum jebol atau sesak nggak bakal dibeliin dari pasar. Sekarang sepatunya banyak tetap masih ingat pengalaman dengan hanya sepasang sepatu. Masa kecil sulit tapi indah dikenang.

Buku dibagi dalam tiga bab; Catatan Hati, Kompasianer dan Tulisan, Inspirator dan Motivator. Catatan hati mengulas suka duka kehidupan pak Tjipta. Bab kedua, berisi tentang “Kompasiana Universitas Terbuka Multidimensi (Gratis)“, “Berkat Kompasiana, Nama Saya Dikenal di Kalangan Diplomat“, “Sepotong Kisah Hidup, dari Pedagang jadi Penulis“ ... dari situ, kita bisa tahu kekuatan Kompasiana sebagai energi yang ajaib bagi pak Tjipta, buat saya dan tentu ... Kompasianer semua. Tak jadi soal kalau ada anggapan miring terhadap blog keroyokan kita ini. Kalau niat baik, saya haqul yaqin, kembali baik. Kalau enggak, itu cobaan ujian Tuhan. Bagi Kompasianer new comer, yang baru mulai nulis setelah sekian lama jadi silent reader ... semangat, yak.

Bab terakhir memuat inspirasi dan motivasi bagi kita. Kalau kita selalu putus asa ketika berusaha atau berbuat sesuatu, bangkitlah semangat ketika membaca halaman 81-89 dari judul “Orang yang Pernah Gagal Adalah Calon Orang Sukses“ dan “Kunci Sukses Itu Sesungguhnya Ada di Tangan Kita“.

Inspirasi berdiri di depan jendela, membuka tirai pagi-pagi agar memberikan efek dan aura positif  dalam diri di halaman 79 bab III berjudul „Kiat Agar Selalu Tampil dengna Aura Positif“, agak mirip dengan nasehat bapak saya. Berdiri tegak di tengah pintu ketika mau keluar rumah/bepergian, dengan menghirup nafas berkali-kali dan menghembuskannya. Mengeluarkan aura/efek negatif dan menghirup aura/efek positif. Mantranya ... Kutu-kutu walangataga ...

Suka dan tidak suka itu hal biasa dalam kehidupan. Walaupun demikian, pak Tjipta tetap mengingatkan kita untuk berbuat baik sekecil dan semudah apapun. Sepele memang tapi saya menyetujui kalimat pak Tjip: “Sangat mudah dilakukan, namun memiliki arti: “Saya menyukai karya Anda“. Suatu apresiasi dalam bentuk lain. Suatu tindakan kecil, tetapi bagi orang click “like“ hanya satu detik, tapi bagi orang yang menerimanya, merupakan kegembiraan tersendiri. Membuat orang lain gembira, merupakan suatu berkah bagi kita.“ Saya sepaham dengan beliau bahwa daripada sibuk mencari keburukan, ketidaksempurnaan, ketidaksukaan kepada orang lain lebih baik memberikan tanggapan positif. Kalau tidak bisa, lebih baik diam saja, menahan diri. Kalau sibuk mengumbar aura negatif, kapan kita akan berbagi aura positif? Meski pada segelintir orang, tak masalah. Saya sudah lama di Kompasiana ... memang tidak setenar, sepopuler, sefavorit, sehebat dan sebijak pak Tjipta tetapi kalau ada orang yang mengatakan betapa saya menginspirasi dan memotivasi Kompasianer, betapa bahagianya. Saya sudah bermanfaat! Bukankah itu indah? Lega rasanya. Bagaimana dengan Kompasianer? Mengkritik atau menyemangati adalah pilihan.

Kelebihan Buku:

Jika Kompasianer membaca buku “Beranda Rasa“, akan ada perasaan diberi nasehat, bukan digurui. Saya kira, dari tiga bab, pak Tjipta berhasil mengingatkan kita akan peribahasa; hidup itu memang sebaiknya bagai ilmu padi ... makin tua makin merunduk. Bukannya makin tua makin congkak.

Buku ini bermanfat bagi siapa saja, demi memberikan pencerahan dalam hidup. Belajar dari pengalaman pak Tjipta yang tidak serta merta disulap macam simsalabim abrakadabra. Apa yang pak Tjip raih selama ini, ada jatuh-bangunnya. Nggak pakai dangdut sih tapi luar biasa menggetarkan hati. Mak jlebbb.

Kedua, cover buku dengan warna kontras, sangat kekinian. Modern. Itu menarik perhatian orang untuk membaca. Meskipun ada yang bilang, “Don’t judge the book by its cover“ Tapi sungguh, melihat covernya saja, saya sudah bergairah untuk lekas membacanya. Apalagi membacanya... seperti mendengar pak Tjipta bertutur sendiri, adep-adepan.

Ketiga, buku itu dipersembahkan sebagai ulang tahun kawin emas pak Tjipta dengan kompasianer Roselina Tjiptadinata aka bu Lina. Ini menginspirasi kita semua untuk membina rumah tangga yang rukun, bahagia dan romantis. Atau, ini mengingatkan saya pada Taj Mahal India, bukti kecintaan suami pada almarhumah istri .. bahkan kisah Roro Jonggrang yang minta dibikinkan 1000 candi sempat mampir di benak saya. Mari nyanyi “When a man loves a woman“ si Michael Bolton atau  Bryan Adam lewat “Have You Ever Really Love A Woman?“. Cinta pak Tjip pada bu Lina ... luar biasa. Bagaimana dengan cinta Kompasianer pada pasangan? Jangan kalah, kejarrrrrr!

Karena berhubungan dengan moment istimewa, tak heran kalau buku ini berisi epilog dari belahan jiwa pak Tjipta. Roselina Tjiptadinata menumpahkannya di halaman 107-116. Women ... silakan manggut-manggut atau geleng-geleng kepala membaca “Catatan Wanita yang Diberi Payung Cinta.“ Betapa istimewanya ketika bu Lina menerima dengan legawa bahwa ia dilarang pergi-pergi selain dengan pak Tjipta meski dengan teman wanitanya. Kalau saya walahhhh .... begini nih contohnya:

“Pak, kebelet pulang 4 minggu.  Pengen ketemu ibuk, ngurus kartu ATM sama Transkrip nilai“ Saya memang pernah sekali pergi ke tanah air sendiri. Selain dengan pertimbangan keuangan, banyak yang harus diurus, waktunya nggak cocok sama jadwal anak-anak sekolah.

“Nggak boleh“ Biasa, suami saya suka menggoda. Meskipun demikian, saya kaget.

“Kenapa?“ Sudah deg-degan ahhhh. Saya ingat bagaimana bapak dan ibu saya saling menghormati bahwa kalau suami sudah bilang tidak, jangan dilanggar. Alamat saya nggak bisa pulang. Huhuuuuuu ....

“Takut kamu nggak balik“ Pandangan matanya tajam kayak Shepherd.

“Pasti balik lah, cuma kamu yang ada di hatiku.“ Halah, saya balik ngrayu.

“Bukan gitu, buuuu ... di rumah nggak ada pembantu, tukang setrika atau tukang masak“ Ia ngakak.

“Yaaaahhh ... kirain!“ Begitulah. Suami merelakan saya pergi, sendirian. Bahkan ditambahi 2 minggu, jadinya 6 minggu. Meski akhirnya, dia kapok menghabiskan waktu mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga ditambah merawat tiga anak dan kebun. “Ditinggal istri pergi  lama itu laraning lara ....“ katanya. Manusia memang diciptakan untuk dipasangkan. Wanita dari tulang rusuk pria. Kalau tulang rusuknya menghilang sebentar, bagaimana bisa hidup?

Buku ini juga istimewa dengan endorsemen dari founder Kompasiana, Pepih Nugraha dan kompasianer hebat macam fiksianer, Lizz. Pak Thamrin Dahlan dan Rahmad Agus Koto juga bukan nama-nama yang asing di blog Kompasiana. Menyerap kalimat mereka, sungguh mengangkut aura positif.

Kekurangan Buku:

Mencari kekurangan buku diri sendiri memang paling susah, jadi saya cari kekurangan buku orang lain (tapi bukan bermaksud menjelek-jelekkan yaaaa). Maaf ya, pak. Font tulisannya beda-beda, ada baiknya kalau editor mengubah font dari awal sampai akhir dengan font yang sama. Lebih enak di mata. Begitu pula dengan spasi, disamakan lebih baik; 1,5 semua atau 1 semua. Buku saya suka dikritik bapak ibu di Semarang (setiap satu eksemplar saya haturkan sebagai koleksi perpustakaan di rumah orang tua). Katanya, buku saya suka tulisannya kecil-kecil.

Penggunaan aku atau saya sebaiknya juga disamakan. Dalam satu judul saja, ada yang aku dan saya. Kalau aku, aku semua ... kalau saya ... saya semua (contoh halaman 10-11). Kecuali kalau memang subyeknya banyak dalam satu buku (kompilasi/antologi). Orang kann lain-lain ada yang seneng bilang aku, ada yang seneng menyebut saya.

Kesalahan tanda baca dan pengaturan margin, pastilah hal yang biasa.

Kesimpulan

Menurut saya, buku ini memang “bertenaga dalam.“ Tidak hanya dirasakan dari apa yang ditulis tapi juga siapa yang menulis. Tidak mudah untuk menjadi seperti itu karena ini melalui proses hidup yang panjang, seiring bergulirnya waktu. Pencerahan diri tidak serta merta didapat begitu saja meski sebenarnya ini sudah ada di dalam diri setiap manusia. Sebabnya, mengungguli orang lain barangkali bisa dilakukan tapi sangat sulit memang untuk mengalahkan diri sendiri. Memotivasi diri dan menginspirasi orang lain memang gampang-gampang susah karena memotivasi dan menginspirasi diri sendiri saja susahnya minta ampun.

Buku ini tetap layak dibaca oleh siapapun yang berniat untuk selalu berbuat baik dan mengamalkan kebaikan dalam hidup, terus menjadi baik, arif dan bijaksana. (G76)

PS:

Today, you have just turned to 73! Happy birthday, dear Pak Tjiptadinata Effendi. May God bless you and your family. Let’s meet up one day!

Paaaaaaaaaaaaaakkkk, kami Kompasianer mencintaimu dengan sederhana bukan karena apa-apa ada, bukan karena bapak banyak uangnya. Tapinya nggak papa, kalau duitnya menjamur, Gana dibagiiiii. Jangan lupa kalau kita ketemuan, Gana minta nasi padang sama lombok ijonya bu Lina, yaaaa ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun