Saya belum berani untuk memperkenalkan brotowali. Selain saya sendiri nggak berani minum (mosok mau promosi?), bahannya susah dicari dan repot kali ya bikinnya .... Pernah lihat program TV Galilieo di Jerman, bahwa memasak biji pepaya menjadi alternatif yang menarik dan sehat bagi manusia. Pahitttt tapi bermanfaat. Tak dapat daunnya, dapat bijinya bisa bikin jamu pahit. Katanya, kepahitan biji pepaya akan sedikit berkurang kalau digoreng/gongso.
Hmmm ... Lain kali harus bikin sekoteng dan minuman tradisional Indonesia lainnya ya ....
Oh, ya. Selain jamu, rupanya teh melati yang wasgitel (wangi, seger, legi, kentel alias wangi, segar, manis dan kental) masih bisa dinikmati penduduk Jerman yang saya kenal. Selain di Pesta Indonesia, teh sudah sering saya bawa ke murid-murid VHS yang kebanyakan adalah orang Jerman asli. Sayang dalam Pesta Indonesia II kurang laris tehnya. Syukurlah masih ada yang suka.
“Saya suka teh Indonesia, pakai melati“ sanjung Alex, murid dari Polandia yang sudah menetap di Jerman. Perempuan cantik yang masih suka keliling dunia itu bisa berendam dengan air teh, andai bisa.
Lega. Suguhan minuman teh hitam rasa melati tak sia-sia.
***
Masih ada bumbu yang belum saya coba seperti kunyit putih (curcuma manga) dan cheese fruit alias pace! Kata ibu saya waktu saya masih kecil, itu obat darah tinggi untuk salah satu bulik kami, sampai kami harus mengumpulkannya dari tanah daripada bertebaran dan membusuk. Sama halnya dengan belimbing wuluh di depan rumah. Dikonsumsi. Belimbing wuluh bermanfaat untuk batuk. Jamu batuk, dikasih kecap. Aduh, gigi kok jadi linu sambil mata merem melek kayak lampu disco!
***
Nah, itu tadi 4 jamu Indonesia yang dikenal masyarakat Jerman. Selain saya seduh untuk tamu asing yang bertandang ke rumah kami, juga pada beberapa pesta Indonesia yang saya gelar (Indonesien Paradise der 1000 Inseln I, Indonesien Paradise der 1000 Inseln II dan farewell parties).