“Ananda, bantu aku untuk kembali pulang...“ Sesenggukan Sandra mengharu biru. Aku memeluknya. Sudah sebulan Sandra di sana, ia merasa tidak betah. Ia tumpahkan segala keluh kesah ketika aku mampir, menjenguknya.
“Buat apa? Sophie dan Matthias ada di sini. Semua kebutuhanmu tercukupi.“ Aku beringsut. Kulihat dari jendela, anak-anaknya bermain di taman.
“Kasihan Peter sendirian... siapa yang memasak untuknya? Siapa yang membuatkan kopi pagi-pagi? Siapa yang mencuci baju dan menyetrikanya? Siapa yang menemaninya tidur? Ia harus melakukannya sendiri.“ Ia usap hidungnya yang basah dengan Tempo, tisu putih bersampul biru.
“Sandra ... kamu tahu? Peter kasar padamu. Bertahun-tahun lamanya. Ia tidak menghargai perempuan yang telah menjadi separoh hidupnya, separoh nyawanya. Perempuan yang telah merawat anak-anak penerus generasinya. Dan yang dia beri padamu hanya lebam. Dia tidak adil. Dia semena-mena“ Galak. Galak sekali suaraku. Ingin kutegaskan pada Sandra, ia tak perlu menyesal. Kupegang kedua tangannya.
“Aku masih mencintainya, Ananda ...“ Sandra menatapku. Mataku terbelalak.
Aku sungguh tak mengerti. Setelah 15 tahun hidup bersama Peter, tak ada hormat dan kekasaran saja yang Sandra terima... tapi justru Sandra masih ingin bersatu dan kembali padanya. Oh, Sandra... aku tak tahu. Aku tak paham akan hasratmu. (G76).
Note: Untuk Kompasianer, para perempuan Indonesia di manapun berada ... yang melihat atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga (fisik, psikis, seksual, ekonomi) yang dilakukan oleh seorang suami, tak perlu takut dan menunggu terlalu lama. Laporkan pada komnas perempuan, LBH terdekat atau polisi ... dan lihat apa yang terjadi. Stop kekerasan pada perempuan....