Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Lebam Tetap Cinta

29 Januari 2016   16:36 Diperbarui: 29 Januari 2016   20:10 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Matamu aneh... kenapa?“ Aku tatap perempuan berambut pirang itu lekat-lekat. Ia bergerak. Ya, menutupi wajahnya yang ayu.

“Jatuh...,“ lirih ia menjawab. Lalu... menunduk.

“Aku sering lihat perempuan bermata lebam sepertimu. Aku yakin itu karena....“

“Bukan... bukan Peter yang melakukannya. Betul, aku jatuh.“ Ia sibuk membantu Sophie, anak gadis berambut pirang umur 6 tahun, yang badannya bongsor. Gadis itu kelas 1 SD.

“Sandra....“ Kucoba kejar dengan ragam tanya yang lain.

“Ananda... aku tidak apa-apa. Tak usah kau berpikir macam-macam,“ Sandra berusaha meyakinkanku tapi aku tak mau. Kepalaku menggeleng. Ini di bukan lebam pertama yang kupandangi di wajahnya! Aku harus berbuat sesuatu....

***

Sandra. Dia tetanggaku. Perempuan lembut itu pastilah menanggung beban yang tidak ringan. Pertama memelihara anak sulung yang sangat hiperaktif, susah diatur. Kedua, ekonomi keluarga yang tidak tentu. Peter sudah lama menganggur. Untuk pengangguran Jerman pastilah ada uang dari pemerintah. Tapinya, sampai di mana uang itu untuk mereka berempat? Beruntung sekali, Sandra sudah terbiasa hidup kekurangan. Katanya, ia pernah mengalami masa-masa sulit ketika Jerman utara masih belum terjamah pembangunan dan kesejahteraan dari pemerintah.

Aku rasa... sisa-sisa kekuatannya masih juga diuji dengan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Prinsipku, tak boleh ada seorang suami pun di dunia ini yang menganiaya istrinya untuk alasan apa pun.

Aku masih ingat perbincanganku dengan Peter:

“Manuela cerita, waktu hamil ia bertengkar hebat dengan Sam. Sampai-sampai pukulan diterimanya.“ Kutatap mata Peter yang biru. Mata yang menurun pada Sophie.

“Aku tak yakin. Sam temanku. Aku tahu betul sifatnya... tak mungkin ia keras pada istrinya.“

“Manuela yakin itu hasutan mertuanya. Orang tua Sam benci Manuela. Kalau kamu jadi Sam, apa kamu tega memukul Manuela, Peter...?“

Peter mengangkat bahu, ia tidak tahu. Padahal ingin aku menggali rasa ingin tahu yang selama ini menyesak di dada. Bagaimana kalau itu terjadi pada Sandra?

Aku perempuan. Aku tahu posisi Sandra dan aku tidak terima apa yang dialami Sandra menjadi kegiatan rutin yang tak berujung.

***

Lebam. Lagi-lagi hari ini mata Sandra lebam. Kali ini menjalar sampai sekujur tubuhnya. Aku tak bisa menahan geram. Kuraih HP. Kutelepon polisi. 110!

Tak perlu lama untuk menunggu. Usai berbincang sebentar, mereka membawa Sandra ke dokter, visum. Kemudian, ia tidak dibawa pulang ke rumah. Frauenhaus. Betul, tempat aman bagi para perempuan di Jerman yang diperlakukan tidak semestinya itu tujuan alternatif terbaik. Aku pikir, ini takdir yang semestinya. Dipelihara oleh negara.

Kulepas Sandra tanpa air mata tapi senyum kemenangan, yang seharusnya sudah sejak dari dulu mengembang. Dalam hidup ini, perempuan memiliki banyak kewajiban tapi ingat... ia masih punya hak, jangan sampai terinjak.

Kutancap gas Cabrio warna hitam menuju rumahku, istanaku. Di sanalah, aku akan selalu disambut buah hati dan kekasih yang menghargaiku. Seutuhnya. Tak pernah luntur. Semoga tidak akan terbalik.

***

Di sebuah rumah susun di pusat kota Stuttgart.

“Ananda, bantu aku untuk kembali pulang...“ Sesenggukan Sandra mengharu biru. Aku memeluknya. Sudah sebulan Sandra di sana, ia  merasa tidak betah. Ia tumpahkan segala keluh kesah ketika aku mampir, menjenguknya.

“Buat apa? Sophie dan Matthias ada di sini. Semua kebutuhanmu tercukupi.“ Aku beringsut. Kulihat dari jendela, anak-anaknya bermain di taman.

“Kasihan Peter sendirian... siapa yang memasak untuknya? Siapa yang membuatkan kopi pagi-pagi? Siapa yang mencuci baju dan menyetrikanya? Siapa yang menemaninya tidur? Ia harus melakukannya sendiri.“ Ia usap hidungnya yang basah dengan Tempo, tisu putih bersampul biru.

“Sandra ... kamu tahu? Peter kasar padamu. Bertahun-tahun lamanya. Ia tidak menghargai perempuan yang telah menjadi separoh hidupnya, separoh nyawanya. Perempuan yang telah merawat anak-anak penerus generasinya. Dan yang dia beri padamu hanya lebam. Dia tidak adil. Dia semena-mena“ Galak. Galak sekali suaraku. Ingin kutegaskan pada Sandra, ia tak perlu menyesal. Kupegang kedua tangannya.

“Aku masih mencintainya, Ananda ...“ Sandra menatapku. Mataku terbelalak.

Aku sungguh tak mengerti. Setelah 15 tahun hidup bersama Peter, tak ada hormat dan kekasaran saja yang Sandra terima... tapi justru Sandra masih ingin bersatu dan kembali padanya. Oh, Sandra... aku tak tahu. Aku tak paham akan hasratmu. (G76).

 

Note: Untuk Kompasianer, para perempuan Indonesia  di manapun berada ... yang melihat atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga (fisik, psikis, seksual, ekonomi) yang dilakukan oleh seorang suami, tak perlu takut dan menunggu terlalu lama. Laporkan pada komnas perempuan, LBH terdekat atau polisi ... dan lihat apa yang terjadi. Stop kekerasan pada perempuan....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun