Sunyi. Tak ada jawaban dari mereka. Tiba-tiba mereka lenyap dari hadapanku. Aku megap-megap. Kedua tanganku bergerak-gerak tak beraturan.
Rupanya aku masih hidup. Gelap yang tadi hanya sementara.
“Oh, Tuhan! Rupanya Dia masih mengijinkan kamu hidup. Mukjizat. Ini mukjizat. Dokter Hofmannnn!“ Perawat yang sudah dikawal para pria penggotong keranda ambulan, menuju tempat pembakaran mayat sudah tiba.
“Di mana aku?“ degup jantungku makin kencang.
“Sebuah apartemen di Zürich“
“Kenapa?
“Euthanasia?“ perawat menyahut.
“Betul, Anna ...“ dokter Hofmann yang mendengar teriakan perawat sudah tiba di kamarku. Ia memperjelas jawaban perawat.
“Namaku bukan Anna. Aku ... Rheinara Yuki!“ Dokter Hofmann bingung. Dulu, berulang kali ia bolak-balik dokumen asli saat pengajuan Euthanasia. Semua menunjukkan namaku, Anna Kalanishkov!
“Dok ... pasti karena keputusan kalian mengurangi dosis cairan kuning untuk pasien dari Asia ini atau ada orang yang sengaja mengganti cairan dalam botol dengan obat lain, ketika aku di kamar mandi.“ Samar-samar kudengar kalimat perawat. Ia segera menutup mulutnya begitu tahu aku mencuri dengar. Matanya terbelalak.