Kini aku telah siap dengan kepergianku.
Kuperiksa lagi tas tanganku sebelum check in; surat rekomendasi dr. Jalal bahwa aku dinyatakan sembuh, paspor lengkap dengan visa schengen, dompet, HP pemberian Ran, buku “Malam Bulan Mati, Balkon dan Ciuman“ dan berkas dokumen untuk sebuah keinginan. Komplit.
Lenganku, menggamit Pow, beruang lusuh yang matanya hilang satu, entah di mana aku masih juga tak tahu.
Kuserahkan kopor warna merah jambu pada petugas yang seperti model iklan itu.
Aku tersenyum bukan padanya tapi pada sebuah asa. Ya. Sebentar lagi ... terbang.
***
Dignitas, Zürich, Swiss.
Kepalaku serasa dipukuli martil dan godam lagi. Mataku seperti mau meloncat sendiri. Ingin rasanya kupotong tanganku. Aku tak bisa lagi hidup. Aku ... aku tak tahu!
Seorang perempuan berambut pirang, berpakaian putih-putih masuk. Ia memberiku masker oksigen agar aku tenang. Karena aku tidak sakit secara fisik, butuh tiga dokter untuk memeriksaku dan mengiyakan permintaanku. Euthanasia.
“Mengapa kamu pilih euthanasia?“ kata Dokter Heinz Hofmann. Ia yang pertama mengunjungi dan menanyaiku.
“Aku sudah bosan hidup. Bayangkan saja ... cintaku pada Nughie, Nugha dan Nughie yang sepakat membunuhku dengan beragam cara, kematian Nina, hilangnya nyawa Ran, amphetamine yang berlebihan dan percakapan terakhir dengan James ... ahhhh ... sungguh aku tak percaya semua ini ada di buku-buku hidupku, dok. Aku mau mati saja ....“