“Dia nggak boleh lupa. Sore nanti Nugha datang ... sama mom.“
“Nugha?“ Aku pura-pura tak tahu.
“Iya, saudara kembar Nugie. Kakakku yang nomor dua itu, lahir setelah Nugie. Jeda satu menit. Mukanya mirip Nugie tapi agak gemukan gitu. Salah makan kali. Kata mom, waktu bayi, mereka pernah dipisah dititipin tante Masako karena mom takut kalau sakit satu, sakit semua. Mom percaya kata Oma banget, siiiih......................................“
Tak kudengarkan lagi kalimat terakhir Nina barusan. Kugaruk-garuk kepalaku. Bukan, bukan karena ketombean. Aku was-was membayangkan reaksi Nugha ketemu aku, Gie. Atau celakanya, reaksiku ketemu Nugha! Ketemu dengan tiga orang dari masa lalu. Aku memang hadir dengan wajah yang bukan diriku. Hanya saja, kita berempat pernah sama-sama satu sekolah; aku, kamu, Nina dan ... Nugha! Aku percaya, ada insting yang bisa muncul sewaktu-waktu dari kembaranmu itu.
Mataku masih tak lepas dari Nina. Memandangnya tak ubahnya menikmati wajahmu yang samar-samar ada di garis wajahnya. Berganda dari sebuah mesin fotokopi alami. Bukan itu saja, bahkan Nina juga cerewet, Gie. Bener, kayak kamu!
Nina melototiku. Lagi-lagi aku ketahuan melamun. Sepertinya, adikmu membaca gerak-gerikku, Gie. Ingin tahu banyak soal ceritanya, tentang rencana kedatangan Nugha nanti...
Gadis yang mulutnya belepotan penuh coklat Crepes itu membuka laci lemari depan sofa. Sebuah album ia keluarkan.
“Pssst ... jangan bilang-bilang Nugie ya, kalau aku kasih lihat kamu album foto keluarga kami. Dia paling nggak suka ada yang lihat foto kami waktu kecil. Apalagi kalau ada gambarnya si Nugha, tuh .... Heran, sama saudara sendiri begitu. Aku saja sayang banget sama si Nugha.“
Album merah muda, lagi-lagi dengan motif Hello kitty. Duh, Nina. Adikmu itu memang Hello Kitty lover. Lembar demi lembar kunikmati. So, sweet, Gie ... Nggak nyangka waktu kecil, kamu selalu gundul. Dan baju kalian berdua ... ya, ampuuuunnn selalu kembar. Hahaha. Lucu.
Tapi ... sekarang Nugha kayak apa, ya? Sudah lama tidak bertemu.