Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kepada Eberle, Terima Kasih Telah Berteman Denganku

12 Oktober 2015   20:05 Diperbarui: 12 Oktober 2015   20:14 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbak Eberle,

apa kabarmu hari ini?

 

Entah mengapa tiba-tiba hari ini aku ingat tentang pertemuan pertama kita tahun 2011. Tak terasa 4 tahun kita berteman. Tak hanya di dunia nyata, pertemanan kita sampai juga di dunia maya. Itu saat kamu punya akun di Kompasiana. Sayang, kamu silent reader, maunya baca tapi males nulis.

 

Selalu terkejut ketika dalam setiap pertemuan kita, kamu selalu bilang, “Setiap pagi aku buka komputer, lihat internet. Baca postinganmu di Kompasiana lho. Lucu-lucu ... ada saja ide nulismu, Gan.“ Wow!

 

Menulis. Itu hobi yang membuat jiwaku terasa tak hampa di sini. Tinggal di negeri Jerman, kurasa sungguh berbeda dengan saat di tanah air. Lingkaran pertemananku berubah drastis, begitu berbeda. Kadang butuh kekuatan luar biasa untuk mengalahkan diriku sendiri.

 

Waktu bergulir, kukumpulkan teman di sini. Ya, pertemanan. Kalau bukan Widi yang mengenalkan, tak mungkin kita bertemu. Katanya, “Mbak, kenal sama mbak Eberle?“

“Nggak, paling juga yang di Villingen satu sama di Fridingen...“ kujawab pertanyaan pria yang pernah jadi anak buah suamiku di Semarang itu.

“Di Tuttlingen kok, tinggalnya“ Kota yang disebut, hanya 10 menit dari rumah. Kok, sampai tak kenal? Keterlaluan?

“Hah, sejak kapan?“ Keterkejutanku semakin tampak karena bola mataku membesar.

“Tahun 2010.“ Berarti baru setahun pindahan.

 

Akhirnya, kita memang betul-betul bertemu. Pertemuan kita seperti menyebar benih yang tumbuh pohon dan berbuah, manis. Sampai hari ini. Semoga seterusnya begitu. Tak pernah terpikir bahwa kita akan saling menyakiti, meski secara tak sengaja sekalipun. Jangan. Hidup sangatlah pendek. Tak seharusnya kita membuang waktu untuk energi negatif yang tak perlu.

 

Mbak Eberle,

masih ingat waktu kamu hamil lagi sampai berdarah-darah? Dokter bilang, anakmu kembar. Sesekali aku menyambangimu, memijatmu, memasakkan lumpia atau makanan Indonesia yang di Jerman, jelas tak ada yang jual. Jika buat sendiri pasti energimu belum sekuat sekarang. Di Indonesia, apa-apa mudah dan murah dibeli daripada bikin sendiri. Tinggal main tunjuk.

 

Ketika anak-anakmu lahir, kamu menangis. Menangis bukan saja bahagia tetapi merasa betapa Jerman sangat “keras“. Kamu repot sekali mengurus dua bayi ... sendiri. Dan aku mengerti. Aku sudah merasakan hal serupa, sebelummu.

 

Negeri ini mengajarkan banyak hal yang kadang membuat kita olah raga jantung. Semua harus dikerjakan sendiri, tidak semua orang ramah, harus tepat waktu, mana udara selalu dingin ... bahkan ketika udara sudah seharusnya panas sekalipun. Musim panas, tidak selalu panas setiap hari di tiga bulan masanya. Tidak. Angin bisa tiba-tiba seribut musim gugur di mana daun rontok dan orang menaikkan layang-layang. Hari bisa sangat mirip kulkas hingga serpihan es sebesar butiran pasir menyapa. Kemudian, tiba-tiba muncul mentari menyapa bumi. Tuhan, kehendak-Mu, luar biasa!

 

Ada pepatah mengatakan, “alah bisa karena biasa“. Aku, kamu ... kita berdua dan diaspora di Jerman lainnya, berhasil lulus ujian berintegrasi dengan negeri ini. Selamat, layak dapat bintang.

 Bu bos,

acara jalan-jalan kita di Jakarta Agustus lalu sungguh berkesan. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana orang begitu menghormati penumpang mobil mercedez dengan plat khusus. Di Jerman dengan plat nomor cantik; mau Mercedez, mau Porsche, mau Hummer ... akan diperlakukan sama. Di Jakarta? Asli beda!

 

Waktu itu, kamu melihatku dengan senyum manismu. Ketika mataku melotot karena semua "hormat grak" dan mobilmu tak diperiksa sedetil mobil sebelumnya di sebuah mall. Atau ketika kamu anter aku ke Kompasiana malam-malam, satpam bilang, boleh parkir tepat di depan pintu masuk.

 

Kamu bantu aku menenteng oleh-oleh piring untuk admin dan teman-teman Kompasianer yang hadir dalam bedah bukuku. Lho, beraaaaatttt. Tak usah. Aku saja yang angkat. Kamu menolak. Kita pun ketemu seorang admin.

 

Sehari setelahnya, setelah mengantarmu ke kantor, sopirmu bilang, ibu Eberle adalah big bos, bos besar yang tidak hanya suka menyuruh orang kerja tapi juga bekerjasama dan mau kerja keras sendiri. Tak heran lah, dulu waktu membangun perusahaan bersama almarhum papimu, dari pintu ke pintu kamu jalani juga. Tak kenal lelah.

 

Dan ketika kau memetik kerja keras kalian berdua dan menggunakan uang untuk kesukaanmu. Aku tak pernah iri, seperti kawan-kawan perempuan lain yang begitu sirik memandang apa tas yang kau tenteng, properti yang kamu punya di seluruh dunia, sepatu yang kamu injak atau perhiasan yang kau kenakan.

 

Bagiku, kalau kau bahagia, aku juga bahagia. Tak perlu aku menjadi sepertimu. Aku adalah aku dan kamu adalah kamu. Tetap biarkan begitu. Biar tak salah kata terucap, supaya benar cara bertindak. Yang utama dalam hidup adalah sehat dan bahagia.

 

Sungguh aku tak pintar matematika sepertimu. Menghitung uang milyaran? Aku jelas tak bisa.

 

Temanku Eberle,

Kamu tahu betul aku suka menari. Sampai kau menghadiahiku seperangkat kebaya warna abu-abu dengan payet mengkilap dan baju-baju tari Indonesia di setiap ulang tahunku. Hadiah itu tak hanya kunilai bobot materialnya. Tentu tidak boleh. Aku lihat bagaimana kamu mengerti kesukaanku. Menari, mengenalkan budaya Indonesia pada negeri rantau kita ini.

 

Mengenali teman, tak semudah membuka internet dan menggunakan kata kunci dalam mesin pencari lalu ketemu. Kamu, menemukannya sendiri dengan caramu.

 

Kompasianer Eberle,

pernah seorang Kompasianer lain menuliskan postingan tentang Mal Mangga Dua. Iya, di sanalah kamu ajak aku untuk berbelanja. Ya, ampuuuuun, gedhenya. Aku seperti Tarzan masuk kota. Barang yang dijual menarik dan banyak yang bisa ditawar harganya. Untung saja, waktunya sempit. Kalau tidak, bisa jebol dompet dan marahlah suamiku. Kamu hadiahi aku sepotong gaun indah warna merah. Semerah hatiku.

 

Lain kali, kita ke sana lagi. Belanja kebaya, selop, sanggul, tindik dan ubarampe yang cantik dan lucu-lucu.

 

Sudah ya, kapan-kapan kita sambung lagi. Anak-anak rewel, minta diantar ke kota, jalan-jalan sore.

 

Ujung gang gunung Karpfen, 12 Oktober 2015.(G76)

 

 

NB : Ikuti Event Surat-menyurat Fiksiana Community di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun