“Di Tuttlingen kok, tinggalnya“ Kota yang disebut, hanya 10 menit dari rumah. Kok, sampai tak kenal? Keterlaluan?
“Hah, sejak kapan?“ Keterkejutanku semakin tampak karena bola mataku membesar.
“Tahun 2010.“ Berarti baru setahun pindahan.
Akhirnya, kita memang betul-betul bertemu. Pertemuan kita seperti menyebar benih yang tumbuh pohon dan berbuah, manis. Sampai hari ini. Semoga seterusnya begitu. Tak pernah terpikir bahwa kita akan saling menyakiti, meski secara tak sengaja sekalipun. Jangan. Hidup sangatlah pendek. Tak seharusnya kita membuang waktu untuk energi negatif yang tak perlu.
Mbak Eberle,
masih ingat waktu kamu hamil lagi sampai berdarah-darah? Dokter bilang, anakmu kembar. Sesekali aku menyambangimu, memijatmu, memasakkan lumpia atau makanan Indonesia yang di Jerman, jelas tak ada yang jual. Jika buat sendiri pasti energimu belum sekuat sekarang. Di Indonesia, apa-apa mudah dan murah dibeli daripada bikin sendiri. Tinggal main tunjuk.
Ketika anak-anakmu lahir, kamu menangis. Menangis bukan saja bahagia tetapi merasa betapa Jerman sangat “keras“. Kamu repot sekali mengurus dua bayi ... sendiri. Dan aku mengerti. Aku sudah merasakan hal serupa, sebelummu.