Mohon tunggu...
Gabriel Pratama
Gabriel Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2020 Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pemuda yang gemar mendaki gunung dan sedang belajar mendalami jurnalistik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Terancamnya Kebebasan Pers dalam Kasus Peretasan Media Jurnalistik Online Narasi

17 Oktober 2022   09:32 Diperbarui: 17 Oktober 2022   10:02 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu mengenai kebebasan pers tidak lagi asing bagi masyarakat dan terutama jurnalis Indonesia. Bahkan, sejak masa orde baru kebebasan pers erat kaitannya dengan aksi pembredelan media yang terjadi karena ada kepentingan pemerintahan di situ. Hingga saat ini pun keadilan yang mutlak bagi jurnalis belum benar-benar terwujud. Walaupun rezim pemerintahan sudah berubah, masih ada oknum-oknum yang selalu mengancam kebebasan pers.

Perkembangan teknologi yang kemudian berimplikasi pada kegiatan jurnalistik memunculkan ancaman-ancaman baru pada kebebasan pers. Munculnya Jurnalisme media online memungkinkan teror-teror terhadap jurnalis tidak lagi berupa fisik seperti ancaman pembunuhan tetapi bisa datang dalam bentuk peretasan.

Ancaman terhadap jurnalis ini tampak dalam kasus Ferdy Sambo yang sedang gencar diberitakan oleh banyak media, salah satunya media berita "Narasi". Narasi yang merupakan media jurnalistik online, merupakan penemu dari kejanggalan yang terdapat di bukti rekaman CCTV kasus Ferdy Sambo. 

Setelah penemuan ini, akun narasi beserta beberapa jurnalis mendapat ancaman dari pihak anonymous. Peretasan ini tidak hanya berkaitan dengan keamanan yang lemah tetapi ada isu kebebasan pers yang terdiskreditkan di sana. 

Isu kebebasan pers menjadi perhatian penting dalam kasus ini yang mungkin tidak banyak diketahui banyak orang.

Jurnalisme media online

Konsumsi berita sebelum dan sesudah munculnya internet sangatlah berbeda. Saat ini dengan kondisi perkembangan internet yang semakin tinggi, konsumsi berita atau kebutuhan informasi masyarakat sangat bergantung pada platform online media berita. 

Sebelum adanya internet, media seperti televisi, koran, dan radio menjadi pemeran utama penyalur kebutuhan informasi masyarakat. Munculnya media online tidak lantas mematikan ketiga media tadi, namun secara perlahan menggeser popularitasnya dan memberikan nuansa kompetitif di sana.

Munculnya fenomena jurnalisme media online juga membuka peluang bagi masyarakat amatir untuk memberikan konten jurnalistik. Istilah ini bisa disebut dengan User Generated Content. 

Berdasarkan Muliawanti (2018), User Generated Content adalah konten yang tersedia untuk umum di internet, melibatkan sejumlah upaya kreatif, dan dibuat di luar rutinitas profesional dan praktek. 

Berbeda dengan media tradisional, berdasarkan Muliawanti (2018), media online lebih mengutamakan hal-hal berupa kecepatan, transparansi, parsialitas, jurnalis non-professional dan koreksi paska publikasi. Jurnalisme media online sendiri pada akhirnya merupakan fenomena yang mengubah proses produksi, distribusi, dan konsumsi yang ada dalam dunia jurnalistik.

Kebebasan pers dalam jurnalisme media online

Kebebasan pers dalam dunia jurnalistik berkaitan dengan kemerdekaan per situ sendiri. Istilah ini merupakan bentuk usaha untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. 

Sejalan dengan konsep demokrasi yang dipegang oleh negara Indonesia, kegiatan jurnalistik seharusnya lebih mudah merasakan kebebasan atau kemerdekaan. Konsep ideologi bangsa Indonesia yang demokratis ini menjadi titik dasar atas kebebasan pers tercipta.

Pers dalam kegiatannya di media tradisional memiliki Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang menjadi pedoman bagi semua jurnalis professional. Namun, munculnya fenomena jurnalisme media online menciptakan kebiasan tentang bagaimana posisi Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik dalam ekosistem media online. 

Pasalnya, jurnalis professional bukanlah satu-satunya pelaku jurnalistik dalam ekosistem media online, tetapi ada jurnalis amatir di sana sehingga pedoman jurnalis yang ada harus direlevansikan dengan ekosistem jurnalistik yang ada.

Berdasarkan Nurlatifah (2018), pers dalam Undang-Undang Pers didefinisikan sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Pada frase yang berbunyi, "....media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia" dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Pers memiliki visi yang sangat baik. 

Dalam perumusannya, pembentukan UU Pers memiliki visi bahwa wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik tidak hanya sebatas media cetak dan elktronik saja. Kesadaran akan perkembangan yang terus menerus terjadi membuat UU Pers ini sebenarnya memberi ruang bagi media online. Berangkat dari hal ini, kebebasan pers yang ada dalam UU Pers juga berlaku untuk platform media online.

Menurut Nurlatifah (2018) terdapat 3 garis besar kebebasan pers yang terdapat dalam UU Pers:

  • Pers yang memiliki kemerdekaan dalam bentuk Hak Asasi Manusia berarti setiap orang berhak berkomunikasi dan menyampaikan informasi
  • Kebebasan pers ditandai dengan tidak adanya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
  • Upaya menghalang-halangi kinerja pers dianggap sebagai bentuk pidana

weeklyblitz.net
weeklyblitz.net

Kasus Narasi

Pemberitaan yang sedang hangat dibicarakan dan diberitakan oleh media pada Agustus hingga September 2022 lalu adalah kasus Ferdy Sambo. Kasus ini sering menjadi headline dalam berbagai media berita salah satunya adalah narasi. Animo masyarakat yang besar untuk mengikuti berita ini sejalan dengan banyaknya kejanggalan yang ada dalam pengusutan kasus Ferdy Sambo.

Media-media memberitakan dengan sudut pandangnya masing-masing dan selalu memberikan informasi baru terkait perkembangan penyelidikan. 

Narasi yang juga merupakan media distribusi informasi turut andil dalam penyebaran informasi kepada khalayak. Salah satu yang menjadi konten narasi adalah penemuan kejanggalan dalam barang bukti CCTV kasus Ferdy Sambo. Penemuan ini memang menyudutkan pihak Sambo karena kejanggalan yang ada memberikan sedikit titik terang untuk peyelidikan.

Setelah narasi menemukan kejanggalan tersebut, mulai berdatangan ancaman dari anonymous yang mencoba meretas akun media sosial narasi dan beberapa akun media sosial para jurnalis narasi. 

Peretasan ini diakui sangat mengganggu kegiatan jurnalitik dari narasi sendiri, karena platform media yang digunakan narasi untuk mendistribusikan informasi adalah melalui media online.

September lalu, pihak narasi bahkan menerima pesan "diam atau mati" dalam web servernya. Hal ini sangat jelas jika dilihat secara kronologis, ancaman ini terjadi karena narasi mencoba ikut serta dalam pengusutan kasus Ferdy Sambo dengan menemukan kejanggalan yang ada dalam bukti CCTV.

Lantas mengapa hanya narasi yang menerima terror ini? Narasi yang mengedepankan sisi kritis dalam memandang suatu isu ini jelas sangat mengancam pihak-pihak yang salah di mata hukum. 

Banyak spekulasi datang bahwa anonymous yang mencoba meretas dan mengirim pesan ancaman kepada pihak narasi merupakan kaki tangan Ferdy Sambo.

Namun terlepas dari siapa yang mencoba meretas dan mengirim pesan ancaman tersebut, hal yang menjadi penting selain keamanan akun adalah mengenai isu kebebasan per situ sendiri. 

Pers sebagai wahana untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat memiliki peran yang krusial dalam pemenuhan kebuthan informasi masyarakat. 

Terganggunya kegiatan jurnalistik pihak narasi artinya juga mengganggu penerimaan atau distribusi informasi pada masyarakat. Jurnalis yang bergerak dalam pers ini memiliki perlindungan atau payung hukum dalam kegiatan jurnalistik, sehingga ancaman dari pihak luar bisa dipidanakan.

Kasus terror ini sebenarnya sudah mendiskreditkan makna dari kebebasan per situ sendiri. Banyak dari kita yang bertumpu pada jurnalis dalam pemenuhan kebutuhan informasi, tetapi banyak juga dari kita yang mencoba menghalangi distribusi informasi. 

Hal ini jelas karena masih adanya kepentingan pihak-pihak tertentu yang mencoba mempertahankan diri.

Atmosfer demokrasi yang dibangun di negara Indonesia seharusnya sedikit demi sedikit dapat membangkitkan kebebasan pers. Perlu adanya payung hukum yang jelas terkait dengan ekosistem jurnalistik media online. 

Kebebasan pers ini bukan semata-mata hanya memberikan kenyamanan pada jurnalis tetapi juga memberikan kenyamanan bagi masyarakat dalam penerimaan informasi.

Daftar Pustaka

Muliawanti, L. (2018). Jurnalisme Era Digital: Digitalisasi Jurnalisme dan Profesionalitas Jurnalisme Online. LENTERA.

Nurlatifah, M. (2018). Posisi Undang-Undang Pers Indonesia Dalam Ekosistem Media Digital. Profetik: Jurnal Komunikasi, 11(1), 71-85.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun