Mohon tunggu...
Gabriel Pratama
Gabriel Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2020 Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pemuda yang gemar mendaki gunung dan sedang belajar mendalami jurnalistik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jurnalisme Timur-Tengah, Penuh Keringat dan Darah

19 September 2022   11:55 Diperbarui: 19 September 2022   11:56 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingatkah kalian dengan peristiwa meninggalnya jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi?

Sedikit mengulik ke belakang, Jamal Khashoggi merupakan seorang wartawan Arab Saudi terkemuka. Pada tahun 2017, ia menulis kolom untuk The Washington Post di mana isinya adalah kritikan atas Tindakan keras Arab terhadap perbedaan pendapat, perang di Yaman, dan sanksi yang dijatuhkan kepada Qatar.

Bagi dunia jurnalis, tulisan yang mengkritik pemerintah bisa dikatakan merupakan aksi nekat. Pasalnya jurnalis memang merupakan pihak netral yang kemudian berperan menjadi pengkritik penyelenggaraan kegiatan suatu negara.

Aksi Jamal terbilang cukup berbahaya mengingat pemerintahan Arab Saudi menggunakan sistem monarki absolut. Jenis pemerintahan ini berpusat pada raja, ratu, kaisar, syah, atau sultan. Pemimpin Arab Saudi dipilih berdasarkan garis keturunan pemimpin sebelumnya.

Dalam arti lain, pemimpin Arab Saudi memiliki kekuasaan yang tidak terbatas yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Sistem pemerintahan ini akan memungkinkan seorang pemimpin berbuat semena-mena dan masyarakat harus menuruti perintah yang diberikan.

Kasus Jamal Khashoggi sendiri memiliki kaitan dengan petinggi pemerintahan Arab Saudi. Ia dikabarkan menghilang pada 4 Oktober setelah 2 hari sebelumnya didapati memasuki konsulat untuk mengurus dokumen perceraian.


Setelah kabar hilangnya Jamal muncul ke permukaan, pihak Arab Saudi angkat bicara. Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman pun mengatakan bahwa Jamal Khashoggi tidak ada di dalam konsulat.

Dari sini mulai muncul perdebatan akan hilangnya Jamal Khashoggi. Banyak yang menganggap bahwa Jamal telah dibunuh oleh petinggi Arab Saudi karena mencoba mengkritik pemerintahan.

Di sisi lain pemerintahan Arab Saudi mencoba menutupi kasus ini. Sangkalan demi sangkalan muncul dari pihak Arab.

Akan tetapi, sangkalan pihak pemerintah Arab tidak bertahan lama. Sekitar 2 minggu setelah kabar hilangnya jamal, terungkap bahwa Khashoggi dibunuh di kantor kedutaan pada 2 Oktober.

Terungkapnya kasus ini terjadi karena bantuan CIA. Mereka memiliki kesimpulan bahwa terdapat keterlibatan pangeran Saudi. Hal ini bukan tanpa dasar melihat sistem pemerintahan monarki absolut yang dianut Arab Saudi.

Bahkan untuk urusan sekecil apapun, peran Mohammed bin Salman sebagai pemimpin paling berkuasa di Arab Saudi sangat krusial.

Hal ini memang menunjukkan bahwa ada kepentingan tertentu yang ingin dipertahankan oleh pemerintah Arab Saudi, khususnya mengenai isu-isu yang diangkat oleh Jamal Khashoggi di The Washington Post.

Kritikan yang disampaikan Jamal Khashoggi mungkin akan memberikan tekanan atau bahkan menyudutkan pemerintahan Arab Saudi, sehingga dirinya pun menjadi korban dalam kasus ini.

Gambaran kasus Jamal Khashoggi memperlihatkan pada kita bahwa sebenarnya menjadi seorang jurnalis merupakan tugas yang mulia dan disaat yang bersamaan dapat mengancam nyawa.

Berdasarkan nalarpolitik.com, sepanjang tahun 1990 hingga 2020, terdapat 561 jurnalis yang terbunuh di Kawasan timur tengah.

Kawasan timur tengah sendiri identik dengan lokasi yang penuh intrik politik dan konflik sektarian. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi berbagai pihak untuk mengambil jalan tengah yang solutif.

Lalu apakah tidak perlindungan bagi jurnalis yang meliput di daerah rawan konflik atau perang?

“Recognizing the important role of international humanitarian law, and international human rights law as applicable, in protecting journalists, media professionals and associated personnel in armed conflicts” – United Nations Security Council, S/RES/2222 (2015).

Pernyataan di atas terdapat pada dokumen resolusi dewan keamanan PBB yang berisi tentang rujukan negara-negara dalam memberikan perlindungan terhadap jurnalis.

Pada dasarnya kegiatan meliput yang dilakukan jurnalis telah memiliki perlindungan. Akan tetapi, banyak kepentingan-kepentingan golongan yang kemudian buta akan perlindungan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun