Mohon tunggu...
Gabriella Permatasari
Gabriella Permatasari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

just keep going

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengenal "Revenge Porn" dan Dasar Hukum yang Menjerat

24 Desember 2020   20:41 Diperbarui: 24 Desember 2020   21:02 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi adalah proses mendunia, yang mana dunia tampak tidak ada batasannya. Pada era globalisasi, perkembangan teknologi mendasari mudahnya akses informasi dan berkomunikasi. Perkembangan ini terjadi di seluruh bidang kehidupan dan membawa dampak baik atau dampak buruk.

Dampak buruk yang terjadi adalah mudahnya penyebaran konten berisi pornografi baik berupa video seksual eksplisit maupun revenge porn. Revenge porn atau pornografi balas dendam adalah pelecehan online berupa penyebaran foto atau video seksual tanpa izin dari korban (Patrick Ambron, 2015).

Menurut Sarah Bloom (Bloom, 2014: 278), revenge porn adalah perilaku yang harus di klasifikasikan sebagai tindak kejahatan seksual karena serupa dengan tindakan lain seperti, kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Revenge porn merupakan kegiatan balas dendam yang umumnya dilakukan terhadap perempuan oleh mantan pacar atau mantan suami.

Pada umumnya, para korban di iming-imingi proses perekaman hanya untuk kepuasan pribadi saja. Terdapat beberapa kasus perekaman yang dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan korban, dan adanya paksaan yang dilakukan oleh pelaku.

Pelaku umumnya melatarbelakangi penyebaran video eksplisit tersebut karena tidak bisa menerima fakta hubungan percintaannya telah usai. Kasus yang baru saja terjadi dialami oleh perempuan bernama Bunga (nama samaran) di Banyuwangi. Pelaku menyebarkan foto seksual korban melalui media sosial dan mengirimkan foto tersebut ke keluarga korban (liputan6:2020).

Berdasarkan data Komnas Perempuan terdapat 659 kasus kekerasan terhadap perempuan di Tahun 2020. Data lain menyebutkan bahwa pada 2020 terdapat kenaikan penyebaran konten seksual sebesar 375% jika dibandingkan dengan tahun 2019 (SAFEnet:2020).

Revenge porn sangat berdampak pada lingkungan sosial dan kesehatan mental korban yang pada umumnya adalah perempuan. Tersebarnya foto atau video eksplisit tersebut akan memengaruhi citra baik yang dimiliki.

Ketika video sudah menyebar di khalayak umum, banyak orang akan menganggap pihak perempuan sebagai masalah besar. Sedangkan pihak laki-laki cenderung dianggap sebagai angin lalu dan bukan sebuah masalah.

Pihak korban yang membutuhkan pendampingan khusus karena foto atau video eksplisitnya diketahui masyarakat, harus menelan pil pahit yang disebabkan banyak komentar kasar atau makian yang ditujukan kepadanya.

Selain itu, lingkungan di sekitar korban, seperti tetangga ataupun teman akan mengecap buruk dan bergosip mengenai dirinya. Korban bisa dikucilkan di lingkungan sosialnya karena dianggap tidak suci setelah melakukan hal tabu.

Sanksi sosial yang berlaku dapat mengakibatkan korban tidak berani melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang. Korban juga berisiko mengalami stress hingga depresi karena merasa sendirian, merasa rendah, dan tidak berani mengungkapkan perasaannya. Apabila tidak segera ditangani, korban dapat mengalami depresi akut yang membuatnya melukai diri sendiri bahkan menewaskan dirinya sendiri.

Sebagai negara yang menjunjung Hak Asasi Manusia, dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 28D ayat (1) dikatakan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum", kasus revenge porn telah menandakan bahwa perlindungan hukum seseorang telah dilanggar. Berkaitan dengan hal ini, Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi harus memenuhi hak asasi manusia seseorang, yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.

Selain itu, menurut Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya", menandakan bahwa korban tindak kejahatan revenge porn berhak dilindungi dan dijaga kehormatannya dari hal-hal yang dapat mengancam dan tidak membuat nyaman (Ita Iya, dkk, 2019: 466).

Ketentuan lain yang tercantum dalam pasal 9 UU No 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, serta berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini menjadikan korban revenge porn memiliki kehidupan yang bebas tanpa gangguan dan diskriminasi yang mengganggu selama ia hidup.

Sementara itu, sebagai negara hukum, Pemerintah wajib menjamin kepastian hukum warga negara dengan ditegaskannya peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menyebarluaskan dan menyediakan hal-hal yang berisi pornografi.

Ketentuan lain yaitu Pasal 9 UU No 44 Tahun 2008 menyebutkan larangan menjadikan orang lain sebagai objek pornografi. Pelaku penyebaran konten pornografi dapat dikenai Pasal 35 Jo 29 UU No 44 Tahun 2008, yang mencantumkan pelaku dapat dijatuhkan hukuman pidana penjara minimal 6 bulan dan maksimal 12 tahun atau pidana denda minimal 250 juta dan maksimal 6 miliar, serta seseorang yang menjadikan korban sebagai objek muatan pornografi dapat dijatuhkan hukuman pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 12  tahun atau denda minimum 500 juta dan maksimal 6 miliar.

Terdapat ketentuan lain yang mengatur hukuman bagi pelaku penyebaran konten pornografi yaitu Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan bahwa seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan konten pornografi dapat dijatuhkan hukuman pidana penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal 1 miliar.

Dengan adanya peraturan yang dibbuat oleh Pemerintah, secara tidak lansung melindungi hak-hak korban pelecehan seksual. Seharusnya tidak ada lagi keraguan dari dalam diri korban untuk melapor kepada pihak berwenang dan pihak berwenang haruslah cepat tanggap dalam melaksanakan tugasnya untuk membantu korban.

Daftar Pustaka

Ita Iya Pulina Perangin-angin, dkk. Kewajiban dan Tanggungjawab Negara Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Korban Revenge Porn di Indonesia. Diponegoro Law Journal. 2019. Vol 8(1): 466.

Liputan6.com. Putus Cinta, Mahasiswa di Banyumas Sebar Foto Telanjang Bekas Pacarnya. Mei 2020. Diakses 22 Desember 2020 pukul 15:40.

Patrick Ambron. What to do When You're the Victim of Revenge Porn. Juni 2015. Diakses 21 Desember 2020 pukul 21:47.

Safenet Voice. [Rilis Pers] Peningkatan Kekerasan Berbasis Gender Online selama Pandemi. Desember 2020. Diakses 22 Desember 2020 pukul 15:28.

Sarah Bloom. No Vengeance for 'Revenge Porn' Victims: Unraveling Why this Latest Female-Centric, Intimate-Partner Offense is Still Legal, and Why We Should Criminalize It. Fordham Urban Law Journal. April 2016. Vol 42 (1): 278.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun