Sanksi sosial yang berlaku dapat mengakibatkan korban tidak berani melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang. Korban juga berisiko mengalami stress hingga depresi karena merasa sendirian, merasa rendah, dan tidak berani mengungkapkan perasaannya. Apabila tidak segera ditangani, korban dapat mengalami depresi akut yang membuatnya melukai diri sendiri bahkan menewaskan dirinya sendiri.
Sebagai negara yang menjunjung Hak Asasi Manusia, dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 28D ayat (1) dikatakan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum", kasus revenge porn telah menandakan bahwa perlindungan hukum seseorang telah dilanggar. Berkaitan dengan hal ini, Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi harus memenuhi hak asasi manusia seseorang, yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.
Selain itu, menurut Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya", menandakan bahwa korban tindak kejahatan revenge porn berhak dilindungi dan dijaga kehormatannya dari hal-hal yang dapat mengancam dan tidak membuat nyaman (Ita Iya, dkk, 2019: 466).
Ketentuan lain yang tercantum dalam pasal 9 UU No 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, serta berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini menjadikan korban revenge porn memiliki kehidupan yang bebas tanpa gangguan dan diskriminasi yang mengganggu selama ia hidup.
Sementara itu, sebagai negara hukum, Pemerintah wajib menjamin kepastian hukum warga negara dengan ditegaskannya peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menyebarluaskan dan menyediakan hal-hal yang berisi pornografi.
Ketentuan lain yaitu Pasal 9 UU No 44 Tahun 2008 menyebutkan larangan menjadikan orang lain sebagai objek pornografi. Pelaku penyebaran konten pornografi dapat dikenai Pasal 35 Jo 29 UU No 44 Tahun 2008, yang mencantumkan pelaku dapat dijatuhkan hukuman pidana penjara minimal 6 bulan dan maksimal 12 tahun atau pidana denda minimal 250 juta dan maksimal 6 miliar, serta seseorang yang menjadikan korban sebagai objek muatan pornografi dapat dijatuhkan hukuman pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 12 Â tahun atau denda minimum 500 juta dan maksimal 6 miliar.
Terdapat ketentuan lain yang mengatur hukuman bagi pelaku penyebaran konten pornografi yaitu Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan bahwa seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan konten pornografi dapat dijatuhkan hukuman pidana penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal 1 miliar.
Dengan adanya peraturan yang dibbuat oleh Pemerintah, secara tidak lansung melindungi hak-hak korban pelecehan seksual. Seharusnya tidak ada lagi keraguan dari dalam diri korban untuk melapor kepada pihak berwenang dan pihak berwenang haruslah cepat tanggap dalam melaksanakan tugasnya untuk membantu korban.
Daftar Pustaka
Ita Iya Pulina Perangin-angin, dkk. Kewajiban dan Tanggungjawab Negara Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Korban Revenge Porn di Indonesia. Diponegoro Law Journal. 2019. Vol 8(1): 466.
Liputan6.com. Putus Cinta, Mahasiswa di Banyumas Sebar Foto Telanjang Bekas Pacarnya. Mei 2020. Diakses 22 Desember 2020 pukul 15:40.