"Ayoo semuanya kita mulai rapat detik ini juga," itu perintah dari Raymon, sang ketua dari Komunitas Paduan Suara kecil ini. Aku bersama Zio pacarku, Kak Frans teman Zio bersama Kak Cica pacarnya duduk di meja yang sudah disiapkan sebelumnya.
Kita berempat bukan dipersatukan di komunitas ini, tapi di tempat yang beda dengan cerita yang sama. Aku dan Zio ketemu di kampus, kami beda jurusan, tapi di kampus sama-sama mengikuti organisasi BEM- yang katanya kalo masuk bakalan famous, nilai bagus. Namun semua hanya ada di dunia telletubies. Aku dan Zio sudah menjalani hubungan ini selama 4 tahun. Yap, sejak mahasiswa baru sudah jadi budak cinta. Tahun ini kami akan sama-sama wisuda, bulan depan tepatnya.
Kak Frans dan Kak Cica bertemu di organisasi BEM juga dan di kampus yang berbeda dengan kami. Kisah mereka juga sudah 4 tahun hingga mereka kerja sekarang. Kebetulan Zio sering ketemu Kak Frans di lapangan futsal dekat kampus kami. Akhirnya kami berempat jadi sering kumpul dan hangout bareng. Komunitas Paduan Suara ini merupakan organisasi eksternal kampus. Kami bergabung untuk mengisi waktu luang.
Hari ini sudah 3 bulan sejak pandemi Covid 19 menyerang dunia, komunitas kami tidak pernah tampil di luar lagi. Hari ini diadakan rapat untuk menata ulang sistem yang sudah kacau.
"Jadi, kita akan bikin virtual conser gitu guys, latihan nya bakalan susah sih, you know lah, kita rekaman sendiri, trus tim multimedia yang edit, ini gue kasih kertas yang isinya..." begitulah rapat kami berjalan hingga selesai.
Akhirnya kami semua latihan di rumah masing-masing. Hari ke-2 latihan, aku dapat telepon dari Kak Cica. "Halo Na, gue positif, lo sama Zio Swab sekarang juga ya" seketika lututku lemas, itu tandanya seluruh keluarga ku juga harus melakukan Swab. Tanpa menunggu waktu, kami sekeluarga segera ke rumah sakit untuk menjalani Swab, ketemu Zio dan keluarganya juga disana.
"Kak Frans gimana?" Tanyaku ke Zio.
"Negatif" jawab Zio singkat.
Ternyata keluargaku dan Zio semuanya negatif.
Dua minggu sudah berlalu, kami hanya bisa menghubungi kak Cica melalui video call atau chatt. Dia dirawat di rumah sakit yang lumayan jauh dari rumahku. Sudah tiga hari aku belum mendapat kabar dari Kak Cica, tapi biasanya pada hari ke-4, dia memberi kabar ke semuanya.
Sore ini seperti biasa aku menyapu halaman, tiba-tiba Kak Frans ada di depan gerbang rumahku.
"Kak Frans kok pulang kerja cepet?" Tanyaku sambil membuka gerbang. Dia tersenyum tipis. Kak Frans memang pria super cuek di muka bumi, bahkan dengan Kak Cica saja dia jarang berbicara.
"Besok malam mama papa mau kesini" kata Kak Frans sambil duduk di teras.
"Oo tumben amat, emang mau ngapain?" tanyaku
"Gak tau, ini ada oleh-oleh dari Mama buat kamu. Katanya besok dipake. Udah ya aku pulang, daa" kak Frans langsung pergi sambil meninggalkan tottebag pink.
Malam ini Zio tidak bisa dihubungi, seluruh keluarganya juga sama.
"Ma, Zio sekeluarga kok malam ini tumben amat gak bisa dihubungi, perasaan tadi pagi kami masih chattingan kayak biasa"
aku menghampiri Mama yang sedang menonton. Mama melihat ke arahku. Tidak seperti biasanya tatapan Mama seperti itu.
"Istirahat yuk, Zio sekeluarga lagi makan malam kali" Mama langsung pergi ke kamar. Ada yang tidak beres.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Dan Zio masih belum bisa dihubungi. Sial aku panik. Aku memakai jaket dan masker, ku raih kunci motor dan bergegas ke rumahnya.
Rumah Zio gelap, entah aku yang salah atau memang sesuatu sedang terjadi.
Aku menghampiri satpam yang menjaga komplek perumahannya.
"Pak, keluarga Zio kemana ya?"tanyaku
"Ya auloh Mbak Vina, kamu dinihari begini ngapain kemari? Zio emangnya gak bilang kalo mereka sekeluarga ke Jogja?Katanya neneknya sakit, begitu" jelas Pak Satpam.
"Mereka ada titip pesan ke Bapak gak?" tanyaku penuh harap.
"Gak ada sih mbak, soalnya mereka kayaknya juga buru-buru gitu"
Nenek Zio yang berada di Jogja tahun lalu sudah meninggal, bahkan aku sudah diajak kesana. Memang benar ada yang tidak beres.
Hari pun berganti, pagi ini Zio dan keluarga tidak bisa dihubungi, mama dan papa juga tidak terlalu menanggapi keluhanku. Hingga malam tiba dan keluarga Kak Frans datang. Mereka semua terlihat berpakaian rapi, kami sekeluarga juga entah mengapa berpakaian sangat rapi. Aku memakai gaun pemberian mama Kak Frans.
"Ini mau ngapain ya Kak?" tanyaku ke Kak Frans. Dia tampak tegang dan hanya menggeleng.
"Selamat malam semuanya, malam ini kami dari keluarga Bramuwijaya datang ke tempat ini dengan maksud untuk melamar Vina, putri dari Bapak Agustinus" begitulah kata sambutan yang pertama kali ku dengar setelah mengalami kejadian aneh sejak kemarin malam. Mataku langsung terbelalak, menatap mama dan papa yang hanya menunduk. Kak Frans dan Tante Lia, ibunya juga terlihat tegang. Wah kacau.
"Maaf om, mohon maaf sebelumnya, maksudnya bagaimana ya om?" Tanyaku yang masih belum mengerti apa yang terjadi di kehidupan ini.
Om Bram mengambil HP dari dalam saku celananya.
"Vina ini bisa dilihat agar kamu mengerti"
Aku menerima HP dari Om Bram. Ada video kak Cica, dan aku memutarnya.
"Selamat pagi semuanya, ya hari ini disini pagi. Ini Cica yang positif corona, pagi ini saya merasakan sesak lagi, makanan tiba-tiba gak ada rasanya. Saya tidak tau ini bisa jadi kabar baik atau kabar buruk, tapi jika ini kabar buruk, saya punya 1 permintaan terakhir dan terpenting. Saya mau Frans dan Vina segera menikah ketika saya sudah meninggal. Saya sudah memberitahu hal ini sebelumnya ke Frans dan keluarga melalui video call, disaksikan juga oleh keluarga saya, Frans dan Zio. Zio dan keluarga puji Tuhan menerima permintaan saya. Saya juga sudah menjelaskan hal ini kepada Zio. Saya minta maaf ke Vina belum menghubungi, karena .." aku langsung menghentikan video tersebut dan menyerahkan kembali HP ke om Bram.
Aku menunduk dan air mataku menetes.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk bisa mencerna kembali kejadian malam ini.
"Om, saya..saya boleh dikasih waktu sebentar, saya mau ngobrol dengan kak Frans" kataku menahan tangis. Om Bram mengangguk. Aku menarik tangan kak Frans ke dapur.
"Huh.... oke, Kak maksud kak Cica apa sih, trus kak Cica mana?" tanyaku.
"Cica sudah meninggalkan kita semua 3 hari yang lalu, kami semua gak bisa menghadiri pemakamannya. Maaf aku gak ngasih tau kamu. Semua orang tau kamu dan Cica udah kayak kakak adik, gak ada yang tega ngomong hal ini secara langsung ke kamu, bahkan Zio sekalipun."
Seketika itu juga aku langsung jatuh ke lantai, dadaku sesak sekali mendengar semuanya. Memang benar aku dan kak Cica sangat dekat, itu karena aku anak tunggal dan kak Cica mempunyai 2 adik. Aku sering nginap di rumahnya, bahkan ketika pandemi di bulan pertama, aku karantina di rumahnya selama 1 minggu.
"Terus saat ini Zio dan keluarganya dimana?" tanyaku sambil menangis.
"Zio dan keluarga perlu waktu untuk menenangkan diri, mereka ke Sukabumi" Singkat, padat, jelas. Harusnya aku bisa memahami isi pembicaraan ini, namun malam ini daya tangkap ku melemah.
"Kenapa Zio menerima ini semua?" tanyaku agak marah.
"Karena Zio tau bukan hanya dia yang mencintai kamu" jawab Kak Frans.
"Oh tentu, ada mama papa dan Kak Cica" aku nyolot.
"Ada aku" aku langsung menatap kak Frans dalam.
"Gimana gimana, kak tolong ya bikin aku ngerti apa yang udah terjadi. Kenapa dari semua orang, cuman aku yang gak tau apa-apa? "
"Vin, aku suka, sayang, cinta sama kamu sejak pertama kali Zio bawa kamu ke lapangan futsal itu. Kalian baru jadian waktu itu, dan aku belum punya pacar. Tapi ada Cica, cewek yang ngejar aku sejak dia masuk BEM. Aku gak pernah suka ke Cica, aku nerima dia karna dia punya penyakit asma dan jantung, aku kasian, siapa lagi yang mau nerima dia? Tapi aku bisa apa, kalau kamu ternyata bahagianya sama Zio?"
Aku bahkan tidak percaya ternyata cerita ini terjadi di dunia ku. Aku pikir cerita konyol begini hanya ada di FTV Indonesia. Ketika hari wisuda yang dilaksanakan secara virtual, aku tidak melihat Zio. Sejak kejadian dadakan itu, keluarga Zio lost contact denganku. Aku sama sekali tidak tau keadaan mereka.
Kenapa akhirnya aku menerima pernikahan ini? Tentu saja jawabannya karena Kak Cica. Bahkan aku dihampiri beliau dalam mimpiku, memintaku untuk menjadi istri Frans. Cinta akan timbul dengan sendiri katanya. Lalu harus ku apakan cinta yang sudah tertanam selama 4 tahun bersama Zio. Harusnya Zio mempertahankanku.
Pagi ini aku sudah berdiri di depan altar, jari manisku sudah tersemat cincin pernikahan. Ya aku sekarang sudah sah menjadi keluarga Bramuwijaya. Aku melihat walaupun hanya ada 20 orang, mereka semua terlihat ceria seperti mendapatkan emas 100 karat.
Kak Frans menggenggam tanganku dan berbisik,"Aku janji akan membuat kamu bahagia seperti dulu" aku hanya diam dan menatap kosong ke depan. Cinta yang aku punya kalah dengan permintaan orang mati. Bahkan aku tau Kak Cica tidak ada lagi di dunia ini, kenapa aku tidak memberontak saja saat itu? Sayangnya aku menyayangi Kak Cica dalam keadaam hidup atau mati. Akhirnya semua kalah ketika aku ingat hari dimana Kak Cica mendonorkan ginjalnya kepadaku, insiden aku terkena batu ginjal. Padahal saat itu aku masih memiliki 1 ginjal yang berfungsi, tapi kata kak Cica, anak muda harus punya 2 ginjal. Lalu apa bedanya dengan dia.
Zio benar-benar hilang dari dunia ini. Aku kehilangan kabar dan jejaknya. Frans tau aku masih sering mencari cara untuk mengetahui kabar Zio, dia kadang membantu, namun kami tetap gagal mendapatkan lokasi terkini dari Zio dan keluarga.
Di rumah ini, Frans yang melakukan segalanya. Dia tau aku belum siap mencintainya dan dia tetap saja dengan sabar dan sukarela melakukan apapun. Padahal dia masih bekerja sebagai teknisi di salah satu perusahaan BUMN, dan dia juga masih harus mengurus ku.
Sudah tiga bulan pernikahan ini berjalan, dan Zio tetap tidak ada kabar. Hari-hari yang ku lalui juga tidak mengalami perubahan. Agar tidak menyusahkan Frans, aku menyambi di rumah sebagai freelance desain grafis.
Pagi ini seperti biasa Frans mencium keningku lalu berangkat bekerja. Entah apa yang merasuki pikiranku, setelah memakai masker medis, aku mengikuti kegiatannya secara diam-diam. Dia sampai di kantor dan berinteraksi seperti biasa. Aku melihat pedagang buah di sebelah kanan kantornya, itu buah yang biasa dibawa pulang Frans ke rumah. Aku menghampiri pedagang tersebut.
"Pak, bapak kenal sama Pak Frans?" tanyaku.
"Kenal Bu, dia kan teknisi di kantor ini, dia sering beli buah disini, untuk istrinya katanya" jawab bapak itu.
"Ooh untuk istri" gumamku pelan.
"Iya Bu, jangan-jangan Ibu suka ya sama Pak Frans, udah gak heran deh, di kantor ini semua cewek-cewek suka sama Pak Frans, soalnya ganteng, pintar, ramah lagi" lanjut bapak tersebut.
Aku hanya menggeleng dan memasuki lobby kantornya.
"Selamat pagi Bu, ada yang bisa dibantu?" tanya recepsionist.
"Pak Frans ada?" tanyaku
"Pak Frans sedang meeting bersama manager, mungkin selesai pukul 10 Bu" aku mengangguk dan duduk di kursi. Bahkan aku tidak sadar bahwa aku sudah membawakan Frans salad buah dari pedangang buah itu.
"Itu kenapa ya nanyain Pak Frans, bawa-bawa salad buah lagi" aku mendengar bisikan dari receptionist ke rekan di sebelahnya.
"Istrinya kaliii" sahut rekannya.
"Emang iya? Harusnya kalo istrinya pasti tiap hari atau minimal 2x seminggu lah bawain makanan, masa cuman sekali seumur hidup, hahahaah"
Aku terdiam. Iya benar, seharusnya aku seperti itu. Aku mendekati receptionist nya.
"Mbak, memangnya Pak Frans terkenal di kantor ini?" tanyaku.
"Wah iya Bu, itu manager kami aja Bu Mega kan suka sama dia, satu kantor tau kalo Bu Mega modusin Pak Frans, tapi Pak Frans cuek banget gak pernah gubris, jadi penasaran istrinya wujudnya gimana. Ngomong-ngomong ibu ada perlu apa ya ke Pak Frans?" Aku terdiam sejenak.
"Saya tadi ada perlu sebentar, kemaren sudah ada janji mau ketemu" kataku.
Beberapa saat kemudian seorang wanita sekitar umur 30an keluar bersama beberapa orang lainnya, termasuk Frans. Semuanya terlihat memakai masker.
Frans terlihat berbicara ke rekannya, aku gugup. Aku berdiri ingin kabur dan sembunyi, namun saat aku membalikkan badan, tangan kekar merangkul pinggangku.
"Sayang, kamu tumben kesini, ada apa?" Wajahku panas dan badanku bergetar. Seluruh orang di ruangan lobby melihat ke arah kami. Damn...! Aku masih mematung, tidak tau harus berkata apa. Wanita yang pertama kali aku lihat keluar melihat dengan tatapan tajam.
"Aku.. ini.. salad buah, biar kamu semangat kerja nya" ku rutuki diriku yang sudah mengeluarkan kata-kata itu. Dari sudut matanya, Frans tampak tersenyum senang.
"Oalah, ini istri Pak Frans?" tanya salah satu rekannya.
"Iya Pak Hanung, ini istri saya tumben sempat datang ke kantor buat antar makanan, biasanya hampir tidak sempat, kadang makanannya hanya dititip ke ojek online. Biasalah mama muda sekarang bisnis nya banyak" jelas Frans.
"Pantesan jarang keliatan di acara kantor juga Bu Vina" wanita tadi menghampiriku.
"Iya Bu Mega, saya juga tidak mau menghambat karir istri saya mumpung masih muda" kata Frans menimpali.
Aku masih mematung tidak tau harus berbuat apa.
"Kamu kesini naik apa sayang, motor?" tanya Frans.
"Aku...naik taxi tadi, soalnya aku.."
"Bu Mega, mohon maaf Bu, saya permisi sebentar untuk mengantar istri saya pulang ya Bu, kasihan dia tadi sendirian kesini" kata Frans. Bu Mega hanya mengangguk, dan yaaa...semua orang di lobby ini melihat kami keluar bersama.
"Kamu gak kenapa-napa kan?" tanya Frans saat kami makan malam di rumah.
"Gak papa mas, kerjaan kamu gimana?" tanyaku balik
"Seperti biasa, mengurus projek, ada kabar bagus, tadi pas rapat, Pak Direktur mempromosikan aku jadi Supervisor, jadi ke depannya waktu aku mungkin lebih banyak di luar kota" jelas Frans.
"Lagi corona gini, apa gak bahaya kalo ke luar kota?" tanyaku. Frans melihatku sambil tersenyum. Jika diperhatikan lebih lama Frans memang lebih tampan dari siapapun.
"Aku senang kita bisa mulai ngobrol malam ini" kata Frans. Jujur saja di hari biasanya Frans yang selalu menanyakan kegiatanku, dan aku selalu menjawabnya dengan satu atau dua kata.
"Maaf ya mas kalau tadi kamu gak nyaman di kantor, aku kepikiran aja tadi sama kamu" Â kataku gugup.
Malamnya ketika hendak tidur aku sengaja menghadap ke arah Frans, biasanya kami tidur saling memunggungi. Frans kembali tersenyum. Sejak kami menikah dia tampak lebih ceria dibandingkan dulu. Dia selalu senyum dan sabar menghadapiku.
"Vina aku sayang banget sama kamu, aku senang banget sama kamu hari ini" katanya sambil mengelus wajahku.
Aku memeluknya erat.
"Maaf ya bikin kamu susah selama ini. Teman-teman kamu gimana tadi di kantor pas aku datang?"tanyaku
"Mereka juga senang kamu datang, mereka selama ini meragukan kalo aku menikah. Aku dijodoh-jodohkan sama Bu Mega. Tapi kamu tenang aja, aku nunggu kamu selama 4 tahun dan sekarang ketika kita udah bersama, aku gak bakalan melepas kamu dengan alasan apapun. Bu Mega pernah mengatakan ingin menikah denganku, tapi aku jelasin semua dan dia bisa memahami. Dia gak sejahat kayak FTV kok, hahahaha" aku memukul Frans pelan. Kami saling terbuka tentang perasaan kami selama bekerja atau saat lagi sendiri. Ketika sedang asyik bercanda, tiba-tiba HP ku berdering, ada nomor yang belum ku simpan menelepon, mungkin klien desain pikirku, dengan perasaan ceria aku mengangkat telepon.
"Halo selamat malam, dengan Vina ada yang bisa dibantu?"
"Vin.." aku terdiam. Suara ini...
"Siapa sayang?" bisik Frans.
"Apa kabar Zi, kemana aja lo, masa nikahan gue gak datang, gak ngirim hadiah juga..."
Aku merasakan sesuatu yang sudah lama hilang. Aku kehilangan seluruh rasa yang dulu aku punya kepada Zio, dan sebaliknya, malam ini aku menemukan kembali apa yang selama ini membuatku terkubur dalam diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H