Mohon tunggu...
Gabriel
Gabriel Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar Sekolah

Menulis disini untuk senang-senang!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kedua Sisi Jendela

28 Januari 2024   20:59 Diperbarui: 31 Januari 2024   11:45 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

   Siang itu matahari memancarkan sinarnya, terang memenuhi ruang kelas itu. Telapak tangan remaja itu melengkung seperti membentuk payung di atas dahi, mencoba menutup sinar matahari yang terpacar kearahnya. Kedua matanya menjelajah sekitar sampai akhirnya tertuju pada papan tulis. Ditambah rasa kantuk yang menerpa pikirannya, ia mendengus kesal, kemudian menidurkan kepalanya di atas meja. Di papan tulis, semuanya tertulis dengan jelas mengenai projek kelas yang harus dilakukan. 

   “Hei, bangun dong! Jangan cuma tiduran kayak gitu, ini projek serius!” seru Joel, disusul Ale yang baru saja menidurkan kepalanya di atas meja kemudian mendongak. 

   Ale yang ditegur oleh Joel hanya berdecak kesal dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Joel hanya mengelus dada karena kelakuan teman kelasnya itu, kemudian ia kembali membahas proyek kelas yang sebentar lagi akan dipentaskan oleh kelasnya.

   “Oke, kita lanjut lagi ya. Jadi begini, kita kan ada proyek kelas nih. Waktunya juga mepet, menurut kalian, kapan kita mau latihan lagi?” lanjut Joel berbicara dengan teman sekelasnya.

   “Loh, kita kan sudah dikasih jam untuk latihan di hari-hari biasa oleh sekolah. Masa mau ada tambahan latihan lagi, sih?” sahut Ale yang jelas saja ia sudah dilahap kekesalan.

   “Uhm.. Menurutku gapapa sih, karena kalau semakin banyak latihan kita juga bakal tahu kurangnya latihan kita di mana. Jadi bisa dikoreksi bareng-bareng, dan ketika hari H nya bisa sempurna,” jawab Gina menanggapi Ale yang sudah diambang kesabaran itu.

   “Terserah kalian lah, aku ijin ke toilet dulu,” ucap Ale beranjak pergi menuju ke toilet.

Joel menghela nafas, berusaha untuk menenangkan dirinya. 

   “Nanti kita bakalan latihan sepulang sekolah. Aku liat dulu, apakah latihan sepulang sekolah itu efektif atau nggak,” ujar Joel, kemudian menaruh spidol beserta penghapusnya di atas meja guru dan melangkah pergi menuju bangkunya.

   Sepulang sekolah, laju langkah kaki murid-murid kelas XJ mengarahkan mereka ke aula sekolah. Joel berjalan mendahului mereka, membuka pintu aula dan berjalan masuk. Joel mengangguk, memberikan isyarat bahwa aula sekolah sudah sepi sehingga mereka bisa latihan untuk pementasan. Mereka pun memulai latihan mereka. Dimulai dengan latihan drama kemudian tarian. 

Awalnya, latihan drama tersebut berjalan dengan lancar namun..

   “Kalian bisa gak sih latihan yang bener?? Kalian tu posisinya harus di tengah! Ulang lagi sampai bener!!” ucap Joel tegas bahkan dicampur amarah.

   Semua penampil terdiam mendengar ucapan tegas dari Joel. Pada akhirnya, mereka pun mengulang sampai beberapa kali. Joel memberikan waktu istirahat kepada para penampil. 

   Sembari meneguk es teh 3000-an, ia berkata, “Kita bahkan belum sempat membuat properti untuk pentas kelas kita. Hari sabtu besok, kita bakalan buat properti bareng-bareng. Tolong kontribusinya dari kalian semua terutama tim perkap.”

   Semua anggota kelas mengangguk. Salah satu dari mereka menengok ke arah yang lain. Ia mencondongkan kepala dan berbisik ke teman-temannya, “Kalian bakalan ikut?”

   “Aku agak malas sih, sebenarnya pengen bantu juga. Tapi rumahku juga jauh.. Jadi paket lengkap deh,” lanjutnya

   Salah satu dari teman dekatnya, Yura, kemudian menengadahkan kepalanya seperti sedang berpikir. Ia berpaling lagi ke arah panitia kelasnya dan kembali ke teman yang sebelumnya bertanya, Jocel. 

   “Aku juga belum tau, kayaknya aku emang ga bisa deh,” jawab Yura.

   “Aduh, aku tu sebenarnya emang ga bisa, tapi males jugaaa!” ujar Jocel merebahkan tubuhnya di lantai.

   “Uhmmm, kalau gitu ga usah aja! Lagian aku juga gak ada yang antar ehehe,” bujuk Rayun kepada Jocel dan Yura.

Yura terdiam atas bujukan temannya itu.

   “Loh, gak gitu juga..” ujar Yura.

   “Tapi, aku juga gak ada yang antar, Ra. Mau males atau gak, tapi kalau gak ada yang antar ya sama aja dong?” 

Rayun mengangkat kedua bahunya.

   Yura mengangguk paham. Ia menaruh tangannya di atas bahu Rayun. 

   “Ya udah, kalau begitu gak usah datang. Lagian kalau datang, pergaulan kita gak sama kayak mereka gak sih?” ujar Yura, melihat ke arah kedua temannya.

   Rayun dan Jocel terdiam. Tak menyangka temannya akan berkata seperti itu. Tapi, benar apa yang dikatakan Yura. Memang, pergaulan di kelas mereka itu berbeda-beda. Ada saatnya mereka dapat bergabung, ada saatnya mereka tidak dapat menerima pergaulan satu dengan yang lain. Kalau tidak cocok pasti akan ada cekcok.

   “Oke kalau begitu ga usah!” Rayun menganggukan kepala, mencoba meyakinkan kedua temannya. 

   Langit tak berhenti memercikkan air kepada tanah. Tentu saja, tanah ingin marah, namun amarah si tanah tak sebanding dengan amarah Joel kali ini. Ia benar-benar sudah diujung tanduk. Sudah berhari-hari seharusnya semua teman kelasnya ikut berkontribusi membuat properti bersama. Namun, apa daya? Hasilnya saja nihil. Hari sabtu lalu, bahkan hari rabu kali ini. Toh mau diajak seperti apapun, tak ada yang mau. Yang datang hanyalah tim perkap beserta tim panitia. 

   Tepukkan di pundak membuat Joel tersadarkan dari amarah yang meledak di dalamnya. Itu Gina. Ia tersenyum kecil. 

   “Udah, gapapa,” ujar Gina santai, melanjutkan membawa beberapa properti yang sudah siap bersama tim perkap yang lain.

   Joel berpaling ke arah Gina. Ia membawa properti yang bisa dibilang berat untuk dibawa seorang perempuan. Joel berlari ke arah Gina, dan tersenyum, “Aku aja sini.”

   “Gak usah, aku kuat kok!” kata Gina, mencoba menggendong properti itu walaupun terlihat jelas, ia kesusahan. 

   Joel yang melihat tingkah Gina terkekeh kecil. Kemudian, ia langsung mengambil alih properti itu dan membawanya masuk ke dalam kelas. Ditaruhnya properti besar itu di dalam kelas, sebuah pohon rekayasa. 

   “Aduh, sakit!” pekik Rayun ketika Ale mencubit lengan kirinya. Rayun segera beranjak dan mengejar Ale.

   “ALEEEE!!!!” Rayun berteriak sambil tetap mengejar Ale.

   Langkah Ale terhenti ketika punggung kakinya tersandung. Oh tidak, properti pohon rekayasa.. terjatuh. 

   Seisi kelas tercengang, sehingga menghentikan gerak langkah Ale yang disusul oleh Rayun. Mereka berdua menatap Joel. Wajahnya memerah. Mata yang tajam bagaikan elang hendak menerkam Ale. Joel menarik kerah baju Ale.

   “Maksudmu apa! Mau tanggung jawab!? Koe wes ra mbantu gawe properti ning ngerusak ki pie karepmu hah!??” teriak Joel tepat di depan wajah Ale. Tentu saja, Ale tak terima dengan hal ini. Ia mendorong Joel sekuat tenaga, membuatnya terhuyung ke belakang. Joel tak mau mengalah, ia kemudian memukul pipi kanan Ale. 

   “Koe iku ra sumbut! Ra nde isin. Raono gunane koe dadi perkap! Wes ra gelem nulungi, ngrusak maneh. Gunane koe ning kene opo to!??” 

   Teriakan Joel kepada Ale menggelegar di ruangan kelas mereka. Teman kelasnya terdiam. Rayun mundur ke belakang, menghindari pertikaian kedua temannya itu. Sampai, Gina maju untuk melerai mereka berdua. Gina dan Jefrey memegang Joel, sedangkan Topi dan Raka menarik Ale pergi dari Joel.

   Joel mendorong Gina dan Jefrey pergi. Ia berjalan keluar kelas. Gina berdecak kesal, kemudian ia berlari ke arah Joel. Remaja perempuan itu menarik lengan Joel, membalikkan arahnya kepada Gina.

   “Dengerin ya, kamu boleh marah, aku juga marah gara-gara Ale ngerusak properti pohon rekayasa itu. Tapi, jangan gegabah, El,” ujar Gina lembut, mencoba menenangkan Joel.

   “Tapi, Na, Ale itu udah gila! Walaupun dia ikut dateng ke rumah kamu pas kita buat properti, tapi dia gak ngapa-ngapain, Na. Please, aku jujur lelah, Na.” 

   Joel mendudukkan dirinya di sebuah bangku dekat aula sekolah, memijat pelipisnya. Gina menoleh ke arah Joel, duduk disebelahnya dan ia melihat ke arah langit. 

   “Kita sama-sama capek, El. Bukan cuma kita berdua, sekelas juga. Ale emang gak gampang diatur, tapi aku yakin dia bakalan bertanggung jawab kok.”

   “Yaudah, tenangin dulu dirimu itu. Aku mau bersihin properti yang jatuh tadi sama yang lain. Kalau butuh apa-apa, ngobrol sama aku ya?” Gina menepuk pundak Joel, beranjak pergi. 

   Joel menundukkan kepalanya. Ia sedang sibuk memikirkan apa yang harus ia putuskan. Sekali-kali ia melirik ke arah ruang kelasnya. Melihat Gina sebagai partner koordinator yang sedang sibuk mengurus pasca kerusuhan, ia tak tega. 

  Remaja perempuan itu sibuk mengambil serpihan pohon rekayasa yang terjatuh. Tiba-tiba saja, kedua tangan terulur. Yang satu memberikan serok, dan yang satu lagi menyiapkan kardus. Pelan-pelan bola matanya berputar dan di sanalah Joel dan Ale sama-sama ingin membantunya. Gina tersenyum riang. Dibantu Ale dan Joel untuk memilah mana yang masih bisa dipakai dan mana yang tidak dikarenakan pohon rekayasa yang terjatuh tadi. Tak hanya mereka bertiga, teman kelas mereka yang lain juga turut membantu. Mereka mencoba memperbaiki pohon rekayasa itu lagi.

   Rampung sudah mereka memperbaiki pohon rekayasa yang semula terjatuh. Si ketua koordinator itu terduduk di bangkunya, merasa senang karena kerjasama teman sekelasnya. Dari sudut matanya, ia dapat melihat Ale, duduk di bangku sebelahnya, menatap Joel tajam. 

   “Maaf, El.”

   Ale menundukkan kepala. Ia mengulurkan tangan kanannya, berharap Joel akan memaafkannya. Joel membuang nafas panjang dan menyalami Ale.

   “Yo, tak maafke. Lain kali liat-liat. Jangan asal peplayon kayak gitu. Gak lucu, Le,” kata Joel yang kemudian beranjak pergi. 

   Pandangan Ale mengikuti arah Joel pergi. Cepat-cepat ia berlari ke arah Rayun. 

   “Wleee, aku udah dimaafin si Joel. Kamu belum wakakaka mampusss!” ejek Ale.  

Sebelum Rayun menggertak dirinya, cepat-cepat ia berlari menghindari Rayun.

   Tak terasa, kali ini sudah minggu ketiga di bulan Januari di mana hari pementasan tiba. Para penampil masing-masing berdiri di samping panggung. Ketika waktu tampil tiba mereka sudah tahu di mana tempat mereka harus berdiri bahkan bagaimana mereka berucap. Dari awal progress mereka, memang banyak sekali kekurangan. Terutama beberapa masalah yang menghantam mereka. Namun, hasilnya tak sia-sia. Nyatanya, para penonton dibuat takjub oleh aksi mereka.

Selesai pementasan, Joel menghampiri Ale dan kemudian memukul lengannya. 

   “Keren, ngono lho, sumbut,” ucap Joel diikuti tawa teman sekelasnya termasuk Ale. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun