Petisi Para Nabi adalah Adaptasi Modern Cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin (1968, Majalah Sastra)
***
Surga, yang biasanya tenang, kini dipenuhi oleh kegelisahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Di ruang yang dilapisi permaidani sutra, dengan dinding yang terbuat dari kristal-kristal langit, para nabi dan pemimpin spiritual yang telah lama meninggalkan dunia kini merasakan kerinduan yang tak tertahankan untuk kembali ke bumi. Mereka adalah sosok yang telah melalui segala penderitaan dan pengorbanan, namun kini kebahagiaan yang melimpah terasa hampa, seolah hanya sebuah ilusi yang menipu jiwa.
Mereka telah menghabiskan berabad-abad dalam keabadian, namun hati mereka, seperti pohon yang lama tak diberi air, mulai layu. Tidak ada lagi perjuangan yang mengisi hari-hari mereka; tidak ada lagi umat yang membutuhkan petunjuk mereka. Petisi pun disusun dalam sekejap, bukan dengan tuntutan, tetapi dengan permohonan lembut yang menandakan keputusasaan yang tersembunyi.
"Ke bumi, kami mohon! Cuti dari segala kebahagiaan ini," tulis mereka. "Kami ingin merasakan kembali kegelisahan yang memicu pencarian kebenaran. Kami ingin melihat dunia yang penuh dengan kebingungannya sendiri, dunia yang terperangkap dalam teknologi, yang semakin cepat maju namun semakin kehilangan arah."
Petisi itu, dengan segera, tiba di hadapan Tuhan, yang saat itu sedang duduk di takhta yang memancarkan cahaya. Wajah-Nya yang biasanya penuh kasih kini dihiasi senyum penuh kebijaksanaan, namun ada rona kesedihan yang menyelimuti. "Apa yang kurang di Surga ini?" Tuhan bertanya. "Semua sudah ada, dari sungai madu hingga pohon buah emas. Kenapa kau merasa kurang?"
Namun, meskipun segala kemewahan yang tak terhingga itu ada di sekeliling mereka, para nabi merasa hampa. "Kami tidak meminta lebih dari ini, Tuhan," kata mereka, "hanya kesempatan untuk merasakan kembali kerumitan dunia yang penuh dengan pencarian dan pertanyaan yang tak terjawab. Kami ingin pergi ke tempat yang penuh dengan kebingungan dan pertentangan ideologi. Kami ingin melihat dengan mata kepala sendiri dunia yang dikuasai oleh teknologi dan perpecahan."
Setelah mendengar permohonan itu, Tuhan hanya mengangguk pelan. "Pergilah, maka kalian akan melihat dunia yang telah berubah. Tetapi berhati-hatilah. Di sana, umatmu tidak lagi seperti dulu. Mereka terperangkap dalam dunia yang menganggap dirinya bebas, padahal mereka terbelenggu oleh teknologi dan ideologi yang kosong."
Dengan perasaan campur aduk, salah satu pemimpin spiritual yang paling dihormati, yang dikenal dengan nama Zarathustra, mengucapkan kata-kata terakhir. "Saudaraku, perjalanan ini adalah titik balik. Semoga apa yang kita lihat di dunia yang terperangkap ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Mungkin, jika kita tidak bisa menyelamatkan mereka, setidaknya kita bisa memberi mereka secercah cahaya."
Bersama dengan para sesepuh lainnya yang lebih dahulu mencapai kedamaian, sang pemimpin menaiki Gryphor, makhluk mitologi yang kini dilengkapi dengan teknologi teleportasi. Ia terbang, bukan dengan sayap biasa, tetapi dengan kecepatan yang menembus ruang dan waktu. Kecepatan yang jauh melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh umat manusia.
Di bawah mereka, sebuah benda asing melintas di langit. "Apa itu?" tanya sang pemimpin, matanya mengerut. "Di dunia bawah, mereka menyebutnya satelit. Sebuah pesawat luar angkasa yang diluncurkan oleh mereka yang merasa diri sebagai pemenang, namun sesungguhnya mereka terjebak dalam kehampaan ideologi mereka sendiri."
Sang pemimpin melihat dengan penuh rasa kasihan. "Mereka mengirimkan teknologi untuk menjemputku, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka menuju kehancuran." Dengan gerakan lembut, ia memerintahkan Gryphor untuk mendekat.
"Ahura, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mereka terjebak dalam dunia yang diciptakan oleh tangan mereka sendiri."
Ahura, malaikat penjaga yang setia, mengangguk. "Mereka terperangkap dalam kebingungan antara kebebasan yang mereka kira mereka miliki dan perbudakan oleh teknologi yang mereka ciptakan."
Saat satelit itu melaju semakin cepat, Ahura dengan pedangnya yang terbuat dari api surgawi berusaha menghentikan laju benda itu. Namun, dalam sekejap, tabrakan pun terjadi, dan satelit itu hancur berkeping-keping. Di bumi, laporan dari saluran berita mengabarkan kebingungan besar. "Proyek luar angkasa Rusia baru saja mengalami kecelakaan tak terduga," terdengar suara operator yang cemas, "Pesawat hilang kontak, dan sinyalnya tidak bisa ditemukan."
Sang pemimpin dan Ahura terlempar ke bawah, namun beruntung mereka terjatuh di awan lembut, seolah dibaringkan di atas tempat tidur kapas. Sambil mengamati dunia yang semakin kacau, sang pemimpin bertanya dengan suara penuh rasa ngeri, "Ahura, apakah itu yang terlihat di bawah sana? Apakah itu Neraka?"
Ahura menjawab dengan suara serak, "Bukan, paduka. Itu adalah Jakarta, ibu kota sebuah negara yang bangga dengan kemajuan teknologinya, namun sebenarnya terperangkap dalam kebodohan yang luar biasa. Mereka mengklaim diri bebas, tetapi sejatinya mereka terperangkap dalam kecanggihan yang hanya membuat mereka lebih jauh dari kebenaran."
"Jakarta?" sang pemimpin bertanya, kebingungannya semakin dalam. "Bagaimana bisa kota yang begitu maju menjadi begitu gelap?"
Ahura menggelengkan kepala. "Mereka menganggap teknologi adalah kebebasan, tetapi mereka hanya semakin terperangkap dalam kebohongan yang mereka ciptakan. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk bertengkar, mencari identitas dalam ideologi kosong, dan menghancurkan satu sama lain. Mereka terjebak dalam ketidakpastian."
Sang pemimpin, yang telah lama mengenal kegelapan dan terang, mendengar dengan penuh penyesalan. "Mereka tidak mengerti. Mereka telah kehilangan jalan."
Ahura menatap dengan tajam. "Namun, apakah kita tidak memiliki tanggung jawab untuk memberi petunjuk? Untuk membawa mereka kembali ke jalan yang benar?"
Dengan suara penuh keyakinan, sang pemimpin mengangkat wajahnya dan berkata, "Aku tidak akan terjebak lebih lama di sini. Dunia ini terlalu jauh dari jalan yang benar. Aku harus kembali ke Dunia Tengah. Di sana, masih ada jiwa-jiwa yang mencari kebenaran."
Suara lembut Iblis terdengar dari kejauhan, penuh sindiran. "Tidakkah paduka khawatir? Umatmu terperangkap dalam teknologi yang salah. Mereka semakin jauh dari cahaya."
Sang pemimpin menatap langit, matanya bersinar penuh kuasa. "Sabda Kebenaran tak akan pernah kalah. Dunia bisa berubah, tetapi kebenaran akan tetap ada. Kebenaran akan selalu menang, bahkan jika dunia ini runtuh."
Gema kata-kata sang pemimpin menggema di seluruh jagat raya, menyentuh langit dan menembus ruang Surga. Para penghuni surga mengucapkan dengan keyakinan penuh, "Amin."
Sementara itu, di bumi, Iblis-iblis menutup telinga mereka, ketakutan oleh kekuatan yang baru saja dilepaskan. Dan perjalanan sang pemimpin berlanjut, meskipun dunia di bawahnya penuh dengan ketidakpastian dan kegelapan teknologi yang tak terarah.
***
Ini adalah bagian pertamanya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H