"Menulislah dan biarkan saja tulisanmu mengalir mengikuti nasibnya"
Seperti kata-kata keramat, ujaran Hamka selalu terbukti dengan aliran waktu. Beberapa kali saya membuktikan aliran nasib tulisan saya yang tak seberapa bagus dibanding teman-teman Kompasianer lainnya. Saya mesti belajar stamina dan kedalaman tulisan pada Kang Gapey Sandi. Saya juga mesti belajar konsistensi dari Pak Tjiptadinata yang tulisannya mengalir tapi menghanyutkan. Saya mesti belajar dari Kang Topik yang tak pernah putus asa… Dari Kompasianer yang tak disebutknan satu per satu, saya mesti mengambil pelajaran.
Kembali pada nasib tulisan, dari sekian Kompasiana Bandung yang super keren-keren, ada beberapa artikel yang akan diangkat ke layar kaca. Akan difilmkan? Bukan. Tulisan kompasianer akan divisualkan dan dijadikan referensi tayangan Kompas TV bertajuk Cerita Indonesia.
Dari Kompasiana Bandung ada beberapa juga yang tulisannya diangkat ke layar kaca. Bunda Maria yang menulis tentang Dewi Tapa (Desa Wisata Tahan Pangan) Cireundeu, Kang Bheni tentang biogas di Cimahi, Teh Anilawati tentang lebaran hijau dan tulisan saya tentang Desa Wisata Ciburial.
Sejak senin yang lalu (15-06-15), Yessi sudah menghubungi saya dan mengabarkan bahwa tulisan-tulisan saya di Kompasiana akan divisualkan. Tahu ndak senangnnya sampai mana? Senangnya sampai lauhil mahfudz (jangan pakai MD). Memang saya tahu bahwa ada tulisan Kompasiana yang akan divisualkan, seperti tulisan Kang Benny, namun saya tak menyangka kalau tulisan saya juga ikut divisualkan.
Akhirnya pada malam Jum’at (18-06-15) kami bertemu di café dekat didekat rumah. Dari Kompas TV datang Yessi, Ridwan dan Anjas. Sejam lebih lamanya kami membicarakan spot-spot yang ada dalam tulisan saya dan juga kemungkinan waktunya. Sebelumnya Yessi meminta tulisan saya di Blog dipindahkan ke Kompasiana untuk melengkapi tulisan yang sudah ada sebelumnya.
Yang jelas, proses memvisualkan tulisan, membuat kita seperti kembali meniti waktu dan seperti menyusun kembali puzel memori saat awal menuliskannya. Maka bertemulah saya dengan tempat, tokoh dan kejadian dalam tulisan saya.
Liputan pertama, tentang Kampung Madu Pesantren Babussalam Bandung yang dipimpin oleh Aepudin. Aep adalah generasi ketiga yang membudi dayakan madu di Desa Ciburial dia adalah cucu dari H. Embing yang merupakan generasi pertama. Saat mendatangi rumah H. Embing saya teringat masa kecil dulu. Rumah H. Embing merupakan rumah tempat saya bermain apalagi kalau sedang musim jambu dan madu.
Dari Kampung Madu Pesantren Babussalam, kami bergeser ke Komunitas Hong. Setelah shalat Jum’at, saya baru mendapat konfirmasi kalau Komunitas Hong belum bisa diliput karena kegiatan sedang terpusat di luar. Akhirnya saya mengajak ke Tahura Ir. H. Djuanda padahal saya sendiri belum mengontak pihak Tahura tentang shooting ini. Berbekal tawakal sama Gusti Allah, saya mengajak kru menemui Kang Ganjar. Beruntung dia ada di dekat kantor Hutan Raya.
Beruntung -yang kesekian-Â Kang Ganjar juga mau melayani kami yang datang tak diundang ini. Setelah Jumatan itu, kami menyusuri keunikan berbagai macam pohonan yang dijelaskan Kang Ganjar. Maka tahulah kami keunikan rainbow tree. Selain rainbow tree, kami diajak melihat Ki Putri, Ki Menyan, Ki Sereh, dan lainnya. Rasanya waktu tiga jam tak akan cukup mendengar perjelasannya.
Dari pengenalan pohon, kami bergeser ke Gua Jepang dan Belanda. Dua gua ini menjadi saksi bisu penjajahan yang tersembunyi di kerimbunan hutan. Dua gua ini memang menjadi tempat jalinan komunikasi rahasia pergerakan penjajah di wilayah asia pasifik. Saat ini gua ini menjadi tujuan wisata andalan Tahura.
Satu tempat yang tak bisa dikejar adalah lava batik atau pahoehoe. Selain cukup jauh dan waktu saat itu sudah jam 5 sore, kata Kang Ganjar, lava pahoehoe tertutupi longsoran dari atas dan sangat sulit untuk bisa melihatnya tanpa ada proses penggalian dan pembersihan. Sayang banget padahal Yessi sangat ingin melihat penampakan lava cantik itu.
Sabtu, (20-6-15) saya diminta datang ke Eco Camp. Seperti di Tahura, saya diseting mewawancarai Ibu Sherly, ketua Yayasan Sahabat Lingkungan. Kembali saya teringatkan awal pertemuan dengan ibu sederharna ini beberapa tahun lalu. Saat saya menanam anggrek di Tahura, saya sempat bertemu dengannya dan programnya untuk membuat tempat pendidikan untuk kembali mengingatkan manusia agar mencintai lingkungannya. Setelah itu saya tak pernah bertemu lagi hingga hari sabtu itu.
Shoting diselesaikan dengan narasi saya tentang tulisan yang diunggah di Kompasiana dan ditutup dengan pengambilan gambar saya sedang nulis di Kompasiana. Wajah lusuh itu disorot oleh kamera dan dilihat oleh puluhan pasang mata. Grogi, salah tingkah dan mungkin over acting tak bisa saya sembunyikan dengan baik. Jadi mohon dimaafkan saja ya. siapa tahu nanti pas saat penayangan yang 3 bulan lagi, wajah lusuh berubah menjadi tambah ganteng dan sangat ceria...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H