Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Guru - Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kompasiana, Dari Tulisan ke Layar Kaca

21 Juni 2015   07:40 Diperbarui: 13 Juli 2015   05:31 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menulislah dan biarkan saja tulisanmu mengalir mengikuti nasibnya"

Seperti kata-kata keramat, ujaran Hamka selalu terbukti dengan aliran waktu. Beberapa kali saya membuktikan aliran nasib tulisan saya yang tak seberapa bagus dibanding teman-teman Kompasianer lainnya. Saya mesti belajar stamina dan kedalaman tulisan pada Kang Gapey Sandi. Saya juga mesti belajar konsistensi dari Pak Tjiptadinata yang tulisannya mengalir tapi menghanyutkan. Saya mesti belajar dari Kang Topik yang tak pernah putus asa… Dari Kompasianer yang tak disebutknan satu per satu, saya mesti mengambil pelajaran.

Kembali pada nasib tulisan, dari sekian Kompasiana Bandung yang super keren-keren, ada beberapa artikel yang akan diangkat ke layar kaca. Akan difilmkan? Bukan. Tulisan kompasianer akan divisualkan dan dijadikan referensi tayangan Kompas TV bertajuk Cerita Indonesia.

Dari Kompasiana Bandung ada beberapa juga yang tulisannya diangkat ke layar kaca. Bunda Maria yang menulis tentang Dewi Tapa (Desa Wisata Tahan Pangan) Cireundeu, Kang Bheni tentang biogas di Cimahi, Teh Anilawati tentang lebaran hijau dan tulisan saya tentang Desa Wisata Ciburial.

Menurut Yessi dari Kompas TV yang menghubungi saya, benang merah dari pemilihan artikel ini adalah yang kaitannya dengan lingkungan hidup. Jadi berbagai macam tulisan Kompasianer lainnya tinggal menunggu nasibnya saja untuk dilayarkacakan.

Sejak senin yang lalu (15-06-15), Yessi sudah menghubungi saya dan mengabarkan bahwa tulisan-tulisan saya di Kompasiana akan divisualkan. Tahu ndak senangnnya sampai mana? Senangnya sampai lauhil mahfudz (jangan pakai MD). Memang saya tahu bahwa ada tulisan Kompasiana yang akan divisualkan, seperti tulisan Kang Benny, namun saya tak menyangka kalau tulisan saya juga ikut divisualkan.

Akhirnya pada malam Jum’at (18-06-15) kami bertemu di café dekat didekat rumah. Dari Kompas TV datang Yessi, Ridwan dan Anjas. Sejam lebih lamanya kami membicarakan spot-spot yang ada dalam tulisan saya dan juga kemungkinan waktunya. Sebelumnya Yessi meminta tulisan saya di Blog dipindahkan ke Kompasiana untuk melengkapi tulisan yang sudah ada sebelumnya.

Dari pembicaraan itu, dipilih tiga spot liputan, Pesantren Babussalam dengan Kampung Madunya, Komunitas Hong, Eco Camp dan Taman Hutan Raya Djuanda. eh, itu mah empat ya bukan tiga. Beberapa spot lainnya belum akan diliput mengingat waktu yang sangat terbatas.

Yang jelas, proses memvisualkan tulisan, membuat kita seperti kembali meniti waktu dan seperti menyusun kembali puzel memori saat awal menuliskannya. Maka bertemulah saya dengan tempat, tokoh dan kejadian dalam tulisan saya.

Liputan pertama, tentang Kampung Madu Pesantren Babussalam Bandung yang dipimpin oleh Aepudin. Aep adalah generasi ketiga yang membudi dayakan madu di Desa Ciburial dia adalah cucu dari H. Embing yang merupakan generasi pertama. Saat mendatangi rumah H. Embing saya teringat masa kecil dulu. Rumah H. Embing merupakan rumah tempat saya bermain apalagi kalau sedang musim jambu dan madu.

Sayangnya, proses peliputan ini dilakukan saat bulan Ramadhan ketika semua sedang puasa jadi para kru tidak bisa mecicipi manisnya madu dari Kampung Madu ini. Beruntung Aep membekali kami dengan madu sarang yang tadi dijadikan sarana demo.

Dari Kampung Madu Pesantren Babussalam, kami bergeser ke Komunitas Hong. Setelah shalat Jum’at, saya baru mendapat konfirmasi kalau Komunitas Hong belum bisa diliput karena kegiatan sedang terpusat di luar. Akhirnya saya mengajak ke Tahura Ir. H. Djuanda padahal saya sendiri belum mengontak pihak Tahura tentang shooting ini. Berbekal tawakal sama Gusti Allah, saya mengajak kru menemui Kang Ganjar. Beruntung dia ada di dekat kantor Hutan Raya.

Kang Ganjar adalah penanggung jawab pintu-pintu masuk Tahura yang jumlahnya 5 pintu. Dia mengenal betul seluk beluk hutan raya dengan berbagai macam keunikan pohon dan namanya. Dari dia lah saya mengenal pohon pelangi yang jadi bahan tulisan saya.

Beruntung -yang kesekian-  Kang Ganjar juga mau melayani kami yang datang tak diundang ini. Setelah Jumatan itu, kami menyusuri keunikan berbagai macam pohonan yang dijelaskan Kang Ganjar. Maka tahulah kami keunikan rainbow tree. Selain rainbow tree, kami diajak melihat Ki Putri, Ki Menyan, Ki Sereh, dan lainnya. Rasanya waktu tiga jam tak akan cukup mendengar perjelasannya.

Rasa letih mendera kami. Popo, Ridwan dan Anjas bergantian memanggul tripod kamera yang lumayan berat. Raut lelah dan letih terlihat di wajah kami. Siang hari yang terpayungi dedaunan pohon tak bisa menutupinya. Ingat kan hari itu mereka semua pada puasa.

Dari pengenalan pohon, kami bergeser ke Gua Jepang dan Belanda. Dua gua ini menjadi saksi bisu penjajahan yang tersembunyi di kerimbunan hutan. Dua gua ini memang menjadi tempat jalinan komunikasi rahasia pergerakan penjajah di wilayah asia pasifik. Saat ini gua ini menjadi tujuan wisata andalan Tahura.

Satu tempat yang tak bisa dikejar adalah lava batik atau pahoehoe. Selain cukup jauh dan waktu saat itu sudah jam 5 sore, kata Kang Ganjar, lava pahoehoe tertutupi longsoran dari atas dan sangat sulit untuk bisa melihatnya tanpa ada proses penggalian dan pembersihan. Sayang banget padahal Yessi sangat ingin melihat penampakan lava cantik itu.

Hari Jumat itu, kami semua menyelesaikan pengambilan gambar di depan Gua Belanda. Matahari sudah terjerat di balik rerimbunan pohon. Suara tongeret mengema di seantero hutan raya. Serombongan monyet ekor panjang menaiki ranting yang menjuntai di atas gua. Kami pulang dengan keletihan dan lapar yang luar biasa menanti azan magrib mengizinkan kami untuk menyegarkan diri dengan sajian berbuka puasa.

Sabtu, (20-6-15) saya diminta datang ke Eco Camp. Seperti di Tahura, saya diseting mewawancarai Ibu Sherly, ketua Yayasan Sahabat Lingkungan. Kembali saya teringatkan awal pertemuan dengan ibu sederharna ini beberapa tahun lalu. Saat saya menanam anggrek di Tahura, saya sempat bertemu dengannya dan programnya untuk membuat tempat pendidikan untuk kembali mengingatkan manusia agar mencintai lingkungannya. Setelah itu saya tak pernah bertemu lagi hingga hari sabtu itu.

Jadi ketika bertemu kami sudah cukup akrab dan ngobrol dengan lepas. Apalagi Ibu Sherli betul-betul terbuka dan menjelaskan konsep Eco Camp dengan lancar dan hangat. Saat Ibu Sherli menyebut kedatangan kami seperti sebuah jawaban kecintaan yang tak diduga-duga, kembali saya tersanjung dan bahagia karena bisa menjadi fungsi yang menyambungkan, persis jargon Kompasiana. Sharing and Connecting.

Shoting diselesaikan dengan narasi saya tentang tulisan yang diunggah di Kompasiana dan ditutup dengan pengambilan gambar saya sedang nulis di Kompasiana. Wajah lusuh itu disorot oleh kamera dan dilihat oleh puluhan pasang mata. Grogi, salah tingkah dan mungkin over acting tak bisa saya sembunyikan dengan baik. Jadi mohon dimaafkan saja ya. siapa tahu nanti pas saat penayangan yang 3 bulan lagi, wajah lusuh berubah menjadi tambah ganteng dan sangat ceria...

Bagi saya, ini adalah pengalaman yang sangat menarik selain saya kembali mengingat dan menapaktilasi kejadian lama, pola ini memperkaya saya berbagai sudut pandang baru yang tak ternilai harganya. Ternyata di sekeliling kita banyak kejadian menarik, tempat menarik dan juga orang yang menarik yang bisa dituangkan dalam tulisan kita sehingga merangkai Cerita Indonesia. Jadi tuliskan saja cerita Indonesiamu, siapa tahu nanti nasib baik akan menghampiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun