Mohon tunggu...
Febri Wicaksono
Febri Wicaksono Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Masalah Sosial Kependudukan

Dosen Politeknik Statistika STIS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disabilitas, Internet, dan Gig Economy

1 Juni 2024   13:12 Diperbarui: 1 Juni 2024   19:19 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disabilitas dan Pasar Kerja

Populasi penyandang disabilitas - mereka yang mengalami gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi pada seseorang dalam lingkungannya [1] - terus bertambah dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan WHO tahun 2023, diperkirakan sekitar 1,3 miliar orang atau sekitar 16 persen orang di dunia menyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas saat ini telah menjadi perhatian untuk diikutsertakan sebagai subjek dan objek dari pembangunan secara global. Hal ini tertuang dalam salah satu poin yang terdapat dalam target yang ingin dicapai dari tujuan kedelapan SDGs (Sustainable Development Goals). Target tersebut adalah ingin mewujudkan tenaga kerja secara penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak bagi semua laki-laki dan perempuan, termasuk untuk kaum muda dan penyandang disabilitas, dan juga kesetaraan upah bagi pekerjaan yang memiliki nilai sama.

Akan tetapi, partisipasi kerja penyandang disabilitas di Indonesia masih rendah.

Badan Pusat Statistik (BPS) [2] mencatat bahwa sekitar 22% penduduk Indonesia usia 18 – 59 tahun mengalami disabilitas. BPS mencatat hanya sekitar 44% dari total penyandang disabilitas yang bekerja dari seluruh penyandang disabilitas yang berada pada usia kerja pada periode Agustus 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak menyandang disabilitas, yaitu sekitar 66% pada periode yang sama. Padahal menurut WHO, partisipasi penyandang disabilitas dalam angkatan kerja penting untuk memaksimalkan sumber daya manusia, mengangkat martabat manusia, dan memperkuat keterikatan antaranggota dalam suatu kelompok sosial.

Rendahnya partisipasi penyandang disabilitas dalam angkatan kerja dapat disebabkan karena kurang tersedianya infrastruktur untuk menunjang para penyandang disabilitas, seperti akses publik ke tempat kerja yang tidak ramah pada penyandang disabilitas [2]. Selain itu, rendahnya partisipasi ini juga dapat disebabkan karena adanya pandangan buruk atau persepsi negatif terhadap mereka yang kemudian dapat menimbulkan diskriminasi yang menyulitkan mereka untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja [3]. Rendahnya partisipasi kerja penyandang disabilitas dapat berdampak pada kesejahteraan mereka. Semakin menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dapat meningkatkan peluang mereka untuk terjebak dalam kemiskinan [4].

Penelitian yang dilakukan oleh Fani Fajriani dan Febri Wicaksono [5] menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyandang disabilitas memiliki hubungan negatif dengan peluang mereka untuk bekerja. Dengan menggunakan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2020, mereka mendapatkan bahwa penyandang disabilitas yang memiliki tingkat keparahan berat memiliki kecenderungan lebih kecil untuk bekerja dibandingkan dengan penyandang disabilitas yang memiliki tingkat keparahan ringan.

Rendahnya peluang bekerja dari penyandang disabilitas dengan tingkat keparahan berat dapat ditimbulkan karena ada kemungkinan bahwa penyandang disabilitas dengan tingkat keparahan berat menghadapi kerugian yang ditimbulkan akibat adanya asumsi bahwa mereka tidak mampu memenuhi tuntutan disiplin kerja di pasar tenaga kerja [6]. Selain itu, ketidakmampuan mereka untuk melakukan beberapa fungsi sosial, biasanya dikaitkan dengan kondisi fisik mereka sendiri, juga dapat menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas tersebut untuk bekerja [6].

Kondisi ini tentunya tidak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak bulan Desember 2006. Konvensi tersebut menetapkan dalam Pasal 27 (tentang pekerjaan dan ketenagakerjaan) bahwa “hak penyandang disabilitas untuk bekerja, atas dasar kesetaraan dengan orang lain”.

Sementara di Indonesia, pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas terkait jaminan akses pekerjaan telah dijelaskan dalam Pasal 53 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Penerapan dari pasal tersebut dilakukan dengan mewajibkan setiap perusahaan baik pada sektor publik maupun swasta untuk mempekerjakan penyandang disabilitas minimal dua persen dari total tenaga kerja di sektor publik dan minimal satu persen pada sektor swasta.

Namun, melihat dari hasil penelitian yang ada, aturan tersebut belum sepenuhnya dapat terealisasikan secara merata pada perusahan di sektor publik maupun swasta. Masih terdapat perusahaan yang belum merekrut penyandang disabilitas sebagai pegawainya.  Atau, jika pun perusahaan merekrut penyandang disabilitas, mereka lebih memilih untuk merekrut penyandang disabilitas dengan tingkat keparahan yang ringan. Hal ini mungkin dikarenakan adanya kekhawatiran perusahaan terhadap biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menunjang keperluan penyandang disabilitas dalam melakukan pekerjaannya [7], terlebih untuk mereka dengan tingkat keparahan yang berat.

Internet dan Pasar Kerja (Baru)

Perkembangan teknologi pada era digital saat ini dapat mempermudah masyarakat dalam mengakses berbagai aspek kehidupan. Era digital ini ditandai dengan bergeraknya sektor kehidupan ke arah serba otomatis yang dapat membantu kegiatan menjadi lebih mudah dan efisien.

Teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu perangkat dengan sumber daya yang beragam memiliki peranan penting dalam menunjang berkembangnya era digital. Penggunaannya dimanfaatkan oleh berbagai negara di dunia untuk mempermudah komunikasi serta memperoleh dan bertukar informasi. Adanya perkembangan teknologi ini juga dapat memberikan peluang yang lebih besar untuk menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan produktivitas, serta dapat meningkatkan pemberian layanan publik yang efektif [8].

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini penetrasi pengguna internet terus meningkat seiring dengan pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi. Di Indonesia, pada saat ini, internet telah memainkan peran dominan sebagai sumber informasi dan saluran komunikasi utama dalam masyarakat. Data yang dikeluarkan oleh Statista menunjukkan bahwa, di Indonesia, pada awal tahun 2022, sebesar 73,7% penduduk telah terkoneksi dengan internet dan 68,9% penduduk secara aktif menggunakan media sosial [9].

Manuel Castells – dalam bukunya yang berjudul The Rise of the Network Society – menyebutkan bahwa internet dapat menjadi infrastruktur dan perangkat utama yang bekerja dan berkontribusi pada transformasi kehidupan masyarakat. Di pasar tenaga kerja, internet telah mengubah cara pencari kerja dalam mencari pekerjaan dan cara mereka menghubungi calon pemberi kerja [10]. Selain itu, internet juga telah mengubah cara pemberi kerja mengiklankan posisi, mencari, dan menyaring pelamar yang sesuai dengan kebutuhan mereka [10].

Perkembangan internet yang telah terjadi saat ini telah mentransformasi pasar tenaga kerja. Internet telah menciptakan suatu pasar tenaga kerja yang dicirikan oleh kontrak independen yang terjadi melalui dan pada platform digital. Internet juga dapat mengubah cara orang bekerja dan juga memfasilitasi penciptaan lapangan kerja baru. Lingkungan kerja yang diciptakan dinilai lebih fleksibel dan berpotensi untuk meningkatkan produktivitas kerja. Sederet pekerjaan yang muncul dapat diselesaikan hanya dari rumah dan tetap memberikan penghasilan bagi pekerjanya. Pasar tenaga kerja ini biasa dikenal dengan istilah gig economy [11].

Gig economy lebih mengacu kepada pekerjaan dengan kontrak jangka pendek daripada pekerjaan permanen atau stabil [11]. Hal ini mencakup spektrum, dari tugas skala besar atau crowdsourcing, yaitu beberapa kontraktor independen bekerja bersama dalam tugas berbayar, hingga aktivitas kerja on-demand yang lebih mikro, berbasis individu, yang melibatkan layanan transportasi dan pengiriman [12].

Pasar tenaga kerja ini menawarkan fleksibilitas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kontrak kerja tradisional bagi pekerja, pengusaha, dan pelanggan [11]. Ini dapat membuat pengusaha memilih kapan dan bagaimana mereka ingin mempekerjakan pekerja. Ini juga dapat membuat klien serta pelanggan memetik manfaat dari fleksibilitas tersebut, sebagai contoh mengantarkan makanan dengan cepat, menyewa pengembang web, dan memesan taksi sesuai permintaan dengan mudah. Serta, ini juga dapat membuat pekerja memilih apa yang harus dilakukan, bagaimana, kapan, di mana dan untuk siapa dia bekerja.

Disabilitas dan Pasar Kerja Gig

Penelitian yang dilakukan oleh Fani Fajriani dan Febri Wicaksono [5] menunjukkan bahwa penyandang disabilitas yang menggunakan internet mempunyai kecenderungan lebih besar untuk bekerja dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan internet. Lebih lanjut, penelitian mereka juga menunjukkan bahwa penggunaan internet juga dapat mengurangi kesenjangan perbedaan peluang untuk bekerja antara penyandang disabilitas dengan tingkat keparahan berat dan ringan.

Bagi penyandang disabilitas, penggunaan internet dapat membuat mereka masuk ke dalam ekosistem gig economy. Gig economy dapat menciptakan prospek bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi lebih luas dalam ekonomi arus utama [13]. Sebagai contoh, pekerjaan-pekerjaan dalam gig economy memungkinkan kontrol yang lebih besar terhadap kapan dan bagaimana tugas dilakukan dibandingkan dengan pekerjaan tradisional. Ini dapat menguntungkan penyandang disabilitas karena mereka dimungkinkan untuk memiliki kemampuan untuk mengontrol jadwal kerja mereka secara mandiri dan menciptakan sistem kerja yang dapat diakses oleh mereka secara individual [14]. Hal ini tentu dapat meningkatkan peluang bekerja dari para penyandang disabilitas.

Kemudian, para pekerja dalam gig economy juga dimungkinkan untuk mendistribusikan pekerjaan ke dalam tugas-tugas mikro atau terfokus yang memungkinkan istirahat teratur sesuai kebutuhan [15]. Kontrol atas pelaksanaan tugas ini dapat menguntungkan pekerja penyandang disabilitas yang menginginkan fleksibilitas mengenai jenis dan jumlah tugas yang mereka lakukan karena keterbatasan yang mereka miliki.

Selain itu, gig economy juga menawarkan pekerjaan yang bentuk dan jadwal kerjanya dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu, tanpa perlu mengungkapkan kondisi disabilitas mereka [13]. Jam kerja yang fleksibel dapat mengurangi atau menghindari kebutuhan pekerja untuk mengungkapkan kondisi fisik pekerja kepada pemberi kerja. Hal ini dapat mengurangi potensi stigma dan bias di tempat kerja yang menguntungkan penyandang disabilitas.

Lebih lanjut, pekerjaan mandiri yang ditawarkan oleh gig economy juga dapat mengurangi kebutuhan untuk mencari akomodasi formal, seperti waktu yang fleksibel atau periode istirahat yang diizinkan ketika seseorang tidak dapat bekerja, sehingga dapat menghindari stigma atau bahkan kebencian dari rekan kerja [16]. Hal-hal ini sangat menguntungkan bagi penyandang disabilitas yang rentan terhadap stigma negatif dalam pasar tenaga kerja.

Jika dikelola dengan baik, pekerjaan di gig economy, memungkinkan penyandang disabilitas mendapatkan pengalaman, pelatihan, dan kemandirian ekonomi [13]. Opsi ini dapat memainkan peran penting ketika penyandang disabilitas bertransisi dari tingkat pengangguran yang tinggi ke tingkat penerimaan pekerjaan yang kompetitif yang tinggi [13].

Namun, perlu dicatat bahwa meskipun jenis dan waktu pekerjaan dalam gig economy lebih fleksibel, kegiatan administrasi dan pencatatan lainnya masih diperlukan untuk menjaga agar bisnis tetap mematuhi persyaratan hukum dan dapat beroperasi dengan baik. Kemudian, layanan transportasi dan pengiriman on-demand dalam gig economy juga membutuhkan kendaraan transportasi dalam kondisi kerja yang baik dan pembayaran biaya pemeliharaan untuk kendaraan terkait. Sehingga, memasuki dunia gig economy seringkali membutuhkan investasi keuangan atau dukungan pelatihan teknis yang baik. Untuk itu, diperlukan juga dukungan dari pemerintah terhadap hal-hal teknis seperti ini agar penyandang disabilitas dapat bekerja secara layak dan berkelanjutan.

Daftar Bacaan:

[1] World Health Organization. (2007). International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) [Organisasi]. World Health Organization.

[2] Badan Pusat Statistik. (2020). Indikator Kesejahteraan Rakyat 2020.

[3] Naami, A. (2015). Disability, Gender, and Employment Relationships in Africa: The Case of Ghana. African Journal of Disability, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.4102/ajod.v4i1.95

[4] Wandita, D. T., & Fithriani, R. (2021). Pengaruh Pendidikan dan Pengangguran terhadap Kesejahteraan Penduduk di Pulau Sumatera. Modus, 33(1), Article 1. https://doi.org/10.24002/modus.v33i1.4167

[5] Fajriani, F., & Wicaksono, F. (2023). Pengaruh Tingkat Keparahan Kesulitan dan Penggunaan Internet terhadap Status Bekerja Penyandang Disabilitas di Indonesia. INKLUSI, 10(2), 237–256. https://doi.org/10.14421/ijds.100206

[6] Wang, C., & Li, M. (2018). Gender Differences in Employment Among People With Disabilities in China. Journal of Disability Policy Studies, 29(1), 12–21. https://doi.org/10.1177/1044207317745667

[7] Putri, A. (2019). Disabilitas dan Partisipasi di Pasar Tenaga Kerja Indonesia: Analisis Data Sakernas 2018. Jurnal Ketenagakerjaan, 14(2), Article 2. https://journals.kemnaker.go.id/index.php/naker/article/view/61

[8] World Bank. (2019). World Development Report 2019: The Changing Nature of Work. Washington, DC: World Bank. https://doi.org/10.1596/978-1-4648-1619-2.

[9] Statista. (2022). Digital 2022: Indonesia. Retrieved from https://datareportal.com/reports/digital-2022-indonesia

[10] Denzer, M., Schank, T., & Upward, R. (2020). Does the internet increase the job finding rate? Evidence from a period of expansion in internet use. Information Economics and Policy. https://doi.org/10.1016/j.infoecopol.2020.100900

[11] Woodcock, J., & Graham, M. (2020). The Gig Economy: A Critical Introduction. In Economic Geography (Vol. 97, Issue 1). Polity. https://doi.org/10.1080/00130095.2020.1831908

[12] Stewart, A., & Stanford, J. (2017). Regulating work in the gig economy: what are the options? The Economic and Labour Relations Review, 28(3), 420–437. https://doi.org/10.1177/1035304617722461

[13] Harpur, P., & Blanck, P. (2020). Gig Workers with Disabilities: Opportunities, Challenges, and Regulatory Response. Journal of Occupational Rehabilitation, 30(4), 511–520. https://doi.org/10.1007/s10926-020-09937-4

[14] Yamamoto, S., Unruh, D., & Bullis, M. (2011). The viability of self-employment for individuals with disabilities in the United States: a synthesis of the empirical-research literature. Journal of Vocational Rehabilitation, 35(2), 117–127. https://doi.org/10.3233/JVR-2011-0559

[15] Aloisi, A. (2016). Commoditized workers: case study research on labor law issues arising from a set of on-demand/gig economy platforms. Comp Labor Law Policy J, 37(3), 620–653.

[16] Ostrow, L., Nemec, P. B., & Smith, C. (2019). Self-Employment for People with Psychiatric Disabilities: Advantages and Strategies. Journal of Behavioral Health Services and Research, 46(4), 686–696. https://doi.org/10.1007/s11414-018-9625-8

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun