Kemudian, para pekerja dalam gig economy juga dimungkinkan untuk mendistribusikan pekerjaan ke dalam tugas-tugas mikro atau terfokus yang memungkinkan istirahat teratur sesuai kebutuhan [15]. Kontrol atas pelaksanaan tugas ini dapat menguntungkan pekerja penyandang disabilitas yang menginginkan fleksibilitas mengenai jenis dan jumlah tugas yang mereka lakukan karena keterbatasan yang mereka miliki.
Selain itu, gig economy juga menawarkan pekerjaan yang bentuk dan jadwal kerjanya dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu, tanpa perlu mengungkapkan kondisi disabilitas mereka [13]. Jam kerja yang fleksibel dapat mengurangi atau menghindari kebutuhan pekerja untuk mengungkapkan kondisi fisik pekerja kepada pemberi kerja. Hal ini dapat mengurangi potensi stigma dan bias di tempat kerja yang menguntungkan penyandang disabilitas.
Lebih lanjut, pekerjaan mandiri yang ditawarkan oleh gig economy juga dapat mengurangi kebutuhan untuk mencari akomodasi formal, seperti waktu yang fleksibel atau periode istirahat yang diizinkan ketika seseorang tidak dapat bekerja, sehingga dapat menghindari stigma atau bahkan kebencian dari rekan kerja [16]. Hal-hal ini sangat menguntungkan bagi penyandang disabilitas yang rentan terhadap stigma negatif dalam pasar tenaga kerja.
Jika dikelola dengan baik, pekerjaan di gig economy, memungkinkan penyandang disabilitas mendapatkan pengalaman, pelatihan, dan kemandirian ekonomi [13]. Opsi ini dapat memainkan peran penting ketika penyandang disabilitas bertransisi dari tingkat pengangguran yang tinggi ke tingkat penerimaan pekerjaan yang kompetitif yang tinggi [13].
Namun, perlu dicatat bahwa meskipun jenis dan waktu pekerjaan dalam gig economy lebih fleksibel, kegiatan administrasi dan pencatatan lainnya masih diperlukan untuk menjaga agar bisnis tetap mematuhi persyaratan hukum dan dapat beroperasi dengan baik. Kemudian, layanan transportasi dan pengiriman on-demand dalam gig economy juga membutuhkan kendaraan transportasi dalam kondisi kerja yang baik dan pembayaran biaya pemeliharaan untuk kendaraan terkait. Sehingga, memasuki dunia gig economy seringkali membutuhkan investasi keuangan atau dukungan pelatihan teknis yang baik. Untuk itu, diperlukan juga dukungan dari pemerintah terhadap hal-hal teknis seperti ini agar penyandang disabilitas dapat bekerja secara layak dan berkelanjutan.
Daftar Bacaan:
[1] World Health Organization. (2007). International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) [Organisasi]. World Health Organization.
[2] Badan Pusat Statistik. (2020). Indikator Kesejahteraan Rakyat 2020.
[3] Naami, A. (2015). Disability, Gender, and Employment Relationships in Africa: The Case of Ghana. African Journal of Disability, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.4102/ajod.v4i1.95
[4] Wandita, D. T., & Fithriani, R. (2021). Pengaruh Pendidikan dan Pengangguran terhadap Kesejahteraan Penduduk di Pulau Sumatera. Modus, 33(1), Article 1. https://doi.org/10.24002/modus.v33i1.4167
[5] Fajriani, F., & Wicaksono, F. (2023). Pengaruh Tingkat Keparahan Kesulitan dan Penggunaan Internet terhadap Status Bekerja Penyandang Disabilitas di Indonesia. INKLUSI, 10(2), 237–256. https://doi.org/10.14421/ijds.100206