Agam, menyesap rokoknya dalam dalam, sembari membiarkan tubuhnya menyandar santai pada tembok sekolah. Seperti biasa, pukul 4 sore, Agam tidak pernah absen nangkring di halaman sekolah menunggu Anjani, menyelesaikan kelas tambahannya. Pakaiannya sudah tidak karuan, baju yang memang tak pernah dipasang rapih, pun, dasi abu abu yang keberadaannya tak terlihat melekat pada Agam. dalam bahasa guru BK, Agam adalah contoh urakan yang mencoreng pendidikan Indonesia.
sedangkan kini, didepannya, persis saat pintu koridor terbuka, seorang pria berjalan beriringan bersama Anjani. Dengan pakaian yang jauh lebih rapih, namun sialnya, sama sekali tidak terlihat 'culun', tangan yang sibuk memegang tumpukan buku sedangkan ia memegang sepuntung rokok. singkatnya, Agam adalah kebalikannya. selalu.
"Agam! udah lama?" Anjani melempar senyum, membenarkan sedikit dekapan buku bukunya yang hendak meluncur bebas.
Agam tersenyum kecil, membuang puntung rokoknya, lalu menginjak hingga padam apinya. "Belum lama. baru 3 jam."
pria disamping Anjani ikut tersenyum, menyapa Agam, "Jemput gue, atau Anjani?" jahilnya, membuat Agam salah tingkah menggaruk kepalanya.
"Jemput lo, zam. cepetan, mau bareng gak?" padahal bukan itu yang ingin Agam sampaikan. bukan untuk menjemput Azam, saudara kembarnya. bukan.
Azam tau peris bukan dirinya yang Agam tunggu sejak tadi. seraya menepuk bahu Agam, Azam tersenyum lalu masuk kedalam mobil hitam yang terparkir di halaman sekolah. sorot matanya memandang Agam miris, seolah mengatakan, 'nih, akibat lo ga jujur, yang ngikut pulang malah gue kan'
Pasrah, di depan Anjani Agam selalu jadi pengecut nomor satu. sedangkan Azam, selalu selangkah di depannya. benar benar sial. di dalam mobil keduanya saling tatap dalam hening, Agam dengan sorot mata menantangnya, dan Azam dengan sorot mata tenangnya.
"hmm?" Azam bergumam, memancing sorot mata menantang dari Agam.Â
jika Agam lebih senang, beradu dengan fisik, memerkan semua kehebatan bisep dan trisepnya. Azam lebih senang bermain dengan elegan, tenang, dan rapih. Dibanding beradu dengan fisik, Azam lebih senang memacu otaknya dengan menyelesaikan setumpuk soal soal kimia.
"Lo suka?" sambil menyetir mobil, tanpa memandang Azam, Agam berujar datar. pertanyaan yang ambigu, karena Agam malas memperjelas konteks pertanyaannya.