Mohon tunggu...
Funpol
Funpol Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tumbuh dan Menggugah

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengatasi Fenomena Quite Quitting pada Generasi Milenial

11 Oktober 2022   10:46 Diperbarui: 11 Oktober 2022   10:53 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi milenial menjadi aset potensial untuk bangsa Indonesia. Pasalnya Indonesia juga akan menghadapi bonus demografi, di mana angka pertumbuhan kaum produktifnya akan dominan ketimbang non-produktif.

Namun, generasi produktif ini, jika tidak mampu dikelola dengan baik. Bisa jadi ini menjadi ancaman bagi Indonesia untuk generasi setelahnya.

Muncul belakangan istilah Quiet Quitting, sebagai fenomena baru generasi milenial. Terutama mereka yang sudah masuk dalam dunia kerja. Istilah ini muncul ketika akun TikTok bernama @zaidleppelin, mengunggah sebuah video, di mana dirinya mengungkapkan bahwa seorang karyawan wajar jika tidak bekerja terlalu ektra dan cukup memberikan waktu secara proporsional.

Nah, sobat funpol.id di Kompasiana,  jadi apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan fenomena Quiet Quitting itu sendiri? Apakah itu menjadi masalah bagi generasi milenial? Yuk simak bareng-bareng.

Dikutip dari health.detik.com pada (9/10/2022), fenomena Quiet Quitting menurut Psikolog klinis Marissa Meditania MPsi dari Ohana Space, adalah sebuah fenomena di mana seorang karyawan memberikan batasan dalam bekerja secukupnya.

Misalnya, ketika pulang kerja harus sesuai dengan jadwal, bekerja sesuai dengan jobdesknya. Intinya, seorang karyawana itu tidak memberikan waktu yang berlebihan dalam bekerja dan memberikan ruang untuk dirinya sendiri.

Apa saja ciri-cirinya? 

  • Kurang antusias

Minimnya antusisme seorang karyawan itu, bisa jadi, mereka yang sebelumnya sangat berinisiatif ketika ada diskusi, tiba-tiba tak banyak berbicara atau diam. Ini bisa jadi karena hubungan yang kurang baik dengan atasan atau mungkin tekanan dari atasan yang terlalu berlebihan.

Seorang karyawan yang sudah masuk dalam kondisi ini, biasanya hanya akan berkerja ketika disuruh oleh atasannya saja. Jadi secukupnya, dan tak berlebihan.

  • Minim respon saat dihubungi

Ciri yang kedua ini, berhubungan dengan bagaimana mereka membatasi diri dengan karyawan-karyawan lainnya. Saat dihubungi, mereka yang sudah masuk dalam zona Quiet Quitting biasanya slow response ketika ditanya soal pekerjaan, atau menjawab secukupnya saja.

Beberapa kasus bahkan tak menjawab, karena menurut mereka, jika meladeni kawannya, itu akan menambah jobdesk pekerjaannya.

  • Mengurangi interaksi

Orang yang memegang prinsip Quiet Quitting, biasanya tak mau banyak berinteraksi dengan karyawan-karyawan lainnya. Padahal sebelumnya dirinya cukup intens membangun komunikasi dengan yang lainnya.

Saat diajak untuk nongkrong usai bekerja misalnya, mereka cenderung menolak meskipun dengan iming-iming dibayari. Karena mereka mulai mengangap, bahwa nongkrong bukan bagian dari pekerjaan. Sehingga lebih baik, menghindari hal tersebut.

  • Pulang tepat waktu

Fenomena Quiet Quitting masih berhubungan dengan hustle culture. Seperti diketahui, orang yang memegang prinsip hustle culture, di mana pulang tepat waktu adalah hal yang sangat istimewa untuk mereka.

Dan saat mereka merasa stress, penat, atau burnout dalam pekerjaan, mereka cenderung akan memilih untuk segera meninggalkan ruang pekerjaannya, tanpa harus memikirkan perkataan oranglain tentang dirinya.

Bagaimana cara mengatasi Fenomena Quiet Quitting dalam sebuah perusahaan? 

Dalam sebuah siaran, yang dikutip dari suarasurabaya.net, dosen Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Fenika Wulani mengatakan jika fenomena tersebut sejatinya bisa diminimalisir oleh sebuah perusahaan.

Fenika mengatakan, menajer perusahaan harus mengetahui adanya pola perubahan nilai-nilai kerja pada karyawannya, seperti harapan, pengelolaan jam kerja, seberapa banyak pekerjaannya, dan lain sebagainya yang harus menjadi perhitungan perusahaan.

Oleh karena itu, menurutnya, yang pasti bisa dilakukan oleh perusahaan adalah mencari orang-orang dengan nilai-nilai yang sama dengan pekerjaan yang ditawarkan dan yang paling penting memiliki etos kerja yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun