Beberapa kasus bahkan tak menjawab, karena menurut mereka, jika meladeni kawannya, itu akan menambah jobdesk pekerjaannya.
- Mengurangi interaksi
Orang yang memegang prinsip Quiet Quitting, biasanya tak mau banyak berinteraksi dengan karyawan-karyawan lainnya. Padahal sebelumnya dirinya cukup intens membangun komunikasi dengan yang lainnya.
Saat diajak untuk nongkrong usai bekerja misalnya, mereka cenderung menolak meskipun dengan iming-iming dibayari. Karena mereka mulai mengangap, bahwa nongkrong bukan bagian dari pekerjaan. Sehingga lebih baik, menghindari hal tersebut.
- Pulang tepat waktu
Fenomena Quiet Quitting masih berhubungan dengan hustle culture. Seperti diketahui, orang yang memegang prinsip hustle culture, di mana pulang tepat waktu adalah hal yang sangat istimewa untuk mereka.
Dan saat mereka merasa stress, penat, atau burnout dalam pekerjaan, mereka cenderung akan memilih untuk segera meninggalkan ruang pekerjaannya, tanpa harus memikirkan perkataan oranglain tentang dirinya.
Bagaimana cara mengatasi Fenomena Quiet Quitting dalam sebuah perusahaan?Â
Dalam sebuah siaran, yang dikutip dari suarasurabaya.net, dosen Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Fenika Wulani mengatakan jika fenomena tersebut sejatinya bisa diminimalisir oleh sebuah perusahaan.
Fenika mengatakan, menajer perusahaan harus mengetahui adanya pola perubahan nilai-nilai kerja pada karyawannya, seperti harapan, pengelolaan jam kerja, seberapa banyak pekerjaannya, dan lain sebagainya yang harus menjadi perhitungan perusahaan.
Oleh karena itu, menurutnya, yang pasti bisa dilakukan oleh perusahaan adalah mencari orang-orang dengan nilai-nilai yang sama dengan pekerjaan yang ditawarkan dan yang paling penting memiliki etos kerja yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H