Menurut saya keterkaitan FIR terhadap kedaulatan negara dalam konteks wilayah kedaulatan udara, maka semua negara bisa dipastikan akan merujuk kepada Konvensi Chicago tahun 1944 yang menyatakan bahwa kedaulatan negara di udara adalah Penuh dan Eksklusif. Jelas sekali bahwa dalam hal ini FIR merupakan terkait dengan isu kedaulatan sebuah Negara. Saya akan kemukakan pendapat saya mengenai hal tersebut dibawah ini.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara[1]. Jadi tidak ada alasan bahwa suatu negara tidak memiliki kedaulatan udara bahkan dikatakan bahwa kedaulatan suatu negara (termasuk kedaulatan udara) bersifat lengkap dan eksklusif yang berada diatas teritorialnya. Pada UU Republik Indonesia No.1 Tahun 2009 pasal 5 tentang Penerbangan dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udaranya.[2]Â
Dalam dunia penerbangan dikenal adanya Flight Information Region (FIR) dan juga Upper Flight Information Region (UIR) dua hal diatas bagi saya sangat penting sehingga dalam masalah ini perlu diluruskan kembali tentang hubungan FIR dan kedaulatan Negara. FIR dan UIR merupakan wilayah yang penetapannya tidak berdasarkan wilayah teritorial, tetapi ditetapkan berdasarkan kepentingan, Analisa dan keputusan mengenai keselamatan penerbangan (safety consideration).
Flight Information Region (FIR) merupakan wilayah ruang udara dalam sebuah negara yang khusus menyediakan layanan informasi penerbangan sekaligus layanan peringatan. FIR diwilayah perairan Riau dan Natuna adalah sebuah permasalahan yang sangat jelas dan terang yaitu tentang wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia yang sudah sejak tahun 1946 pengelolaannya berada di otoritas penerbangan sipil Singapura.
Sehubungan dengan masalah kedaulatan Negara di wilayah udara, maka penguasaan Air Traffic Control (ATC) oleh Singapura di wilayah Indonesia yaitu di kawasan Kepulauan Riau, bukan saja menyebabkan terjadi pelanggaran kedaulatan wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun juga memberikan implikasi yang sangat luas.
Beberapa hal pokok yang mengenai perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1995 dan diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 07 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Agreement between the Government Of the Republic of Singapore on the Realignment f the Boundary between the Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight Information[3] adalah:
Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di wilayah sektor A kepada Singapura dari permukaan laut sampai ketinggian 37.000 feet.
Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan wilayah sector B kepada Singapura dari pemukaan laut sampai dengan ketinggian tak terhingga (unlimited height).
Sector C tidak termasuk di dalam perjanjian tersebut.
Atas nama Indonesia, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan atau Rans Charges di wilayah udara yuridiksi Republik Indonesia pada Sektor A selanjutnya diserahkan ke pemerintah Indonesia, sedangkan Sektor B dan C tanpa Rans Charges karena masih merupakan permasalahan Indonesia dan pemerintah Malaysia.
Sektor A mencakup wilayah udara di atas 8 kilometer sepanjang Batam dan Singapura. Sektor B mencakup kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun. Sementara itu, sektor C yang berada di wilayah udara Natuna dibagi menjadi dua, Singapura mengendalikan di atas 24.500 kaki, dan Malaysia di bawah 24.500 kaki. Total panjang wilayah udara di sektor tersebut mencapai 1.825 kilometer wilayah udara Indonesia.[4]Â
Wilayah seluas itu mencakup Kepulauan Riau, Tanjungpinang, Natuna, Serawak dan Semenanjung Malaka. Di wilayah Kepulauan Riau ini sendiri, FIR Singapura yang sudah memegangnya selama puluhan tahun sering bertindak berlebihan dalam mengatur pesawat Indonesia diatas wilayah Indonesia sendiri dengan mengatasnamakan keselamatan penerbangan (sebenarnya adalah bisnis penerbangan) di Changi Airport untuk kepentingan Singapura sendiri.[5]Â
Yang perlu menjadi perhatian penting dan akan selalu menjadi isu yang sensitive terhadap perbatasanan wilayah udara adalah mengenai pengelolaan penerbangan secara keseluruhan yaitu penerbangan sipil dan juga penerbangan militer. Kementrian Perhubungan Indonesia, merujuk kepada ketentuan Internasional, telah menjadi wakil resmi pemerintah Indonesia, sebuah institusi resmi negara Republik Indonesia yang memegang otoritas -- kewenangan sebagai regulator dan penanggung jawab dari pengelolaan penerbangan sipil. Dalam hal ini maka kewenangan pengaturan FIR di wilayah Indonesia menjadi wewenang dan tanggung jawab Kementrian Perhubungan.
Permasalahanya adalah kegiatan penerbangan di Indonesia tidaklah hanya terdiri dari penerbangan sipil tetapi dalam aspek pengamanan, pertahanan dan keamanan negara, maka ada penerbangan militer baik TNI AD, AU dan AL serta penerbangan dari instansi pemerintah lainnya, seperti Kepolisian, Basarnas, dan pesawat lainya untuk kepentingan riset. Kegiatan penerbangan militer ini secara hukum dan sistem komando pengendaliannya tidak berada dibawah Kementrian Perhubungan sebagai pemegang otoritas penerbangan sipil karena TNI memiliki system komando tersendiri yang tentunya selalu berkoordinasi dengan AirNav.
Implikasi dari sebuah perjanjian yang dilakukan Indonesia dan Singapura yang timbul dari pendelegasian wilayah udara (FIR) Kepulauan Riau dan Natuna kepada FIR Singapura akan berdampak pada dua permasalahan kedaulatan Negara Indonesia pada bidang keamanan pertahanan Negara dan bidang ekonomi.
Kondisi tersebut lama kelamaan menyebabkan timbulnya sengketa wilayah udara antara Indonesia dan Singapura. Tidak hanya itu Indonesia mendeteksi Singapura seringkali menjadikan area itu dijadikan sebagai tempat latihan perang angkatan udara mereka. Komando Pertahanan Udara Nasional melalui satuan yang berada dibawah jajarannya yakni Komando Sektor 1 telah sering menangkap pergerakan pesawat asing, khususnya pesawat militer Singapura di Kepulauan Riau melalui Radar 213 Tanjung Pinang dan Satuan Radar 212 Natuna pergerakan pesawat tersebut tanpa suatu Flight Clearance yang semestinya sudah menjadi keharusan apabila pesawat asing terbang di wilayah udara Indonesia. Tindakan ini dikategorikan sebagai Black Flight dan merupakan tindakan pelanggaran wilayah udara Nasional.
Kohanudnas bertugas menyelenggarakan upaya pertahanan keamanan atas wilayah udara nasional secara mandiri ataupun bekerja sama dengan Komando Utama Operasional  lainnya dalam rangka mewujudkan  kedaulatan dan keutuhan serta kepentingan lain dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menyelenggarakan pembinaan administrasi dan kesiapan operasi unsur-unsur Hanud TNI AU dan melaksanakan siaga operasi untuk unsur-unsur Hanud dalam jajarannya dalam rangka mendukung tugas pokok TNI. Pesawat militer TNI AU yang tugasnya antara lain menjaga wilayah kedaulatan udara, terbang melewati wilayah tersebut harus minta ijin ke Singapore. Hal ini tentu sangat kontradiktif terhadap tugas dan fungsi pengawasan yang tentunya harus di ketahui oleh negara lain yang wilayah operasinya berada di Negara sendiri.
Memahami tentang nilai strategis dari wilayah udara kedaulatan di perairan Riau dan Natuna, sisi pertahanan keamanan negara atau National Security sebagai wilayah perbatasan yang rawan sengketa (Danger Area). Jika sebagian orang beranggapan bahwa FIR adalah hanya masalah keselamatan penerbangan Internasional semata yang tidak ada hubungannya dengan kedaulatan negara, dan klaim danger area diwilayah kedaulatan Republik Indonesia yang harus diakui sebagai "traditional training area", sebuah terminologi yang tidak mendasar serta tidak didukung oleh argument yang kuat.
FIR yang dikuasai oleh Singapura adalah wilayah yang terletak pada posisi kritis perbatasan negara, perbatasan antar negara dimanapun di permukaan bumi ini pasti berada dalam kekuasaan penuh negara yang bersangkutan. Ada kepentingan besar diwilayah tersebut sebagai wilayah Kawasan latihan militernya, dalam rangka antisipasi sengketa perbatasan yang selalu mungkin terjadi.Â
Hal tersebut sangat berbahaya jika wilayah kedaulatan dengan nilai strategis yang amat rawan itu diserahkan kepada negara lain untuk mengelolanya. Pesawat-pesawat terbang militer kita harus meminta izin terlebih dulu untuk dapat berlatih di daerah wilayah kedaulatannya sendiri, dan pada saat yang bersamaan, negara yang memperoleh pendelegasian wewenang dapat dengan mudah dan bebas mengatur latihan-latihan di daerah kritikal itu yang sebagian besar adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Tidak itu saja, ternyata pada wilayah udara, dengan bebas tanpa persetujuan Negara pemilik wilayah udara dapat dan sudah menentukan sendiri Danger Area bagi penerbangan internasional.
Wilayah tersebut menjadi status quo ini berarti tidak ada rahasia yang dapat disimpan dari Singapura. Setiap misi penerbangan pada FIR Natuna akan selalu berada di bawah pengawasan air traffic control (ATC) negara Singapura, termasuk patroli rutin dan upaya penyergapan penerbangan gelap.
Dengan kondisi yang seperti sekarang ini, Indonesia berada dalam kondisi yang militernya menjadi sangat sulit untuk dapat berlatih didaerah tersebut. Sementara secara berbeda sekali dengan Singapura dapat dengan sangat leluasa berlatih dikawasan wilayah kedaulatan Indonesia bagi militernya, sebagai konsekuensi dari kewenangannya sebagai pemegang otoritas pengelolaan wilayah udara yang memang berada ditangan Negara lain.Â
Lebih jauh dari itu dengan kewenangannya Singapura bahkan menentukan Danger Area yang tidak boleh digunakan negara lain bagi keleluasaan militernya berlatih. Ini menjadi pertanyaan besar, sebuah Kawasan milik Indonesia ditentukan sebagai wilayah yang tidak boleh digunakan oleh Indonesia untuk keperluan militer Asing berlatih di wilayahnya. Hal tersebut adalah terutama sekali untuk mencegah terjadinya kembali pemahaman yang kurang mendalam tentang wilayah kedaulatan negara seperti hal nya tentang penetapan Danger Area oleh negara lain di kawasan wilayah kedaulatan Indonesia di Udara berkait dengan pengakuan bangsa lain terhadap Indonesia.
Penguasaan FIR terkait dengan perkiraan resiko dari penguasaan ATC adalah sangat besar karena ancaman yang dihadapi ada didepan sangat dekat. Hal ini semakin bertambah karena berbatasan dengan Negara tetangga yang mempunyai kemampuan militer cukup baik. Dengan keterbatasan wilayah darat, laut dan sekaligus wilayah udara, maka penguasaan ATC tersebut memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Singapura untuk melakukan tindakan yang bisa menimbulkan ancaman bagi indonesia seperti kegiatan Intelijen, pencurian data gambar wilayah, melatih para penerbangnya melaksanakan latihan di wilayah udara Indonesia secara illegal dan tidakan lainya yang berbahaya.
Bila keadaan ini terus berlanjut bisa terjadi perang terbuka dapat dijadikan strategi operasi udara dan akan menjadi suatu ancaman karena Singapura akan memanfaatkan karakteristik keunggulan kekuatan udara berupa kecepatan dan pendadakan.
Implikasi dalam bidang pertahanan keamanan negara. Dalam strategi penggunaan kekuatan udara, maka pengendalian atau kontrol terhadap ruang udara sangat mutlak diperlukan untuk memberi keleluasaan pada suatu tindakan ofensif. Selain itu juga akan   memberikan kemudahan untuk pergerakan kekuatan di darat dan pergerakan di laut. Karakteristik keunggulan kekuatan udara seperti berupa kecepatan, penyusupan dan pendadakan seringkali dijadikan sebagai teori dasar untuk menghancurkan centre of gravity musuh. Sehingga dalam pertempuran udara, strategi penggunaan kekuatan udara akan   selalu terkait dengan pencapaian keunggulan di udara.[6]
Pemahaman saya kemudian adalah negara kecil bila ingin menggunakan wilayah udara yang lebih luas untuk keperluan membangun bangsanya dalam aspek pertahanan keamanan dan memakmurkan rakyatnya, seharusnya mengikuti negara yang memiliki luas negara lebih besar terutama dengan negara tetangga yang berbatasan langsung. Wilayah Udara kedaulatan Indonesia adalah wilayah udara yang mengandung arti strategis dalam hal National Security dan bernilai sangat tinggi bagi upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Itu sebabnya, maka kita harus dapat dengan segera dan sekuat tenaga meningkatkan kemampuan dalam mengatur lalu lintas udara internasional didaerah wilayah kedaulatan kita sendiri. Tentunya tidak hanya mengenai security dalam aspek pertahanan dan keamanan negara, akan tetapi juga dalam aspek keuntungan finansial dari penyelenggaraan jasa pelayanan informasi dan navigasi penerbangan komersial di wilayah tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat banyak yang dilakukan oleh AirNav Indonesia. Lebih jauh dari itu maka kawasan dari wilayah udara kedaulatan Indonesia yang selama ini berada dibawah otoritas negara lain, harus menjadi wilayah udara yang otoritas penerbangannya berada di bawah otoritas Indonesia.
Melihat dari nilai strategis wilayah udara nasional sebagai bagian dari wilayah kedaulatan negara yang sangat mempengaruhi sistem pertahanan keamanan negara dan juga nilai ekonominya, maka sudah selayaknya pengelolaan dilakukan dengan sangat akuntabel. Isu tentang wilayah udara, dalam hal penanganannya tidak bisa diserahkan begitu saja kepada salah satu institusi pemerintahan karena hal ini melibatkan banyak kementrian dan Lembaga terkait. Yaitu dalam aspek transportasi oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub), urusan yang berkait dengan hubungan antar negara akan menjadi urusannya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), pada wilayah teritorial pada sistem pertahanan keamanan negara, di kelola oleh Kementerian Pertahanan dan TNI. Tentu saja pegelolaan wilayah udara kedaulatan sangat memerlukan kebijakan dan implementasi yang lintas sektoral sifatnya.
Dengan demikian maka bila kita berbicara tentang FIR, maka menjadi perhatian bersama bahwa dalam pengelolaannya, sepanjang berada dalam wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia (RI) harus dipertimbangkan juga urusan kepentingan dari penerbangan militer atau bukan penerbangan sipil. Penerbangan Militer yang bertugas dalam konteks Pertahanan Kemanan Negara justru merupakan kunci utama dalam masalah yang berkait dengan Pertahanan Kemanan Nasional atau National Security. Kesimpulannya adalah bahwa FIR yang terletak di kawasan perairan Indonesia sudah harus dikuasai oleh Otoritas Penerbangan Indonesia, karena wilayah tersebut adalah merupakan wilayah udara kedaulatan Negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H