Wilayah seluas itu mencakup Kepulauan Riau, Tanjungpinang, Natuna, Serawak dan Semenanjung Malaka. Di wilayah Kepulauan Riau ini sendiri, FIR Singapura yang sudah memegangnya selama puluhan tahun sering bertindak berlebihan dalam mengatur pesawat Indonesia diatas wilayah Indonesia sendiri dengan mengatasnamakan keselamatan penerbangan (sebenarnya adalah bisnis penerbangan) di Changi Airport untuk kepentingan Singapura sendiri.[5]Â
Yang perlu menjadi perhatian penting dan akan selalu menjadi isu yang sensitive terhadap perbatasanan wilayah udara adalah mengenai pengelolaan penerbangan secara keseluruhan yaitu penerbangan sipil dan juga penerbangan militer. Kementrian Perhubungan Indonesia, merujuk kepada ketentuan Internasional, telah menjadi wakil resmi pemerintah Indonesia, sebuah institusi resmi negara Republik Indonesia yang memegang otoritas -- kewenangan sebagai regulator dan penanggung jawab dari pengelolaan penerbangan sipil. Dalam hal ini maka kewenangan pengaturan FIR di wilayah Indonesia menjadi wewenang dan tanggung jawab Kementrian Perhubungan.
Permasalahanya adalah kegiatan penerbangan di Indonesia tidaklah hanya terdiri dari penerbangan sipil tetapi dalam aspek pengamanan, pertahanan dan keamanan negara, maka ada penerbangan militer baik TNI AD, AU dan AL serta penerbangan dari instansi pemerintah lainnya, seperti Kepolisian, Basarnas, dan pesawat lainya untuk kepentingan riset. Kegiatan penerbangan militer ini secara hukum dan sistem komando pengendaliannya tidak berada dibawah Kementrian Perhubungan sebagai pemegang otoritas penerbangan sipil karena TNI memiliki system komando tersendiri yang tentunya selalu berkoordinasi dengan AirNav.
Implikasi dari sebuah perjanjian yang dilakukan Indonesia dan Singapura yang timbul dari pendelegasian wilayah udara (FIR) Kepulauan Riau dan Natuna kepada FIR Singapura akan berdampak pada dua permasalahan kedaulatan Negara Indonesia pada bidang keamanan pertahanan Negara dan bidang ekonomi.
Kondisi tersebut lama kelamaan menyebabkan timbulnya sengketa wilayah udara antara Indonesia dan Singapura. Tidak hanya itu Indonesia mendeteksi Singapura seringkali menjadikan area itu dijadikan sebagai tempat latihan perang angkatan udara mereka. Komando Pertahanan Udara Nasional melalui satuan yang berada dibawah jajarannya yakni Komando Sektor 1 telah sering menangkap pergerakan pesawat asing, khususnya pesawat militer Singapura di Kepulauan Riau melalui Radar 213 Tanjung Pinang dan Satuan Radar 212 Natuna pergerakan pesawat tersebut tanpa suatu Flight Clearance yang semestinya sudah menjadi keharusan apabila pesawat asing terbang di wilayah udara Indonesia. Tindakan ini dikategorikan sebagai Black Flight dan merupakan tindakan pelanggaran wilayah udara Nasional.
Kohanudnas bertugas menyelenggarakan upaya pertahanan keamanan atas wilayah udara nasional secara mandiri ataupun bekerja sama dengan Komando Utama Operasional  lainnya dalam rangka mewujudkan  kedaulatan dan keutuhan serta kepentingan lain dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menyelenggarakan pembinaan administrasi dan kesiapan operasi unsur-unsur Hanud TNI AU dan melaksanakan siaga operasi untuk unsur-unsur Hanud dalam jajarannya dalam rangka mendukung tugas pokok TNI. Pesawat militer TNI AU yang tugasnya antara lain menjaga wilayah kedaulatan udara, terbang melewati wilayah tersebut harus minta ijin ke Singapore. Hal ini tentu sangat kontradiktif terhadap tugas dan fungsi pengawasan yang tentunya harus di ketahui oleh negara lain yang wilayah operasinya berada di Negara sendiri.
Memahami tentang nilai strategis dari wilayah udara kedaulatan di perairan Riau dan Natuna, sisi pertahanan keamanan negara atau National Security sebagai wilayah perbatasan yang rawan sengketa (Danger Area). Jika sebagian orang beranggapan bahwa FIR adalah hanya masalah keselamatan penerbangan Internasional semata yang tidak ada hubungannya dengan kedaulatan negara, dan klaim danger area diwilayah kedaulatan Republik Indonesia yang harus diakui sebagai "traditional training area", sebuah terminologi yang tidak mendasar serta tidak didukung oleh argument yang kuat.
FIR yang dikuasai oleh Singapura adalah wilayah yang terletak pada posisi kritis perbatasan negara, perbatasan antar negara dimanapun di permukaan bumi ini pasti berada dalam kekuasaan penuh negara yang bersangkutan. Ada kepentingan besar diwilayah tersebut sebagai wilayah Kawasan latihan militernya, dalam rangka antisipasi sengketa perbatasan yang selalu mungkin terjadi.Â
Hal tersebut sangat berbahaya jika wilayah kedaulatan dengan nilai strategis yang amat rawan itu diserahkan kepada negara lain untuk mengelolanya. Pesawat-pesawat terbang militer kita harus meminta izin terlebih dulu untuk dapat berlatih di daerah wilayah kedaulatannya sendiri, dan pada saat yang bersamaan, negara yang memperoleh pendelegasian wewenang dapat dengan mudah dan bebas mengatur latihan-latihan di daerah kritikal itu yang sebagian besar adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Tidak itu saja, ternyata pada wilayah udara, dengan bebas tanpa persetujuan Negara pemilik wilayah udara dapat dan sudah menentukan sendiri Danger Area bagi penerbangan internasional.
Wilayah tersebut menjadi status quo ini berarti tidak ada rahasia yang dapat disimpan dari Singapura. Setiap misi penerbangan pada FIR Natuna akan selalu berada di bawah pengawasan air traffic control (ATC) negara Singapura, termasuk patroli rutin dan upaya penyergapan penerbangan gelap.
Dengan kondisi yang seperti sekarang ini, Indonesia berada dalam kondisi yang militernya menjadi sangat sulit untuk dapat berlatih didaerah tersebut. Sementara secara berbeda sekali dengan Singapura dapat dengan sangat leluasa berlatih dikawasan wilayah kedaulatan Indonesia bagi militernya, sebagai konsekuensi dari kewenangannya sebagai pemegang otoritas pengelolaan wilayah udara yang memang berada ditangan Negara lain.Â