Mohon tunggu...
Abdul Ghofur (Affu)
Abdul Ghofur (Affu) Mohon Tunggu... -

Passion di Bidang Extractive Metallurgy; Renewable Energy; dan Strategic Management | Lumajang-Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Melipir ke Energi Panas Bumi, Bang Jon!

20 Agustus 2017   20:27 Diperbarui: 21 Agustus 2017   22:34 1771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: CNN Indonesia

Pendahuluan

Di hari keempat dalam serangkaian 15 Hari Cerita Energi (#15HariCeritaEnergi) kali ini, penulis akan mulai mengulas tentang potensi dan pemanfaatan jenis-jenis sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ada di Indonesia. Sudah tiga tulisan yang kami buat sebagai awalan. Jika diibaratkan sebagai tubuh manusia, maka ketiga tulisan sebelumnya kami gambarkan sebagai kepala karena lebih bersifat sebagai ajakan untuk berpikir bersama.

Sementara itu, dalam tulisan ke-empat kali ini sampai ke-sebelas (nanti) kami gambarkan sebagai badan.  Penulis harap bisa menjadi dasaran kita - khususnya saya pribadi - untuk tetap mantap dan optimis mengenai penerapan dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia.


Tujuan itu Mulia Sekali

Masih hangat di ingatan kita, tiga hari yang lalu Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya di Gedung MPR-DPR-DPD menyebutkan bahwa rasio elektrifikasi nasional saat ini sudah mencapai angka 92 persen.

Dalam mendukung pemerataan, Pemerintah juga mendorong peningkatan rasio elektrifikasi nasional yang mencapai 92 persen pada bulan Maret tahun 2017. Dalam sidang yang terhormat ini, saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada warga Desa Wogalirit, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, setelah 72 tahun merdeka, sekarang akhirnya bisa menikmati layanan listrik. Selamat juga untuk warga desa-desa lain di seluruh Tanah Air, yang tahun 2017 ini bisa menikmati layanan listrik. - Presiden Joko Widodo

Tentu berita diatas sangat menggembirakan bagi mereka yang benar-benar baru menikmati listrik. Juga sempat menjadi trending topic di media sosial beberapa hari lalu.

Sebenarnya, dalam tulisan kali ini kita orang mau melihat potensi dan pemanfaatan panas bumi yang ada di Indonesia. Tapi setelah membaca banyak referensi dan publikasi (populer maupun ilmiah), rasanya jadi pengen berhenti nulis aja. Padahal beberapa judul sudah ditetapkan. Mungkin karena informasi terkait panas bumi sudah ada semua di Prof. Gugel, dan lengkap. Mungkin juga karena teknologi dalam pemanfaatan panas bumi ini yang sudah sangat baik dan tidak seperti energi terbarukan lainnya yang berupa angin, arus laut dan tenaga surya.  So, dalam tulisan kali ini kita orang hanya mencoba untuk menyalurkan passion terkait energi terbarukan saja. Meski saya pribadi belum pernah tahu secara langsung bagaimana proses pemanfaatan energi panas bumi di lapangan. Kalau sobat ada yang nawarin untuk main ke PLTG sih, dengan senang hati kita orang ikutan main kesana. Namun kita orang bukan jurnalis ya.

Oke lanjut ke bahasan terkait energi terbarukan yang sudah penulis sampaikan sebelumnya yakni terkait regulasi.

Memang kalau dipahami secara mainstream, aturan pemerintah yang dikeluarkan awal tahun ini tentang besaran tarif yang dibeli oleh PLN dari pembangkit listrik energi terbarukan (Permen ESDM No. 12/2017), yang hanya maksimal 85% dari BPP Pembangkitan, menimbulkan ke-engganan pelaku bisnis di bidang energi terbarukan. Mereka pada protes ke Presiden karena harganya yang kurang menarik. Namun, Bang Jon dan Pakde Joko ini sepertinya cukup berani. Tuntutan agar merevisi aturan tersebut tidak dihiraukan. Meski memang ada revisi, yakni dengan dikeluarkannya Permen ESDM 43/2017, namun untuk besaran tarif yang ditetapkan pemerintah tidak berubah. Apalagi subsidi listrik kelas 900 MVA dicabut.

Tujuan untuk mengelola energi secara adil dan merata, patut kita apresiasi. Terlihat dari jawaban Bang Jon dalam merespon protes para pelaku bisnis energi terbarukan terkait aturan tarif diatas. Pemerintah memang sedang mengejar target untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia sebagai pengartian energi berkeadilan.

Nasib Energi Terbarukan dan Target 23% pada Tahun 2025

Pemerintah saat ini juga mengakui jika target kontribusi EBT yang sebesar 23% dari porsi energi final pada tahun 2025 sulit dicapai [1, 2], meski begitu pemerintah masih terlihat optimis untuk tetap bekerja dan melakukan berbagai strategi turunan agar bisa mencapainya. Meski pada kenyataannya akhir tahun 2017 ini porsi EBT kita hanya di kisaran 8-9%, yang artinya masih jauh untuk bisa sampai ke angka 23% diatas [2].  Sementara itu, minat investasi di bidang energi terbarukan dari pihak swasta jelas mengalami kelesuan akibat aturan tarif tenaga listrik energi terbarukan yang hanya sebesar 85% BPP Pembangkitan.

Bang Jon, sepertinya harus membuat terobosan baru. Toh pada tahun ini juga, Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sudah ditandatangani oleh Pakde Joko sebagai bentuk penjabaran dan rencana pelaksanaan untuk mencapai sasaran Kebijakan Energi Nasional [3].

Dalam peraturan itu sudah jelas disebutkan bahwa Kebijakan Energi Nasional (KEN) adalah kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional. Yang jadi tantangan di lapangan adalah bagaimana merealisasikan arah kebijakan ini?

Dalam RUEN sebenarnya sudah dibahas dan dijelaskan gambaran strategi dari pemerintah, dan dapat disimpulkan bahwa target-target itu bisa dicapai.

Penulis disini hanya bermaksud untuk mencari gambaran, kira-kira apa yang sebaiknya dilakukan oleh semua pihak yang berkecimpung di bidang energi, khususnya pelaku usaha di bidang energi terbarukan, jika pada kenyataannya minat investasi energi terbarukan menjadi lesu?

Saat ini terlihat pemerintah lebih fokus untuk mencapai energi yang berkeadilan, lewat program rasio elektrifikasinya.


Melipir ke Panas Bumi

Jika melihat arah KEN, dan lesunya minat investasi swasta di bidang energi terbarukan, penulis berkesimpulan bahwa peluang untuk mencapai target 23% penggunaan EBT pada tahun 2025 nanti hanya bisa dilakukan dengan memaksimalkan potensi energi panas bumi (geothermal energy) yang kita miliki. Mungkin bisa dipercepat jika kita sudah menguasai teknologi nuklir, dan tentunya diperlukan keberanian untuk itu. Tetapi, sepertinya belum. Oleh karenanya, satu-satunya harapan dan mungkin langkah yang akan dikerjakan adalah memilih energi panas bumi.

Arah KEN jelas: untuk menciptakan ketahanan energi nasional. Disisi lain, pertumbuhan penduduk kita juga semakin besar. Apalagi didominasi oleh generasi muda karena kita sedang menghadapi bonus demografi sampai dengan 2030 nanti. Indonesia adalah negera terbesar ke-empat di dunia. Penduduk yang banyak, berbanding lurus dengan konsumsi energi apalagi wilayah Indonesia yang luas juga turut mempengaruhi. Hal ini bisa dilihat dari posisi transportasi yang menempati urutan kedua pengguna energi terbanyak, dibawah industri.

Yang tidak boleh dilupakan bahwa untuk menciptakan ketahan energi nasional, selain energi berkeadilan lewat rasio elektrifikasinya, pemerintah harus memprioritaskan wawasan lingkungan. Hal itu tentu bisa dicapai dengan penggunaan energi terbarukan itu tadi.

Panas Bumi satu-satunya solusi.

Potensinya yang cukup besar, dan bisa dimanfaatkan dengan baik karena teknologinya sudah proven, menjadikan panas bumi pilihan pertama untuk mencapai target 23%.

Dari 29 GW potensi panas bumi, saat ini masih tergunakan kurang dari 2 GW. Apalagi potensi panas bumi tersebar meluas di sepanjang jalur gunung api mulai dari wilayah barat pulau Sumatera, Selatan pulau Jawa, hingga ke Flores. Tak kurang dari 324 titik panas bumi tercatat oleh pemerintah sebagai potensi yang bisa dikembangkan menjadi energi listrik.

Nah, jika ingin mencapai target 23% tersebut pemerintah perlu mempercepat realisasi pembangunan PLTP di daerah-daerah dengan potensi panas bumi. Hal ini juga bisa diartikan sebagai pelaksanaan salah satu misi dalam RUEN itu sendiri, yakni mengakselerasi penerapan EBT. Jika tidak segera dilakukan, maka pada tahun 2025 (dari perspektif kondisi kekinian) sulit bisa dicapai angka 23%. Pembangunan PLTP mulai dari proses eksplorasi sampai dengan COD kira-kira memakan waktu 5-6 tahun. Selain itu, pemerintah sepertinya harus meyakinkan investor agar berminat invest di bidang energi panas bumi karena Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) yang dilelang pemerintah sepertinya belum terlalu menarik bagi pelaku usaha di sektor energi terbarukan.

Ayok, ikut Bang Jon melipir ke Energi Panas Bumi.

-----------------------------
Referensi:

[1]     www.esdm.go.id/

[2]     Wardani, R. 2017. Demonstrasikan Peluang Tercapaianya 23% Bauran Energi Terbarukan di 2025, Indonesia-Jerman Luncurkan Proyek Kerjasama. Jakrta

[3]     ___________. 2017. Tetap Optimis Kembangkan Panas Bumi Indonesia, KESDM dan API Selenggarakan The 5th IIGE 2017.Jakarta: http://ebtke.esdm.go.id

[4]     Peraturan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun