Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Bola

Sudah berakhirkah Era Sepp Blatter di FIFA?

10 Juni 2015   14:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:08 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti sudah diduga Joseph Blatter terpilih kembali sebagai Presiden FIFA. Ini berarti Blatter yang sejak 1998 sudah menjadi Presiden FIFA akan menjadi Presiden FIFA sampai dengan tahun 2019. Ini merupakan periode kelima bagi Blatter dalam menjabat kedudukan puncak dari FIFA.Dalam pemIlihan Presiden FIFA kali ini Blatter mengalahkan lawannya dari Jordania, Pangeran Ali bin al-Hussein, dengan poerbedaan suara mencolok, 60 suara. Di putaran kedua, Pangeran Ali bin Hussein mengundurkan diri. Blatter unggul mutlak karena didukung oleh negara-negara Asia dan Afrika. Sedangkan Pangeran Ali bin al-Hussein yang juga Wakil Presiden FIFA hanya didukung oleh negara-negara Eropa dan Australia. Ironi bagi Pangeran Ali bin al- Hussein yang dari Asia, tapi tidak didukung oleh negara-negara Asia.  Ada apa gerangan? Ini menimbulkan pertanyaan.

 

Kemenangan Blatter sendiri ditanggapi dingin oleh negara-negara Eropa, Sekjen Asosiasi Sepakbola Belanda (KNVB) mengatakan bahwa kemenangan Blatter karena negara-negara kecil di Asia dan Afrika. David Gill, Wakil Ketua FA, Asosiasi Sepakbola Inggria, bahkan memboikot dengan tidak menghadiri siding Komite Eksekutif FIFA. Suara lebih keras dari Eropa adalah dengan mempertimbangkan akan membentuk organisasi sepakbola Dunia tandingan sebagai reaksi dengan terpilihnya Blatter. Mengapa harus demikian ? Apa yang memotivasi semuanya ini? Apa apa di balik semua respons terhadap terpilihnya Blatter, terutama dari

 

negara-negara Eropa.

 

Yang mengagetkan semua pihak, setelah 4 hari terpilih menjadi Presiden FIFA, Sepp Blatter menyerahkan jabatan dan tanggung jawab sebagai Presiden FIFA.  Menilik gaya dan prilaku Blatter selama ini yang dikenal sebagai ahli strategi, keputusan Blatter membuat semua pihak bertanya-tanya baik dari pihak pendukung maupun dari pihak pengritiknya. Bagaimana tidak, dalam pernyataannya yang disampaikan dalam bahasa Perancis, Sepp Blatter tidak mengatakan kata-kata mengundurkan diri. Sementara itu, akan diadakan Kongres Luar Biasa FIFA untuk memilih Presiden Baru. Kongres tersebut baru akan dilaksanakan enam sampai 8 bulan mendatang. Dalam waktu yang relatif lama itu segala sesuatu bisa terjadi. Sulit membuat prediksi yang akurat.

 

Historis:

 

Sebelum mengambil kesimpulan mengapa Sepp Blatter terpilih kembali ada baiknya dilihat secara historis siapa-siapa saja yang pernah menduduki jabatan Presiden FIFA sejak didirikan pada 21 Mei 1904 di Rue Saint-Honore, Honore, Paris.

 

Pesiden FIFA pertama adalah Robert Guerin yang berkebangsaaan Perancis, menjadi Presiden FIFA hanya 2 tahun dari 1904 sampai 1906.Ia digantikan oleh Daniel Burley Woolfall dari Inggris, Presiden kedua FIFA ini menjabat selama 12 tahun, dari 2906 sampai 1918. Kemudian yang menjadi Presiden FIFA ketiga adalah sosok yang mencuatkan nama FIFA sebagai organisasi sepakbola Dunia. Pria berkebangsaan Perancis ini bernama Jules Rimet memerintah selama 33 tahun dari  1921 sampai 1954. Nama tokoh ini yang kemudian dipakai sebagai nama piala yang menjadi lambang supremasi sepakbola Dunia, Piala Jules Rimet. Piala yang akhirnya dimiliki oleh Brazil karena telah menjadi juara Dunia sebanyak 3 kali. Sayang piala tersebut hilang karena dicuri. Oleh karena tidak pernah ditemukan FIFA membuat piala Dunia baru seperti yang ada sampai sekarang.

 

Kedudukan Jules Rimet kemudian digantikan oleh  Rudolphe  Seeldraye dari Belgia.  Pria berkebangsaan Belgia ini hanya menjabat selama 1 tahun, dari 1954 sampai 1955. Ia digantikan karena meninggal dunia ketika menjabat Presiden FIFA. Oleh karena sangat pendek ketika memimpin FIFA, tokoh sepakbola ini tidak banyak dikenal.  Sebagai Presiden FIFA kelima adalah Arthur Drewry dari Inggris yang menjabat pimpinan puncak FIFA selama 6 tahun, dari  1955 sampai 1961. Tokoh yang terkenal, Stanley Rous, juga dari Inggris menjadi ditunjuk menjadi Presiden FIFA keenam. Stanley Rous memerintah selama 13 tahun dari 1961 sampai 1974.

 

Joao Havelange dari Brazil kemudian terpilih menggantik Stanley Rous sebagai Presiden FIFA pada tahun 1974.  Masa kekuasaan Havelange cukup lama, tercatat selama 24 tahun. Ia hanya kalah lama dari Jules Rimet, Tokoh kontroversial ini karena korupsi akhirnya digantikan oleh Joseph Sepp Blatter dari Swiss. Pris yang dikenal sebagai ahli dalam meracik strategi  menjadi Presiden FIFA sejak 1998.  Sebagai Presiden FIFA kedelapan Blatter yang lahir pada 10 Maret 1936 seperti diketahui terpilih kembali pada Kongress FIFA yang berlangsung di Basel, Swiss pada 29 Mei 2015.

 

Menilik kepada sejarah FIFA, terlihat bahwa dalam tubuh organisasi FIFA tidak ada pembatasan waktu untuk menjabat Presiden FIFA. Ini memang terdapat dalam Statuta FIFA.  Sebetulnya, Blatter ‘belum terlalu lama’ dalam menjabat Presiden FIFA, baru 17 tahun Karena Havelange ternyata memerintah selama 24 tahun. Bahkan Jules Rimet selama 33 tahun.  Namun sepakterjangnya Blatter yang mengundang kontroversi, antara lain tertutup dalam pengelolaan FIFA, membuat negara-negara Eropa gerah dengan Blatter. Blatter nasibnya mirip Havelange yang juga kontroversial. Belakangan terkuak kasus penyogokan dan korupsi yang menyangkut para petinggi FIFA.

 

Strategi:

 

Dengan landasan dari Statuta FIFA, bahwa one nation one vote,  jumlah anggauta FIFA menurut catatan terakhir 209 negara, maka tidak ada bedanya antara negara-negara besar seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Rusia dengan negara-negara kecil seperti Trinidad-Tobago, kepulauan Cayman, dan Maladewa.  Ini bisa dipahami karena yang menjadi basis adalah negara. Berbekal apa yang ada di Statuta inilah , Blatter menyusun strategi dengan merangkul negara-negara kecil.

 

Melalui timnya Blatter mendesain program pengembangan sepakbola di negara-negara kecil dan yang belum maju sepakbolanya. Mereka tersebar di kawasan Asia, Afrika, dan Karibia. Negara-negara ini yang kemudian menjadi tulang punggung pendukung Sepp Blatter yang juga didukung oleh Amerika Selatan.

 

Salah satu negara yang memperoleh bantuan FIFA adalah kepulauan Cayman. Untuk negara pulau yang kecil ini, FIFA telah memberikan bantuan sebesar 1.8 juta dollar Amerika Serikat untuk membangun 2 lapangan sepakbola Tujuh tahun kemudian, hanya beberapa minggu sebelum satu lapangan selesai, Asosiasi Sepakbola Cayman menerima bantuan sebesar 500.000 dollar A.S lagi.  Kali ini untuk membuat lapangan sintetis. Alasan resmi dari FIFA adalah karena rumput di negara ini tidak bisa tumbuh dengan baik dalam lingkungan tersebut oleh pengaruh kadar garamnya.

 

Selain lapangan sepakbola, FIFA juga membantu kepulauan Cayman membangun kantor pusat Asosiasi Sepakbola Cayman. Keseluruhan bantuan FIFA sejak tahun 2002 adalah sebesar  2.2 juta dollar A.S Tokoh sepakbola dari negara pulau ini adalah Jeffrey Webb. Pria yang sangat lama menjadi  Presiden dari The Cayman Islands Football Association ini akhirnya menjadi sohib dari Blatter. Sekadar catatan bahwa kepulauan Cayman yang ibu kotanya adalah Georgetown hanya berpenduduk 56.800 orang. Namun kepulauan Cayman dikenal sebagai off-shore financial centre yang konotasi negatifnya adalah tempat pencucian uang.

 

Alternatif:

 

Dengan Blatter menyerahkan kekuasaan, berbagai nama bermunculan seperti

 

Pangeran Ali bin Al-Hussein dan Michel Platini. Namun diprediksi Blatter tidak akan lepas tangan begitu saja. Bahkan sudah terdengar informasi bahwa Blatter akan mengurangi jumlah anggota Executive Committee. Selain itu terbetik berita bahwa kekuasaan tidak lagi di tangan Konfederasi melainkan akan dilimpahkan ke negara-negara anggota FIFA yang diwakili oleh asosiasi sepakbola masing-masing negara.

 

Pada saat yang hampir bersamaan dengan munculnya isu akan ada perubahan dalam mekanisme kerja FIFA, telah mengundang  Francisco Toro untuk mengungkapkan gagasannya dalam membersihkan FIFA. Toro yang merupakan penemu dari blog CaracasChronicles berpendapat bahwa sistem one nation one vote sudah waktunya diubah. Argumentasinya adalah bahwa sistem ini tidak adil. Jelasnya, bahwa 50 % dari hak suara berada pada 105 negara yang hanya mewakili 2.2 % dari para pemain sepakbola. Gagasannya adalah one player one vote. Dengan cara ini maka negara-negara besar dalam sepakbola yang banyak memiliki pemain sepakbola seperti Jerman, Inggris, Brazil, Perancis, Italia, Cina, Rusia, Amerika Serikat, Negeri Belanda, Afrika Selatan,  Jepang, dan Kanada secara bersama akan mewakili 60 % hak suara. Cara ini akan lebih masuk akal dan adil.

 

Masukan dan pandangan seperti ini bersama dengan makin kerasnya untuk melakukan perubahan, reformasi dan revitalisasi FIFA makin menguat. Sementara itu, pengungkapan kasus penyogokan dan korupsi semakin terbuka, termasuk yang menyangkut penunjukkan Afrika Selatan sebagai penyelenggara  Piala Dunia 2010. Bahkan boleh jadi akan terbuka tabir terbitnya keputusan penyelenggaraan Piala Dunia 2018 di Qatar dan Piala Dunia 2022 di Russia. Ini terlihat dengan sibuknya petinggi Qatar Al Thani dan Vladimir Putin pagi-pagi sudah mememberikan informasi kepada para pemangku kepentingan sepakbola.

 

Di luar semua ini, kita tidak boleh meremehkan Sepp Blatter yang terkenal ahli strategi dan licin. Agak sulit dipercaya bahwa Blatter akan menyerahkan begitu saja kekuasaan yang dimilikinya selama 17 tahun. Ada dugaan dia akan berusaha keras agar penggantinya kelak adalah orangnya dia sendiri atau orang yang dia percaya. Semua kemungkinan tetap terbuka termasuk kemungkinan gagalnya strategi Blatter untuk mempertahankan hegemoni. Bagaimanapun tidak sedikit pendukung Blatter, karena mereka merasa jasa Blatter tidak kecil dalam menyebarluaskan sepakbola, termasuk berkembangnya sepakbola wanita dan pertama kalinya penyelenggaraan turnamen olahraga tingkat Dunia di Afrika Selatan. Oleh karena itu kita tunggu saja ke mana akan bergulirnya bola. Bagi mayoritas penggemar sepakbola pasti mengharapkan munculnya FIFA baru dalam arti luas, termasuk membatasi masa jabatan Presiden hanya 2 periode atau 10 tahun.

 

 

 

Ahmad Fuad Afdhal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun