Mohon tunggu...
Fitriani
Fitriani Mohon Tunggu... Administrasi - -

-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toleransi dan Terapi Sebagai Solusi dalam Menyikapi Homoseksual

8 Maret 2018   07:45 Diperbarui: 8 Maret 2018   07:47 1568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu LGBT, bukan lagi menjadi isu baru yang berkembang di tengah masyarakat. Istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) telah dikenal masyarakat sebagai identitas seksual yang mengalami penyimpangan. Bagian dari LGBT yang saat ini sedang ramai disoroti oleh masyarakat adalah isu pelegalan LGBT yang berkenaan langsung dengan pelegalan pasangan homoseksual. Homoseksual menurut Deti Riyanti dan Sinly Evan Putra (2008) homoseksual dapat diartikan sebagai kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama

Homoseksual dalam pandangan masyarakat Indonesia, pada umumnya menganggap bahwa homoseksual yang melakukan pernikahan sejenis merupakan bentuk penyimpangan dari nilai dan adat yang dianut masyarakat. Sehingga tak sedikit dari pelaku homoseksual yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dari penduduk yang heteroseksual.

Walaupun Indonesia memang memiliki reputasi sebagai sebuah negara Muslim yang relatif moderat dan toleran, namun tetap ada beberapa konsekuensi untuk kaum homoseksual. Tak hanya agama Islam, bahkan agama lainya seperti Kristen Protestan maupun Katolik pada umumnya juga menetang homoseksual. Bahkan berbagai tindakan diskriminasi terang-terangan dan kekerasan karena homophobia, kerap dilakukan terutama oleh para para golongan fundamentalis Islam.

Salah satu golongan fundamentalis Islam yakni Front Pembela Islam (FPI) kerap terlibat dalam aksi penolakan homoseksual dan secara terbuka memusuhi dengan menyerang rumah atau tempat perkumpulan homoseksual yang diyakini mampu meruntuhkan nilai-nilai Islam. Salah satu aksi FPI dalam menolak homoseksual yakni membubarkan Diskusi Buku "Allah, Liberty and Love" karya Irsya Manji (Tokoh Lesbi dari Kanada) di Salihara. FPI menggeruduk  tempat tersebut sebab menilai bahwa diskusi ini dihadiri oleh pelaku Gay maupun Lesbi yang mengkampanyekan homoseksual atas nama agama.

Akan tetapi, bukan berarti semua golongan telah mencekal homoseksual. Buktinya, beberapa media telah mempekerjakan kaum homoseksual untuk melaksanakan acara reality show, dengan berperan sebagai host atau sekedar sebagai kru belakang panggung. Bahkan, pemerintah nasional telah memungkinkan komunitas homoseksual untuk membuka komunikasi dan mengatur acara-acara publik. Namun, adat istiadat, nilai-nilai sosial dan nilai agama secara konservatif cenderung mendominasi dalam masyarakat yang lebih luas. Homoseksualitas maupun cross-dressing tetap dianggap tabu, dan secara berkala menjadi sasaran hukum agama setempat atau kelompok main hakim sendiri oleh para fanatik.

Tak hanya penolakan dari masyarakat, bahkan keluarga maupun kerabat terdekat menjadi pelaku diskriminasi halus yang dilakukan kepada kaum homoseksual. Marginilisasi social berujung pengucilan kerap mereka dapatkan dari teman kerja, teman sekolah dan lingkungan sekitar. Ditambah lagi mereka juga mendapatkan hinaan, cibiran maupun olokan bagi mereka yang telah dilabeli sebagai homoseksual. Pandangan bahwa pelaku homoseksual dianggap sebagai aib dalam keluarga telah melekat di pikiran masyarakat.

Para kaum homoseksual juga sering mengalami pelecehan namun sulit untuk mendokumentasikannya karena korban menolak untuk memberikan pernyataan karena seksualitas mereka, dan ketakutan akan ketidakpercayaan masyarakat sebab cap negatif yang telah mereka terima. Sehingga dapat dikatakan tidak ada perlindungan bagi homoseksual, bahkan hukum pun tidak melindungi mereka dari diskriminasi atau pelecehan yang mereka dapatkan.

Hal ini terbukti dari data aruspelangi.org yang menunjukkan bahwa pada tahun 2013 setidaknya 83.2% waria di Indonesia pernah mengalami kekerasan psikis, 61.3% waria tersebut juga mengalami kekerasan fisik. 38.7% dari mereka pernah mengalami kekerasan ekonomi, 62.2% pernah mengalami kekerasan seksual, dan 56.3% dari mereka juga pernah mengalami kekerasan budaya yang meliputi penggusuran atau pengusiran secara paksa.

Fakta ini mengakibatkan, tidak sedikit dari pelaku homoseksual menyembunyikan identitas mereka demi mencegah steorotip negatif masyarakat. Dan akhirnya pelarian para pelaku homoseksual bersandar pada komunitas yang memiliki tujuan untuk melegalkan homoseksual. Adanya komunitas yang menjadi wadah untuk berkumpul dan membagikan informasi mengenai keadaan mereka yang terbatasi dalam mengekspresikan keinginan mereka. Tentunya hal ini membuat komunitas tersebut semakin kuat dan kampanye akan legalisasi homoseksual semakin meningkat.

Karena keberadaan komunitas homoseksual yang semakin kuat, maka saat ini kaum homoseksual lebih terbuka dalam mengungkapkan jati dirinya. Beberapa tahun terakhir ini propaganda homoseksual sudah terlihat secara terang-terangan, termasuk giatnya aktivis homoseksual menuntut legalisasi homoseksual demi merasakan perlakuan layak dari masyarakat Indonesia serta jaminan perlindungan hukum di Indonesia. Eksistensi homoseksual ini, tidak terlepas dari adanya beberapa negara yang telah melegalkan homoseksual dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sekarang ini, kaum homoseksual telah diakui haknya untuk mengadakan pernikahan dan diakui keberadaanya di negara-negara seperti Jerman, Vietnam, Perancis, Belanda, Belgia, Spanyol dan 15 negara lainnya. Bahkan baru-baru ini pada 26 Juni 2015, Amerika Serikat menerima keberedaan pernikahan sejenis dan menggemparkan beberapa Negara lain. Hingga saat ini tercatat 22 negara dari 204 negara yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melegalkan homoseksual.

Komunitas homoseksual bergerak semakin pesat dan tanpa disadari keberadaannya semakin kuat serta anggotanya semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dari laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dikutip dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengungkap jumlah lelaki berhubungan seks dengan lelaki (LSL) alias gay sudah mencapai angka jutaan. Berdasarkan estimasi Kemenkes pada 2012, terdapat 1.095.970 LSL baik yang tampak maupun tidak. Itu hanya untuk gay saja belum lagi yang lesbi, biseksual maupun transgender.

Peningkatan jumlah pelaku homoseksual juga tidak terlepas dari komunitas homoseksual yang berusaha untuk membangkitkan kesadaran para pelaku homoseksual untuk berani menyuarakan kehendaknya. Tidak sedikit kampanye tentang pelegalan homoseksual yang marak disebarkan melalui media social seperti Facebook, Twitter, Line, maupun media sosial lainnya. Tak hanya di media sosial, namun sudah banyak tulisan-tulisan yang disebarkan melalui blog atau media cetak berisi kampanye pelegalan homoseksual.

Maraknya kampanye yang mendukung homoseksual baik langsung maupun tidak langsung, tentunya akan memiliki efek negatif bagi masyarakat dan terutama anak yang merupakan pengguna media sosial terbanyak. Padahal telah disadari kampanye homoseksual lebih banyak dilakukan di media sosial. Hal yang dikhawatirkan adalah adanya peningkatan pelaku HOMOSEKSUAL dikarenakan adanya kampanye HOMOSEKSUAL.

Berdasarkan teori yang disampaikan dr. Fidiansjah (Wakil Seksi Religi Spiritualitas dan Psikiatri dari Perhimpunan Dokter Spasilalis Kejiwaan Indosenia (PDSKJI)) menyatakan bahwa penularan LGBT bukan melalui virus dan bakteri, tetapi dari konsep perubahan perilaku dan pembiasaan, yang disebut dengan teori perilaku, yaitu teori penularan dari konsep pembiasaan. Penularan dalam konteks perubahan perilaku dan pembiasaan yaitu dengan cara mengikuti satu pola, kemudian akan menjadi satu karakter, kemudian menjadi kepribadian, menjadi pembentuk kebiasaan, dan sebagainya, akhirnya menjadi penyakit. Dan pola penyebaran ini terjadi melalui kampanye homoseksual dan keberadaan komunitas homoseksual.

Dan jika mengacu pada teori dan kondisi saat ini maka kekhawatiran tersebut telah terjadi. Dari data yang dihimpun dari Survei AUSAID, sebanyak 700 atau 22% anak usia 16-20 tahun di Tanjungpinang dan Bintan yang memiliki perilaku seksual menyimpang yakni dengan menyukai sesama jenis. Peningkatan Penderita HIV homoseksual dari 6% (2008) menjadi 8% (2010) dan terus menjadi 12% (2014). Selanjutnya, terdapat komunitas Gay SD, Gay SMP, Gay SMA di twitter dengan jumlah pengikut ribuan. Pada saat yang sama, terdapat 119 Organisasi yang concern terhadap isu HOMOSEKSUAL di Indonesia dan jumlahnya terus meningkat (Sumber: UNDP, 2015).

Jika hal ini dibiarkan maka tidak akan menutup kemungkinan akan adanya peningkatan pelaku homoseksual. Sebab komunitas homoseksual bergerak secara terorganisir demi menyebarkan kampanye pelegalan homoseksual, dan jika hal ini terus berlangsung tentunya akan ada pelegalan homoseksual di Indonesia. Padahal, homoseksual telah melanggar nilai-nilai moral yang tertanam dalam masyarakat.

Selain dari sisi nilai masyarakat yang dilanggar, pelegalan homoseksual juga tidak diakui dalam hukum positif Indonesia. Beberapa aturan yang tidak mengakomodasi posisi homoseksual salah satunya yakni, Undang- undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengenal terminologi "kawin sejenis". Kemudian, UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan tidak mengenal homoseksual. Bahkan pada UU No. 4 Tahun 2008 tentang Pornografi memasukkan istilah "persenggamaan menyimpang" sebagai salah satu unsur pornografi. Dalam penjelasan pengertian yang termasuk "persenggamaan menyimpang" adalah "oral seks, anal seks, lesbian dan homoseksual".

Di samping itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang adopsi, secara tegas menetapkan bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa pasangan homoseksual. Bukan hanya itu, dalam Peraturan Menteri Sosial tahun 2012 diatur bahwa orang yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial, di antaranya mereka yang karena perilaku seksualnya menjadi terhalang dalam kehidupan sosial, seperti; waria, pria gay dan wanita lesbian.

Bahkan berbagai penelitian pun menunjukkan bahwa peningkatan penyakit seksual menular di Indonesia diakibatkan oleh adanya hubungan seksual sesama jenis, terkhusus bagi para pelaku homoseksual yang melakukan seks melalui dubur. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dipublikasikan di International Journal of Epidemiology menyebutkan bahwa seks anal 18 kali lebih berisiko menularkan HIV/AIDS dibandingkan seks vagina.

Dan berdasarkan data dari Kemenkes menunjukkan bahwa peningkatan penyakit seksual menular seperti HIV/AIDS maupun Sifilis, ditularkan paling banyak melalui hubungan seks dengan alat kelamin dan dubur. Sehingga yang ditakutkan tidak hanya persoalan meningkatnya perilaku homoseksual yang melanggar nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat akan tetapi peningkatan penyakit seksual yang menular ditakutkan semakin meningkat.

Menimbang dari berbagai efek yang dapat terjadi jika pelegalan homoseksual, maka perlu ada penegasan bahwa segala perilaku homoseksual tidak boleh diakui sebagai hak. Oleh karena itu, perlu ada perubahan akan pandangan masyarakat tentang homoseksual. Sesuai dengan pandangan Komisaris tinggi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), telah menegaskan bahwa untuk hak asasi manusia, individu homoseksual berhak atas perlindungan yang sama seperti orang lain, termasuk tempat berlindung dari "penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang," menurut laporan WHO.

Bagaimanapun kaum homoseksual tetaplah merupakan warga Negara Indonesia, dimana tidak boleh ada diskriminasi dalam marginilisasi pergaulan, apalagi menghakimi homoseksual dikarenakan orientasi seksualnya. homoseksual itu sendiri juga merupakan manusia yang menjadi karya Tuhan, yang perlu dilakukan adalah dengan membatasi perilaku homoseksual untuk melakukan hubungan seks sesama jenis, tanpa harus melukai atau menciderai sesama manusia.

Maka solusi alternatif dalam menindaklanjuti perilaku homoseksual yakni melakukan terapi terhadap identitas seksual. Dengan mendampingi pelaku dalam menerima identitas seksualnya sekaligus memberikan pengajaran untuk tidak mengulangi penyimpangan seksual. Terapi yang dimaksud bukan terapi konversi yang ditentang oleh American Psychiatric Association (APA) sebab terapi ini mampu membahayakan pasien dan memberikan dampak berupa mual, muntah, atau kelumpuhan.

Namun terapi yang dimaksud adalah berupa pendampingan dengan menggali penyebab awal sehingga pelaku tersebut memilih homoseksual, sehingga ketika mengetahui penyebab maka psikolog nantinya memberikan dukungan demi mengubah pola piker pelaku homoseksual untuk kembali menjadi heteroseksual. Tentu dalam menyikapi homoseksual dengan memberikan pemidanaan klasik seperti penjara tentunya tidak akan menjamin bahwa pelaku homoseksual tidak lagi mengulangi perbuatannya untuk melakukan hubungan seksual sesama jenis. Selain itu melakukan rehabilitasi terhadap homoseksual memungkinkan untuk dapat dilaksanakan, hanya saja pengubahan homeseksual menjadi heteroseksual membutuhkan waktu lama.

Tak sedikit penelitian yang menilai bahwa homoseksual tidak dapat dianggap sebagai penyakit, kelainan, ataupun gangguan kejiwaan. Salah satunya adalah pendapat dari Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalis yang amat legendaris di bidang ilmu psikologi, pada tahun 1935 menyatakan homoseksualitas bukan lah penyakit dan tak mendukung usaha-usaha penyembuhan terhadapnya. Namun, bukan berarti seorang homoseksual tidak dapat kembali normal. Sebab, tidak sedikit dari pelaku homoseksual yang telah disembuhkan melalui konsultasi identitas seksual dengan dokter. Tentunya terapi ini harus disertai dengan keinginan kuat dari pelaku homoseksual serta pendampingan intensif dari ahli kesehatan.

Sehingga legalisasi homoseksual tak perlu dilaksanakan, namun bukan berarti pemidanaan homoseksual juga diperbolehkan. Akan tetapi, dengan memberikan kesempatan bagi pelaku homoseksual untuk tidak melakukan hubungan sesama jenis melalui terapi identitas seksual.  Pemidanaan modern dengan jalur rehabilitasi dinilai lebih etis dibandingkan pemidanaan seperti penjara yang tidak memberikan kepastian bahwa pelaku tidak lagi mengulangi perbuatannya. Dengan terapi ini, diharapkan tidak ada lagi kaum homoseksual yang bingung akan identitas sosialnya dan lebih terbuka akan masalah orientasi seksual yang dihadapinya.

Demi menerapkan adanya kepastian hukum maka perlu ada peran penegak hukum dalam penguatan strutur internal dengan memberikan surat edaran (seperti dalam penanganan hate speech) dalam penangan pelaku homoseksual yang tertangkap tangan melakukan hubungan sesama jenis. Penindakan yang dilakukan bukan dengan pemidanaan yang berujung pada penahanan di pernjara akan tetapi sesuai dengan solusi untuk memberikan kesempatan untuk melakukan terapi orientasi seksual.

Pihak lain seperti masyarakat maupun kerabat terdekat harus menerapkan toleransi terhadap pelaku homoseksual dengan memberikan dukungan akan perubahan orientasi seksualnya serta memberikan kesadaran akan bahaya homoseksual tanpa mencela dan menciderai mereka. Karena yang dikhawatirkan ketika homoseksual semakin ditentang tentunya para pendukung homoseksual akan semakin gencar untuk melakukan propaganda legalisasi homoseksual.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun