Mohon tunggu...
Fathaniah Filza
Fathaniah Filza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fathaniah Filza Yusri

jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kenali Gangguan Berbahasa pada Anak Autism Spectrum Disorder (ASD) dan Cara Penanganannya

10 Januari 2023   00:52 Diperbarui: 10 Januari 2023   01:00 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAHASA SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI

Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting bagi manusia. Berbahasa dengan baik sangat diperlukan untuk kelancaran dalam berkomunikasi. Perkembangan Bahasa pada anak menjadi tolak ukur terhadap pengembangan Bahasa yang normal sehingga dapat berinteraksi dengan baik di dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, kelancaran berkomunikasi pada anak sangat mempengaruhi kegiatan sosial pada anak. Begitu juga dengan bidang Pendidikan, dengan memiliki kemampuan berbahasa, anak akan mengerti dan memahami materi yang disampaikan oleh guru dan mampu menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, dalam perkembangan berbahasa, pasti terdapat gangguan berbahasa. Pada artikel ini, penulis mengambil subjek gangguan berbahasa pada anak penderita autisme. Perkembangan Bahasa pada anak sangat berpengaruh pada landasan neurologis yang dimiliki. Pada anak penderita autisme, terdapat gangguan pada neurologisnya. Anak autis memiliki karakter yang unik dan berbeda dari anak lain. Anak penderita autisme memiliki perilaku yang berlebihan (exessive) atau perilaku yang berkekurangan (deficit). Salah satu perilaku berkekurangan itu adalah dalam hal berbahasa. Sehingga dapat menghilangkan fungsi interaksi dan komunikasi pada anak tersebut. Secara nyata anak penderita autis dapat dideteksi dari banyak indikator, antara lain sulit dalam berkomunikasi padahal komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Oleh karena itu pada artikel ini, penulis akan menganalisis bagaimana gangguan berbahasa pada anak penderita autism, baik dari segi penyebab hingga dampak yang didapatkan oleh anak penderita autism tersebut.

Kebiasaan pada anak penderita autis sangat terganggu secara fisik maupun mental, bahkan seringkali menjadi terangsingkan diantara anak-anak dari lingkungannya sendiri dengan berbagai gangguan mental dan perilaku yang dimilikinya. Perilaku itu biasanya seperti tidak mau diatur, perilaku tidak terarah (mondar-mandiri, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, lompat-lompat, ngepak-ngepak, teriak-teriak, agresif, menyakiti diri sendiri, tantrum (mengamuk), sulit konsentrasi, perilaku refetitif. Melihat keadaan ataupun kondisi yang dialami oleh anak penderita autism seperti itu, pada hakikatnya anak penderita autis juga memerlukan pendidikan sebagaimana anak normal lainnya, karena setiap anak itu pasti memiliki potensi untuk dikembangkan, tidak terkecuali pada anak penderita autisme tersebut. Potensi-potensi anak tersebut akan dapat dikembangkan semaksimal mungkin apabila mendapat penanganan yang baik dan tepat.


PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK

Secara garis besar, perkembangan bahasa terbagi atas dua periode, yaitu: periode Pralinguistik (0-1 tahun) dan Linguistik (1-5 tahun). Pada periode linguistik inilah anak mulai mengucapkan kata-kata pertama. Menurut (Fatmawati, 2015:70-71) stadia perkembangan awal ujaran pada anak terbagi atas 3 tahap, yaitu: (a) stadia penamaan atau fase satu kata (Holofrase), (b) stadia telegrafis/fase lebih dari satu kata, (c) stadia transformasional dan morfemis/fase diferensiasi. Selanjut Natsir (2017:2-7) menjelaskan bahwa tahapan pemerolehan bahasa anak terbagi atas empat, yaitu: (a) tahap pengocehan (babbling stage), (b) tahap satu kata satu frasa (holophrastic stage), (c) tahap dua kata satu frasa, (d) tahap menyerupai telegram.

Pada tahap perkembangan Bahasa pada anak, tidak sedikit anak yang mengalami keterlambatan berbicara. Salah satunya pada anak yang terdapat gangguan autistic disorder. Anak dapat dikatakan terlambat berbicara apabila tingkat kemampuan berbahasanya dibawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak sebayanya. Hal ini dapat kita ketahui berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Atchinson tentang tahap kemampuan Bahasa anak bahwa anak usia 5 tahun hingga 10 tahun sudah dapat berbicara dengan kontruksi yang jarang dan kompleks hingga tuturan yang matang.

GANGGUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTISME

Autisme atau yang disebut pula Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu gangguan perkembangan saraf yang terus terjadi terhadap kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya (American Psychiatic Assosiation, 1994 dalam Rakhmanita, 2020). Kekurangan yang dimiliki oleh anak autisme ini dapat mengakibatkan gangguan dalam kemampuan berbahasa dan bagaimana penderita berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Di samping mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi saraf, secara umum anak autis mengalami kelainan dalam berbicara. Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal yang menonjol yang biasa diperlihatkan kebanyakan anak autis yaitu dalam perkembangan kognitif dan bahasa serta menampilkan perilaku tertentu yang aneh-aneh, seperti, tiba-tiba berteriak atau tertawa tanpa sebab yang jelas, memukul benda-benda hingga bunyi, dan memperlihatkan ketertarikan yang tidak biasa pada objek-objek tertentu.

Anak autis memiliki karakter yang unik berbeda dengan anak normal pada umumnya. Adapun karakteristik anak autis menurut (Kosasih, 2012:45) dapat dilihat berdasarkan jenis masalah serta gangguan yang dialami penderita yaitu: (1) Masalah dalam bidang komunikasi, (2) Masalah dalam bidang interaksi sosial, (3) Masalah dalam bidang sensoris, (4) Masalah dalam bidang pola bermain, (5) Masalah dalam bidang perilaku, dan (6) Masalah dalam bidang emosi.

Patricia Rodier, seorang ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa penyebab gejala autisme dan cacat lahir itu karena terjadinya kerusakan jaringan otak yang terjadi sebelum 20 hari pada saat pembentukan janin. (Menurut Handojo, 2004 : 15) menyatakan penyebab autisme dapat terjadi pada saat kehamilan. Pada tri semester pertama, faktor pemicu biasanya terdiri dari ; infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dsb), keracunan logam berat, zat aditif (MSG, pengawet, pewarna), maupun obat-obatan lainnnya. Selain itu, tumbuhnya jamur berlebihan di usus anak sebagai akibat pemakaian antibotika yang berlebihan, sehingga menyebabkan kebocoran usus (leaky-gut syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten.

Terdapat tiga tempat yang berbeda dengan mekanisme yang berbeda yang dapat menyebabkan autisme, Secara neurobiologis yaitu: 1) Gangguan fungsi mekanisme kortikal menyeleksi atensi, akibat adanya kelainan pada proyeksi asending dari serebelium dan batang otak, 2) Gangguan fungsi mekanisme limbic untuk mendapatkan informasi, misalnya daya ingat., 3) Gangguan pada proses informasi oleh korteks asosiasi dan jaringan pendistribusiannya. (Handojo, 2004 : 14).

Dikutip dari penelitian terdahulu, yang meneliti anak penderita autism diantaranya: Pertama, Penelitian Risma Martalena Tarigan (2019) pada anak autis berinisial B, gangguan berbahasa dapat terlihat jelas, pada gangguan dalam memperoleh bahasa. Sistem saraf dan sistem otak yang dimiliki pada anak untuk memperoleh bahasa, tetapi pada kasus anak autis pemerolehan bahasa tersebut terkendala. Salah satu kendala yaitu lambat dan kesulitan dalam memperoleh sintaksis dari ucapan yang didengarnya. Kedua, Penelitian Elfiadi, dkk. (2020) pada anak penderita autis di TK Pertiwi Lhokseumawe yang bernama, Muhammad Azka Rayyan, kelas B6 yang usia 6 tahun. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru di TK Pertiwi Lhokseumawe, bahwa anak tersebut lebih sering menyenderi, dan enggan untuk berkomunukasi dengan teman-teman sekitarnya. Kemudian jika ia diganggu teman-temannya, ia sering mengamuk dan berteriak sambil mengulang kalimat yang ia dengar. Gangguan berbahasas yang dialami azka yaitu dengan penguasaan bahasa yang tertunda, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetisi. Ketiga, Penelitian Des Maninda Chornelya Dewi (2014) seorang siswa berinisial AF di SD Negeri Giwangan. Berdasarkan hasil wawancara penelita terhadap guru AF, kemampuan berbahasa yang dialami AF seorang penderita autis masih sangat terbatas, nada bicaranya masih terputus putus disetiap kata-katanya. Dan Sebagian besar yang kata yang ucapkannya hanya sebatas meniru ucapan orang lain.

 

PENANGANAN GANGGUAN BERBAHASA PADA ANAK PENDERITA AUTISME

Menurut berbagai penelitian, autisme tidak bisa disembuhkan secara total. Namun, gejala-gejala pada anak penderita autisme dapat dikurangi dengan metode yang sistematis dan terstruktur disertai dengan pembiasaan perilaku belajar pada anak tersebut. Dengan begitu gejala dan gangguan pada autisme dapat diminimalisasi. Salah satu cara yang dapat meminimalisasikan tersebut ialah dengan terapi. Adapun tujuan dari terapi yang dapat dilakukan pada anak autis adalah untuk mengurangi perilaku yang tidak normal, meningkatkan kemampuan belajar, dan meningkatkan perkembangan tumbuhnya agar kemampuannya sesuai dengan usia anak.

Terapi yang dapat digunakan untuk memperbaiki gangguan berbahasa atapun komunikasi pada penderita autisme adalah dengan terapi komunikasi. Menurut (Subyantoro, 2011), terapi komunikasi tidak mengharuskan agar anak dapat berbicara, tetapi lebih dengan kemampuan berkomunikasinya terhadap orang lain. Solusi lainnya yang dapat dilakukan untuk menangani penderita autisme adalah dengan melakukan intervensi dini yang ditunjang dengan diet CFGF (Casein Free Gluten Free), yaitu diet bagi autise dengan tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung kasein dan gluten. Hal ini dapat mendukung proses perbaikan pada kondisi psikologi, neurologis, fisiologis, dan endokrin.

Terdapat beberapa terapi yang dapat membantu proses penanganan gangguan berbahasa dan berbicara. Salah satu terapi tersebut yang dapat diterapkan bagi penderita autisme yaitu Auditory Integration Training (AIT), yaitu terapi penunjang dengan piranti musik. Keberhasilan terapi yang menggunakan musik untuk melatih otot telinga berefleksi dan meningkatkan kemampuan otak untuk menyaring suara yang masuk dapat kita lihat dari perkembangan anak dalam memproses informasi auditorinya. (Moor, 2008 dalam Indah 2011).

Terdapat tahapan-tahapan dalam terapi wicara untuk menangani anak penderita autism, yaitu sebagai berikut:

  • Melakukan pemeriksaan pada organ-organ wicara. Orang tua harus memeriksa ke dokter organ-organ yang terdapat di mulut penderita, seperti lidah, langit-langit.
  • Memeriksa susunan gigi pada anak. Karena susunan gigi pada anak penderita autisme sangat mempengaruhi pengucapan fonem yang dibunyikan.
  • Memperhatikan makanan yang berbahaya untuk anak penderita autis.

DAFTAR PUSTAKA

Atchinson dalam A. Kholid dan Andika Dutha Buchari. 2009. Dasar-Dasar
            Psikoliguistik. Bandung: UPI Press.

Dewi, Des Maninda Chornelya. 2014. Identifikasi kemampuan berbahasa anak
            autis di sekolah inklusif sd negeri giwangan, yogyakarta. Yogyakarta:
            Skripsi.

Elfiadi, dkk. 2020. Penanganan anak autis studi kasus anak autis di tk pertiwi
            lhokseumawe. Lhokseumawe: Jurnal Saree.

Hunaifi, Ais dan Febrita Ardianingsih. 2014. Metode Hearing Execute Berbabasis
            Sensori Integrasi Terhadap Bahasa Reseptif Anak Autis. Surabaya: Jurnal
            Pendidikan Luar Biasa.

Mansur. 2016. Hambatan komunikasi anak autis. Kendari: Al-Munzir.

Masitoh. 2019. Gangguan bahasa dalam perkembangan bicara anak. STKIP
            Muhammadiyah Kota Bumi: Jurnal Elsa.

Nurhidayati, Rahma dan Rosmawaty Harahap. Perkembangan Kemampuan
            Berbahasa Pada Anak Autisme. Medan: UNIMED.

Pujiati, Tri dan Dien Mardiana. 2018. Gangguan Berbahasa Pada Anak dengan
            Ciri Attention Deficit Hiperactivity Disorder. Jakarta: Dialektika.

Rakhmanita, Elsa. Kajian Psikolinguistik terhadap Gangguan Berbahasa Autisme.
            Surabaya: Universitas Sebelas Maret.

Suteja, Jaja dan Ruwenti Wulandari. 2013. Bentuk dan model terapi terhadap anak-
            anak penyandang autisme (keterbelakangan mental). Jurnal Scientiae
            Educatia.

Tarigan, Risma Martalena. 2019. Pemerolehan Sintaksis Pada Anak Autisme.
            Medan: JPBSI.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun