Anak autis memiliki karakter yang unik berbeda dengan anak normal pada umumnya. Adapun karakteristik anak autis menurut (Kosasih, 2012:45) dapat dilihat berdasarkan jenis masalah serta gangguan yang dialami penderita yaitu: (1) Masalah dalam bidang komunikasi, (2) Masalah dalam bidang interaksi sosial, (3) Masalah dalam bidang sensoris, (4) Masalah dalam bidang pola bermain, (5) Masalah dalam bidang perilaku, dan (6) Masalah dalam bidang emosi.
Patricia Rodier, seorang ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa penyebab gejala autisme dan cacat lahir itu karena terjadinya kerusakan jaringan otak yang terjadi sebelum 20 hari pada saat pembentukan janin. (Menurut Handojo, 2004 : 15) menyatakan penyebab autisme dapat terjadi pada saat kehamilan. Pada tri semester pertama, faktor pemicu biasanya terdiri dari ; infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dsb), keracunan logam berat, zat aditif (MSG, pengawet, pewarna), maupun obat-obatan lainnnya. Selain itu, tumbuhnya jamur berlebihan di usus anak sebagai akibat pemakaian antibotika yang berlebihan, sehingga menyebabkan kebocoran usus (leaky-gut syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten.
Terdapat tiga tempat yang berbeda dengan mekanisme yang berbeda yang dapat menyebabkan autisme, Secara neurobiologis yaitu: 1) Gangguan fungsi mekanisme kortikal menyeleksi atensi, akibat adanya kelainan pada proyeksi asending dari serebelium dan batang otak, 2) Gangguan fungsi mekanisme limbic untuk mendapatkan informasi, misalnya daya ingat., 3) Gangguan pada proses informasi oleh korteks asosiasi dan jaringan pendistribusiannya. (Handojo, 2004 : 14).
Dikutip dari penelitian terdahulu, yang meneliti anak penderita autism diantaranya: Pertama, Penelitian Risma Martalena Tarigan (2019) pada anak autis berinisial B, gangguan berbahasa dapat terlihat jelas, pada gangguan dalam memperoleh bahasa. Sistem saraf dan sistem otak yang dimiliki pada anak untuk memperoleh bahasa, tetapi pada kasus anak autis pemerolehan bahasa tersebut terkendala. Salah satu kendala yaitu lambat dan kesulitan dalam memperoleh sintaksis dari ucapan yang didengarnya. Kedua, Penelitian Elfiadi, dkk. (2020) pada anak penderita autis di TK Pertiwi Lhokseumawe yang bernama, Muhammad Azka Rayyan, kelas B6 yang usia 6 tahun. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru di TK Pertiwi Lhokseumawe, bahwa anak tersebut lebih sering menyenderi, dan enggan untuk berkomunukasi dengan teman-teman sekitarnya. Kemudian jika ia diganggu teman-temannya, ia sering mengamuk dan berteriak sambil mengulang kalimat yang ia dengar. Gangguan berbahasas yang dialami azka yaitu dengan penguasaan bahasa yang tertunda, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetisi. Ketiga, Penelitian Des Maninda Chornelya Dewi (2014) seorang siswa berinisial AF di SD Negeri Giwangan. Berdasarkan hasil wawancara penelita terhadap guru AF, kemampuan berbahasa yang dialami AF seorang penderita autis masih sangat terbatas, nada bicaranya masih terputus putus disetiap kata-katanya. Dan Sebagian besar yang kata yang ucapkannya hanya sebatas meniru ucapan orang lain.
Â
PENANGANAN GANGGUAN BERBAHASA PADA ANAK PENDERITA AUTISME
Menurut berbagai penelitian, autisme tidak bisa disembuhkan secara total. Namun, gejala-gejala pada anak penderita autisme dapat dikurangi dengan metode yang sistematis dan terstruktur disertai dengan pembiasaan perilaku belajar pada anak tersebut. Dengan begitu gejala dan gangguan pada autisme dapat diminimalisasi. Salah satu cara yang dapat meminimalisasikan tersebut ialah dengan terapi. Adapun tujuan dari terapi yang dapat dilakukan pada anak autis adalah untuk mengurangi perilaku yang tidak normal, meningkatkan kemampuan belajar, dan meningkatkan perkembangan tumbuhnya agar kemampuannya sesuai dengan usia anak.
Terapi yang dapat digunakan untuk memperbaiki gangguan berbahasa atapun komunikasi pada penderita autisme adalah dengan terapi komunikasi. Menurut (Subyantoro, 2011), terapi komunikasi tidak mengharuskan agar anak dapat berbicara, tetapi lebih dengan kemampuan berkomunikasinya terhadap orang lain. Solusi lainnya yang dapat dilakukan untuk menangani penderita autisme adalah dengan melakukan intervensi dini yang ditunjang dengan diet CFGF (Casein Free Gluten Free), yaitu diet bagi autise dengan tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung kasein dan gluten. Hal ini dapat mendukung proses perbaikan pada kondisi psikologi, neurologis, fisiologis, dan endokrin.
Terdapat beberapa terapi yang dapat membantu proses penanganan gangguan berbahasa dan berbicara. Salah satu terapi tersebut yang dapat diterapkan bagi penderita autisme yaitu Auditory Integration Training (AIT), yaitu terapi penunjang dengan piranti musik. Keberhasilan terapi yang menggunakan musik untuk melatih otot telinga berefleksi dan meningkatkan kemampuan otak untuk menyaring suara yang masuk dapat kita lihat dari perkembangan anak dalam memproses informasi auditorinya. (Moor, 2008 dalam Indah 2011).
Terdapat tahapan-tahapan dalam terapi wicara untuk menangani anak penderita autism, yaitu sebagai berikut:
- Melakukan pemeriksaan pada organ-organ wicara. Orang tua harus memeriksa ke dokter organ-organ yang terdapat di mulut penderita, seperti lidah, langit-langit.
- Memeriksa susunan gigi pada anak. Karena susunan gigi pada anak penderita autisme sangat mempengaruhi pengucapan fonem yang dibunyikan.
- Memperhatikan makanan yang berbahaya untuk anak penderita autis.
DAFTAR PUSTAKA