Tanpa di sangka begitu kami berlima mendekati kawah aktif sekitar 5 meter (dari bibir kawah) dan mau turun ke arah Simabua sekitar jam 9 pagi lewat sedikit, terdengar suara gemuruh dalam kawah yang keras dan Marapilangsungmeletus mengeluarkan asap hitam yang membumbung tinggi disertai batu-batu panas terlontar dari dalam kawahnya.
Kami semua terkejut tidak tahu harus berkata apa, yang saya rasakan seperti kiamat saja rasanya saat itu, Â sampai terdengar bunyi batu jatuh ke cadas baru kami tersadar dan lari kembali menuju puncak merpati.
Di Puncak Merpati ini kami berlima berlindung dengan carrier (ransel) di kepala, dan di bawah kami sekitar 10 -- 15 meter dari Puncak Merpati Abel Tasman dan Sulastri berlindung, dan yang lain berlindung tidak begitu jauh dari mereka.
Setelah Marapi tidak mengeluarkan batu lagi dan asapnya melebar, langsung kami berlima lari turun dari Puncak Merpati dan terdengar suara Sulastri minta tolong, Â " Da tolong ... awak kanai da ",katanya. (Artinya " Uda, tolong .... saya kena Da"). Maka waktu itu di tolong sama Da Jhon.
Dan kami turun agak menjauhi Puncak Merpati dan Sulastri bercerita pada kami bahwa dia sempat terkena pecahan batu di bahunya dia juga sempat pingsan sebentar sekitar beberapa detik dan waktu dia sadar dia sempat melihat Abel Tasman sudah terkapar di cadas.
Akhirnya saya sama Us yang agak pincang kakinya akibat terkilir naik lagi ke puncak merpati untuk melihat Abel Tasman.
Ternyata Abel Tasman sudah meninggal di tempat karena batu tepat mengenai kepalanya sebagian dan giginya juga hilang saya lihat, dan anehnya kejadian baru sebentar sudah ada beberapa ekor lalat hijau mengelilingi darah di kepalanya. Karena tidak tahan melihat itu saya mengambil kantung asoy (kresek:red) untuk menutupi kepalanya dan kami pun terpaksa meninggalkan Abel Tasman untuk membantu teman yang terluka.
Kalau masih hidup waktu itu kami akan berusaha untuk membantunya, tapi Tuhan berkata lain.
Teman yang terluka ditambah lagi bule yang kami temui dicadas satu orang patah kaki terpaksa dibidai dan tangannya berdarah terluka, dan cewek bule tangannya terkelupas kena asap panas karena mereka terlalu dekat dengan kawah waktu letusan itu, jadi kami yang masih sehat membantu mereka menuruni cadas.
Lalu kami membagi tenaga 2 orang disuruh dulu turun melapor kebawah secepatnya untuk minta bantuan, dan sisanya berusaha turun sambil tolong menolong. Sampai di bawah cadas disitu kami bertemu dengan anak (KPA) Suripala Bukittinggi, Â yang sengaja naik ke atas Marapi untuk memberikan bantuan.
Sampai di bawah cadas Sulastri telah kehilangan tenaganya dan terpaksa dibuat tandu dan di tambah bantuan anak Suripala kami membawanya turun ke bawah. Letusan Marapi waktu itu cukup besar dan abunya sampai di Bukittinggi dan cuaca kelam waktu itu karena abunya.