Mohon tunggu...
Firman
Firman Mohon Tunggu... Freelancer - biasalah

Hanya akan menulis jika ingin. Lebih sering resah karena mendapati ukuran celana dan bajunya bertambah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pandangan Anak Tunggal: Berdiskusi Sebelum Hamil tentang Jumlah Anak Itu Penting!

18 Maret 2021   15:15 Diperbarui: 19 Maret 2021   11:44 1588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bermain dengan anak tunggal. Sumber: shutterstock via KOMPAS.COM

Banyak sekali hal-hal penting yang patut didiskusikan oleh pasangan suami istri sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Sebelum hamil, berdiskusi tentang berapa jumlah anak yang akan dimiliki kelak menjadi salah satu poin penting dalam kehidupan berkeluarga.

Biasanya pertimbangan soal berapa jumlah anak yang akan dimiliki dalam satu keluarga ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor ekonomi, faktor usia, faktor pola pengasuhan anak, faktor kesehatan, dan lain-lain.

Ada beberapa orangtua yang hanya dikaruniai anak satu-satunya. Hal itu bisa memang karena keputusan bersama atau ada hal-hal lain seperti faktor kesehatan dan usia. 

Jika memang nantinya hanya memiliki anak tunggal, orangtua perlu melihat juga dari sudut pandang anak agar bisa menentukan pola asuh yang tepat. Karena otomatis tanggung jawab anak tunggal akan lebih berat dan pola asuhnya pun harus dibedakan dengan anak yang memiliki saudara.

Saya akan mengambil contoh riil dari pengalaman hidup pribadi saya yang terlahir sebagai anak tunggal. Karena faktor kesehatan, orangtua saya baru bisa memiliki anak (yang itu adalah saya) setelah usia pernikahan mereka berjalan kurang lebih 12 tahun. Faktor inilah yang menyebabkan saya juga tidak akan bisa memiliki adik lagi.

Baca Juga: Pernah Kandas Menjalani LDR, Ternyata Ini Kuncinya!

Pandangan dari Seorang Anak Tunggal

Terlahir sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam sebuah keluarga tentu sudah secara otomatis memberikan banyak tanggung jawab yang harus saya pikul. Harapan kedua orangtua saya yang seabrek itu saya bawa sendiri tanpa bisa dibagi kepada saudara yang lain.

Dari segi pendidikan. Ini mungkin dialami semua orang, bahwa orangtua ingin anaknya mengenyam pendidikan setinggi mungkin, tidak hanya terpaku pada raihan pendidikan orangtuanya. Hal ini terwujud dari cara bapak saya mendidik.

Bapak saya termasuk orangtua yang keras. Sedari kecil, bapak saya sangat disiplin terkait masalah pendidikan ini. Ada aturan ketat tak tertulis di rumah yang mengatakan, "selepas waktu maghrib sampai pukul 21.00, itu berarti saya belum boleh berhenti belajar."

Ketika ada di usia sekolah dasar saya merasa seperti mendapat tekanan untuk menjadi anak yang pintar. Karena anak yang pintar nanti akan membawanya menjadi sukses dan bisa membuat orangtua bahagia.

Saya belakangan baru tahu sifat keras bapak saya ini diturunkan dari kakek saya, orangtua dari bapak saya. Cara mendidik yang cukup keras, sistem disiplin yang diterapkan di rumah terkait jam belajar juga dialami bapak saya sewaktu ia kecil. Terlebih tekanan dari kakek saya bahwa anaknya harus masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan kelak menjadi guru.

Ilustrasi merawat orangtua yang sedang sakit. Sumber: merdeka.com
Ilustrasi merawat orangtua yang sedang sakit. Sumber: merdeka.com
Dari segi tanggung jawab seorang laki-laki. Terlahir sebagai laki-laki saja sudah otomatis mendapat tanggung jawab menjadi tulang punggung keluarga nantinya, bagaimana jika ditambah lagi laki-laki itu adalah anak tunggal? 

Tentu saja tanggung jawabnya akan menjadi semakin besar. Membawa harapan untuk bisa sukses dan bisa membahagiakan orangtua di kemudian hari menjadi tanggung jawab terberat.

Seorang anak tunggal harus memikul tanggung jawab itu seorang diri. Akibatnya ia akan menjadi seseorang yang perfeksionis tapi juga sangat mudah tertekan.

Selain tanggung jawab untuk bisa sukses dan membuat orangtua bahagia juga masih ada tanggung jawab lain, yaitu merawat kedua orangtua ketika sakit.

Sebagai anak tunggal, merawat orangtua yang sedang sakit tentu saja sudah menjadi kewajibannya. Ia akan dengan sekuat tenaga berjuang memberikan perawatan dan pelayanan terbaik agar orangtuanya bisa terbebas dari segala macam penyakit. Mulai dari mengurus segala keperluan makan, obat-obatan, vitamin, sampai administrasi rumah sakit jika memang diperlukan perawatan khusus.

Hal inilah yang sedang saya rasakan ketika beberapa hari lalu kedua orangtua saya dinyatakan positif Covid-19. Sebagai anak tunggal, saya menginginkan kedua orangtua saya mendapat perawatan terbaik. Tentunya hal ini juga tak lepas dari banyaknya orang di sekitar saya yang membantu agar orangtua saya bisa mendapat perawatan yang baik.

Merepotkan orang lain mungkin adalah istilah yang bisa menggambarkan situasi saya sebagai anak tunggal ketika dihadapkan dengan situasi yang dilematis. 

Ketika dalam keadaan seperti ini, terlintas di pikiran saya jika saja saya memiliki adik, pasti tugas ini akan terasa lebih ringan dan mudah. Paling tidak, jika saja saya punya adik, saya tak perlu membikin repot orang lain.

Pahami Karakteristik Anak Tunggal

Ilustrasi anak tunggal. Sumber: shutterstock via KOMPAS.COM
Ilustrasi anak tunggal. Sumber: shutterstock via KOMPAS.COM
Dikutip dari laman theasianparent, anak tunggal cenderung akan memiliki sifat pemalu, sensitif, egois, perfeksionis, dan mudah tertekan. Ini adalah risiko yang perlu diketahui oleh calon orangtua. Maka dari itu diperlukan pola asuh yang tepat dalam membesarkan anak tunggal.

Usahakan jangan pernah memaksakan kehendak orangtua kepada anak tunggal. Karena hanya memiliki satu anak dalam keluarga, harapan orangtua pasti semua akan tertuju kepada anak tunggal. 

Jika orangtua salah menyampaikan keinginannya kepada anak tunggalnya, bisa jadi akan berdampak secara psikologis. Anak bisa jadi orang yang penyendiri, pemurung, tidak mau bersosialisasi, dan lain sebagainya.

Beri kesempatan anak tunggal untuk bergaul dan memiliki teman sebanyak mungkin bisa menjadi salah satu kunci penting. Orangtua yang memiliki anak tunggal akan cenderung menjadi orangtua yang protektif. Hal ini dikarenakan orangtua tak ingin anaknya terjerumus ke dalam pergaulan yang salah.

Tapi, cobalah beri ruang anak tunggal untuk mengeksplorasi hal-hal baru yang tak ia dapatkan di rumah. Tidak adanya saudara yang bisa ia ajak diskusi, bercanda, berdebat, hingga berkelahi di rumah membuat anak tunggal merasa haus akan perasaan memiliki teman dekat untuk berbagi rasa.

Dengan memberinya ruang untuk mengenal dan mendapatkan teman untuk berbagi rasa, niscaya seorang anak tunggal juga pasti akan sangat terbuka dengan orangtuanya. 

Hal ini tentu akan menjadi sangat baik mengingat nantinya hanya anak tunggallah yang sangat peduli, perhatian, dan pasti akan merawat orangtuanya dengan sepenuh hati ketika orangtuanya sakit.

Berdiskusi dengan Pasangan terkait Jumlah Anak Sebelum Memutuskan untuk Hamil

Berkaca dari pengalaman saya sebagai anak tunggal, kelak ketika saya akan menikah berapa jumlah anak yang diinginkan nanti akan menjadi poin utama yang perlu dibahas. Bukannya saya mengeluh dengan apa yang sudah saya alami ini. 

Akan tetapi saya hanya tak ingin anak saya nanti merasakan tekanan yang sama dengan apa yang saya alami. Paling tidak, anak saya nanti bisa berbagi atau sekadar berdiskusi dengan saudara kandungnya terkait masalah dan beban yang sedang dia alami.

Tanyakan juga kepada pasangan bagaimana pandangannya terhadap jumlah anak ini. Apakah ia akan keberatan jika memiliki anak lebih dari satu atau malah memang ingin memiliki anak tidak hanya satu.

Dalam diskusi ini juga terkait dengan penentuan pola asuh anak kelak. Hal-hal apa saja yang akan diterapkan kelak jika keputusannya hanya memiliki satu anak, dua anak, tiga anak, anak kembar, dan seterusnya.

Menentukan bagaimana pola asuh anak yang akan diterapkan kelak akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak itu sendiri. Dalam menangani anak tunggal, jika pola asuh yang diterapkan salah akan berakibat fatal. 

Faktor psikologis anak terutama jika hanya memiliki anak tunggal perlu menjadi perhatian utama. Masa tumbuh kembang seorang anak tunggal tentu akan sangat menentukan seperti apa dirinya kelak di masa depan dengan segala harapan dan tanggung jawab besar yang sudah menantinya.

Jadi dalam berdiskusi, usahakan jangan memaksakan kehendak satu sama lain. Temukanlah jalan keluar dari apa yang telah diutarakan masing-masing. Jika memang belum menemukan jalan keluar, ada baiknya jangan terburu-buru memutuskan untuk memiliki anak.

--

Memiliki anak tunggal sebenarnya tidak masalah sama sekali kalau sudah paham segala risiko dan solusinya. Begitupun dengan memiliki dua, tiga, kembar, empat, dan seterusnya. 

Selama calon orangtua siap akan segala risiko,tanggung jawab, dan juga solusi sebelum memutuskan hamil lalu memiliki anak dengan jumlah anak berapa pun niscaya akan berjalan baik-baik saja.

Bahan bacaan:

TheAsianParent
TheAsianParent
Kompas
Artikel Kompasianer Martha Weda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun