Mohon tunggu...
Fri Yanti
Fri Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pengajar

suka hujan, kopi, sejarah, dan buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Kekerasan terhadap Anak, Kapankah Berakhir?

27 Januari 2024   07:00 Diperbarui: 28 Januari 2024   20:53 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Freepik

Seorang anak perempuan berusia delapan tahun menjadi korban pembunuhan di  Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. 

Tifa, anak perempuan yang dibunuh itu sebelumnya sempat dinyatakan hilang oleh keluarganya.  Pelakunya bernama Aning (24) yang tak lain adalah tante korban. Seperti yang dilansir dari detikcom (20/1/24), pelaku mengajak korban untuk memetik sayur.

Tifa yang polos khas anak-anak  tentunya tak berpikiran buruk pada tantenya itu. Anak perempuan itu tak tahu kalau pisau yang dibawa Aning akan menghujam tubuhnya. Membuat lehernya terpisah dari badannya.

Setelah membunuh Tifa, Aning mengambil perhiasan Tifa  dan mendorong tubuh anak kecil itu ke selokan. Aning kembali ke rumahnya untuk mandi.  Dengan membawa anak balitanya yang tadi dia titipkan di rumah seorang saudara , dia bergegas pergi ke toko perhiasan untuk menjual hasil jarahannya. 

Uang hasil penjualan perhiasan itu dia belikan handphone baru yang sudah lama dia idamkan. Dia juga membeli popok untuk anak balitanya dan beberapa cemilan. 

Sebelum jasad Tifa ditemukan, dengan lagak tak berdosa, Aning membeberkan kesaksian tentang kali terakhir dia melihat Tifa pada  Bupati Mongondow Timur yang pada saat itu mengunjungi rumah orang tua korban. 

Rasanya ngilu ketika saya membaca berita ini. Betapa besar pengaruh harta kekayaan pada seseorang hingga sanggup menutupi hati nurani. 

Kasus ini viral di media sosial beberapa hari terakhir. Dari sana, saya mendapat jugai bahwa Aning masih sempat-sempatnya berdoa pada Tuhan agar perbuatan bejatnya itu tidak ketahuan. Waduh!

Di daerah Ketapang beberapa waktu lalu, juga dikabarkan  bahwa seorang bocah perempuan bernama Yesa menjadi korban penyiksaan oleh orang tua angkatnya.

Orang tua angkat  Yesa ini masih memiliki hubungan keluarga dengan orang tua kandung  Yesa.  Dalam tradisi Suku Dayak pengangkatan anak oleh sanak keluarga lumrah terjadi. Tujuannya adalah menjamin kehidupan si anak angkat. 

Jadi, Yesa diiadopsi sejak 2021 pada saat dia berusia lima tahun. Bukannya diperlakukan dengan baik, Yesa  malah  mengalami kekerasan fisik sejak dia diadopsi. 

Yang paling dominan melakukan kekerasan adalah ibu angkatnya. Parahnya, para karyawan yang bekerja di toko miliki orang tua angkatnya juga melakukan kekerasan. 

 

Bukan hanya ibu angkatnya saja yang menyiksa, melainkan juga para karyawan yang bekerja di toko orang tua angkatnya. Adapun Bapak angkatnya Yesa malah melakukan pembiaran. 

Masih dari sumber yang sama,  detikcom (4/12/23),  Yesa saat itu sedang dilatih berenang oleh ibu angkatnya. Kesal karena susah diajari, Si Ibu angkat membenamkam kepala Yesa berulang-ulang hingga mengeluarkan darah. Yesa lantas dibawa ke rumah sakit, namun meninggal dalam perjalanan. 

Kejadian yang dialami Tifa dan Yesa menambah deretan panjang kasus kekerasan terhadap anak yang seolah tak ada habisnya.  UU perlindungan anak seolah tak mampu memberikan efek jera bagi para pelaku. Kampanye-kampanye perlindungan anak seolah tak sanggup juga meluluhkan hati orang-orang dewasa.

Bumi seakan tidak ada aman lagi untuk anak-anak kecil seperti Tifa dan Yesa.  Siapa yang  bertanggung jawab membuat dunia anak-anak menjadi  semenakutkan ini? 

Katadata.co.id (29/12/23) mencatat, angka kasus kekerasan terhadap anak mencapai 3.547 kasus. Hal ini dilaporkan oleh Komnas Perlindungan Anak.  Lia Latifah, Pjs Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa pada 2023 kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan sebanyak 30%.  

Para pelaku kekerasan kebanyakan orang-orang terdekat, seperti orang tua atau kerabat seperti yang dilakukan oleh seorang ayah  di Jagakarsa yang membunuh empat orang anaknya

 Miris sekali. Anak-anak itu  harus meregang nyawa di tangan orang dewasa yang seharusnya melindungi mereka

Lalu apa yang harus dilakukan?

Penanggulangan kekerasan terhadap anak sebaiknya dimulai terlebih dahulu  dari rumah . Rumah mestinya menjadi tempat yang aman bagi anak sebab salah satu fungsi lembaga keluarga adalah memberikan perlindungan.

Kalau rumah saja menjadi momok yang menakutkan, kemana lagi anak-anak itu mencari perlindungan? 

Anak-anak kecil itu mestinya mendapat tempat berlindung yang aman. Tempat dimana dia bisa  tumbuh dan berkembang dengan baik.

Dalam hal ini perlu kesadaran bagi para orang tua. Orang tua tidak seharusnya melampiaskan kemarahan pada anak-anak. Seberapa besar kemarahan kita pada pasangan, sebaiknya jangan melampiaskan pada anak-anak.

Hal itu dapat menimbulkan trauma. Anak-anak yang sering mengalami kekerasan fisik bukan tidak mungkin akan menjadi pelaku kekerasan ketika mereka dewasa kelak, 

Aksi-aksi kejahatan berat, kebanyakan disebabkan oleh masa kecil yang kelam. Ini seperti lingkaran setan.  Anak-anak yang trauma, tumbuh dewasa dengan setumpuk luka, lalu melampiaskan dendam masa lalunya pada orang-orang yang tidak bersalah. Begitu seterusnya. 

Oleh karena itu, lembaga keluarga mesti dibenahi terlebih dahulu. Masyarakat juga berperan penting dalam penanggulangan kekerasan terhadap anak. Jangan sungkan untuk melaporkan pada pihak yang  berwenang bila terjadi kasus kekerasan terhadap anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun