Mereka memohon agar sang Rakryan meninjau kembali penetapan pajak atas sawah mereka yang dianggap sangat memberatkan. Untuk mengajukan permohonan tersebut, mereka dikenai biaya sebesar  3 kati (2,4 kg), 3 suwarna Emas, dan seekor kerbau.
Namun sayangnya, Sang Rakryan keburu meninggal sebelum membuat keputusan. Para Rama kemudian pergi menghadap Dyah Balitung, penguasa tertinggi Mataram Kuno.Â
Mereka memohon agar sang Raja sudi kiranya meringankan pajak sawah mereka.
Untuk mengajukan permohonan ini pada Raja ini pun, mereka dikenakan biaya lagi berupa lima kati untuk Sang Raja dan lima orang Rakryan.
Para pengantara sengaja melipatgandakan biaya-biaya itu agar dapat mencukupi kebutuhannya. Mereka diberikan sedikit gaji oleh  Kerajaan sehingga perlu dana tambahan.Â
Dalam bukunya yang berjudul Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, Ong Hok Ham menulis bahwa para staf atau pegawai yang tinggal jauh dari pusat kerajaan kebanyakan berdiri sendiri dalam hal keuangan. Mereka harus mencari nafkah sendiri dari kedudukannya itu. Gaji resmi tidak diterima atau tidak mencukupi. Hal inilah yang menyebabkan mereka melakukan pungutan ilegal.Â
Hal ini berlangsung terus hingga bangsa asing masuk ke Indonesia. Para pejabat yang tidak memihak rakyat pribumi akan turut serta mengeskploitasi ekonomi bersama penjajah. Pemerintah kolonial akan memberikan mereka sejumlah imbalan besar apabila mereka berhasil membuat rakyat meningkatkan hasil panennya.
Â
Pungli di Era Modern
Saat ini zaman  semakin modern.  Pungli menyaru menjadi uang pelicin, uang rokok, uang masuk, uang makan agar urusan dapat selesai dengan cepat. Tak hanya dilakukan oleh aparatur pemerintah, tetapi juga masyarakat biasa.
Ada beberapa penyebab orang-orang melakukan pungli. Pertama, penyalahgunaan wewenang. Orang-orang yang tidak memiliki integritas yang tinggi terhadap wewenang yang diembannya cenderung akan melakukan pungli.