Surat kabar lokal beberapa waktu lalu,  memberitakan kejadian yang kurang mengenakkan. Seorang pengendara sepeda motor bersama temannya nyaris menjadi korban pemukulan oleh  pemuda setempat saat berkunjung ke sebuah tempat wisata pemandian air panas.Â
Sebabnya, Si pengendara motor enggan memberikan uang masuk sebesar 20.000 rupiah kepada mereka  Alasannya, tidak ada pungutan lagi untuk masuk ke tempat wisata tersebut. Telah  bertahun-tahun lamanya, tempat wisata tersebut menjadi sumber pemasukan bagi oknum setempat yang melakukan pungutan liar.Â
Pemerintah setempat  memang sudah melarang para penduduk untuk tidak melakukan pungutan liar bagi setiap  pengunjung yang akan berwisata . Hal ini juga dilandasi oleh peraturan pemerintah propinsi yang melarang adanya kutipan uang secara ilegal  di tempat-tempat wisata.
Tetapi para pemuda setempat tidak terima. Mereka memaksa dan mengancam akan memukul pesepeda motor itu  dengan batu bila uangnya tidak diberi. Untunglah pihak yang berwajib segera datang dan langsung mengamankan para pemuda itu.
Asal Muasal Pungli
Pungli atau pungutan liar sepertinya telah menjadi budaya bangsa ini. Semua orang bisa terlibat di dalamnya. Mulai dari aparatur pemerintah, oknum pelayanan publik, hingga warga biasa. Â
Pungli sudah ngetren pada zaman kerajaan-kerajaan kuno. Mulai dari Mataram Kuno hingga Kerjaaan-kerajaan Islam.Â
Pada Kerajaan Mataram Kuno, misalnya, pungli dilakukan oleh pengantara yang dijabati mulai dari kepala daerah hingga pelayan biasa.
 Para pengantara itu sengaja menggelembungkan upeti untuk memperlancar urusan rakyat yang punya kepentingan dengan seorang pemimpin tertinggi suatu daerah.Â
Hal ini terlihat pada Prasasti Kinәwu, yang berangka tahun 907 M. Pada prasasti tersebut diceritakan  bahwa para rama (setingkat Kepala Desa) pergi menghadap Rakryan I Randaman Pu Warna yang adalah seorang penguasa wilayah Randaman.
Mereka memohon agar sang Rakryan meninjau kembali penetapan pajak atas sawah mereka yang dianggap sangat memberatkan. Untuk mengajukan permohonan tersebut, mereka dikenai biaya sebesar  3 kati (2,4 kg), 3 suwarna Emas, dan seekor kerbau.
Namun sayangnya, Sang Rakryan keburu meninggal sebelum membuat keputusan. Para Rama kemudian pergi menghadap Dyah Balitung, penguasa tertinggi Mataram Kuno.Â
Mereka memohon agar sang Raja sudi kiranya meringankan pajak sawah mereka.
Untuk mengajukan permohonan ini pada Raja ini pun, mereka dikenakan biaya lagi berupa lima kati untuk Sang Raja dan lima orang Rakryan.
Para pengantara sengaja melipatgandakan biaya-biaya itu agar dapat mencukupi kebutuhannya. Mereka diberikan sedikit gaji oleh  Kerajaan sehingga perlu dana tambahan.Â
Dalam bukunya yang berjudul Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, Ong Hok Ham menulis bahwa para staf atau pegawai yang tinggal jauh dari pusat kerajaan kebanyakan berdiri sendiri dalam hal keuangan. Mereka harus mencari nafkah sendiri dari kedudukannya itu. Gaji resmi tidak diterima atau tidak mencukupi. Hal inilah yang menyebabkan mereka melakukan pungutan ilegal.Â
Hal ini berlangsung terus hingga bangsa asing masuk ke Indonesia. Para pejabat yang tidak memihak rakyat pribumi akan turut serta mengeskploitasi ekonomi bersama penjajah. Pemerintah kolonial akan memberikan mereka sejumlah imbalan besar apabila mereka berhasil membuat rakyat meningkatkan hasil panennya.
Â
Pungli di Era Modern
Saat ini zaman  semakin modern.  Pungli menyaru menjadi uang pelicin, uang rokok, uang masuk, uang makan agar urusan dapat selesai dengan cepat. Tak hanya dilakukan oleh aparatur pemerintah, tetapi juga masyarakat biasa.
Ada beberapa penyebab orang-orang melakukan pungli. Pertama, penyalahgunaan wewenang. Orang-orang yang tidak memiliki integritas yang tinggi terhadap wewenang yang diembannya cenderung akan melakukan pungli.
Kedua, faktor ekonomi. Penghasilan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, akan menyebabkan seseorang melakukan pungli. Ketiga, faktor budaya. Nah, Â ini yang menurut saya menjadi faktor utama terjadinya pungli.
Orang-orang yang ingin urusannya cepat selesai sudah terbiasa memberikan tip pada oknum dari sebuah lembaga atau organisasi. . Oknum-oknum penerima tip pun akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar,sehingga  menimbulkan semacam efek ketagihan tip atau imbalan.
Parahnya, masyarakat seolah memaklumi keadaan itu sehingga  enggan memutus rantai budaya pungli ini. Bolehlah dikatakan bahwa Pungli  lahir dari perilaku masyarakat itu sendiri. Dan  karena lahir  dari masyarakat maka masyarakat itu juga yang harus menghentikannya.
Pembentukan Satgas Saber Pungli rasanya tidak cukup untuk memberantas pungli ini. Tidak hanya  menjadi urusan sepihak, melainkan juga menjadi urusan semua orang. Perlu integritas antara pemerintah dan masyarakat agar pemberantasan pungli ini dapat dilakukan secara optimal.
Referensi :Â
Boechari,  Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti,  Kepustakaan Populer Gramedia  : Jakarta, 2012
Ong Hok Ham, Pungli dalam Sejarah Kita dalam Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H