Mohon tunggu...
Fristianty Ltrn
Fristianty Ltrn Mohon Tunggu... Administrasi - NGO

Penulis Pemula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beno Sudah Tidak Bisu Lagi

8 Juli 2017   11:34 Diperbarui: 8 Juli 2017   11:46 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan turun semakin deras. Sejam dua jam, berjam jam..air mulai naik.
Beno, anak sebatang kara, melihat rintik hujan dari atas pohon yang rimbun daunnya. Beno anak yang periang, mau diajak bercakap cakap, walau dia hanya akan menjawab dengan gerak tangan dan suara "ah..uh..ah" berusaha menjelaskan apa yang akan disampaikannya.

"Beno sudah makan?" Tanya Tuti penuh perhatian, mendongak kearah Beno di atas pohon.

Beno mengangguk. Tuti adalah warga desa dengan anak satu, salah seorang yang perduli dengan Beno yang sebatang kara.

"Makan dari mana?" Tuti menebak nebak dalam hatinya.

Beno menunjuk rumah tetangga sebelah kiri.

"Oh..nenek yang kasih kamu makan?" ujar Tuti sambil senyum. Nenek yang dimaksud adalah tetangga Tuti, Ibu Ning, seorang ibu pensiunan guru, yang sangat perhatian pada anak anak sekampung, termasuk Beno.

Tidak ada yang tahu siapa Beno, dari mana persis asal usulnya. Yang mereka tahu kampung ini adalah dulu kampung yang sunyi, dengan aliran sungai deras melintas di tengah desa. Sebelum satu demi satu penduduk datang bermukim disini, Beno sudah ada. 

Sebenarnya pun tidak ada yang tahu siapa nama Beno sesungguhnya, apa itu nama asli atau bukan. Yang jelas kalau ditanya dia akan menjawab "beeehnooo.." dan orang orang  menyimpulkan dia sedang bilang kalau namanya "Beno" dan kalau dipanggil dengan nama itu dia akan datang. Jadilah semua menyebut dia Beno.

Beno, sudah usia cukup dewasa..mungkin usianya dua puluhan..tidak ada yang tahu persis..wajah tampan..tapi tidak bisa bicara. Dia hanya menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. 

Dia anak periang sebenarnya, setiap ada pengamen keliling, dia akan ikut berjoget dengan riang mengikuti irama musik. 

Beno, pemuda yang baik hati. Tidak bisa bicara, tapi hatinya bicara, selalu ingin menolong setiap ibu ibu yang perlu pertolongan, misalnya bawa belanjaan yang cukup berat dari pasar..dengan rela tanpa pamrih dia akan bantu mengangkat barang barang, memang sih kadang ada yang memberi  makanan sebagai tanda balas jasanya tapi terkadang ada yang hanya bilang "Makasih ya Beno" tapi Beno tidak urung untuk menolong lagi..

Beno anak periang..tapi akan selalu terlihat sedih setiap kali melihat hujan. Dia akan menatap sungai dari rumahnya di atas pohon, melihat hujan terus menerus. 

Iya, rumahnya di atas pohon. Sudah tidak terhitung berapa banyak yg mengajak dia tinggal di rumah, tapi dia selalu menggeleng..pernah mau tinggal 1 atau 2 hari tapi dengan segera dia akan kembali ke rumah
pohonnya. 

Dua hari ini sudah hujan terus menerus..sungai pun kelihatan meninggi dengan air yang terlihat coklat.
Perkampungan ini sudah cukup khawatir, Pak Atong, tetua desa pernah cerita kalau pernah ada banjir bandang tujuh belas tahun yang lalu..hampir seluruh desa tersapu banjir yang datang tiba tiba. Pak Atong dengan halus mengingatkan warga agar waspada, manatau banjir bandang datang lagi. Ya..semua merasa was was..tak terkecuali Beno.

Apakah dia juga merasa was was? Tidak ada yang tahu..yang mereka lihat Beno selalu melihat sungai yang kelihatan coklat itu dengan mata waspada. Dia berdiri di rumah pohonnya bisa sampai setengah hari, melihat air sungai dengan mata tajam.

Pagi ini hujan kembali rintik, ini hari ketiga..tadi malam hujan sangat deras, semua orang sudah sangat khawatir, kalau banjir bandang bakal tiba tiba datang..tapi warga berusaha bersikap wajar, agar anak anak jangan takut sekolah..ibu ibu menyimpan kekhawatiran dalam hati sambil tetap memasak dan membereskan rumah masing-masing, para bapak ada yang sengaja tidak pergi ke kantor atau ke ladang manatau benar benar banjir bandang datang. 

Dan Beno berdiri di rumah pohonnya dengan mata was was menatap sungai yang cukup gelap warnanya.

Tiba tiba Beno berteriak "Bapak...!!"

Beno berlari menuruni rumah pohonnya..orang-orang  terkaget kaget mengikuti kemana Beno berlari.

"Bapak..bapak..tolong bapak" teriak Beno semakin kencang menuju sungai..para anak remaja dan bapak bapak  yang ada di pekarangan rumah berlari mengikuti kemana Beno berlari..benarlah ternyata ada seorang laki laki usia setengah baya terhanyut di sungai.

"Ayo tolong..yang pandai berenang..ayo berani terjun.." suara riuh rendah, Pak Atong memberi komando. Banyak anak muda dan bapak bapak yang tanpa memperdulikan pakaian mereka langsung terjun ke sungai yang meluap..menolong seorang bapak yang terhanyut..termasuk Beno, dia berenang terus tanpa lelah..bersama mereka membopong laki laki setengah baya yang terhanyut itu. 

Beno terengah-engah..dengan wajah sangat lega dan senyum sumringah melihat laki laki itu siuman.

"Beno, kamu bicara.." satu suara nyeletuk dan tiba tiba mereka semua tersadar  dan sama sama melihat ke Beno yang juga tersadar kalau dia bicara.

"Nak, kamu sudah sembuh "kata Pak Atong menepuk pundak Beno. Beno tersenyum. Beno benar benar sudah bisa bicara. Akhirnya Beno bercerita dan semua orang terperangah. Beno ternyata tidak bisu sejak kecil, tapi banjir bandang 17 belas tahun lalu telah membuat dia sebatang kara. Ibunya terhanyut bersama bapak serta kakaknya. Beno bisa menyelamatkan diri dan kembali ke desa itu seorang diri dan bertahan hidup di rumah pohon buatan nya. Dia sangat senang bisa menyelamatkan laki laki setengah baya itu.

Dia bercerita kalau desa itu dulu ramai dan banyak turis lokal dan bule bule, karena desa itu di kaki bukit, pepohonan tersusun dalam bingkai hutan menghijau dan pemandangan indah dan banyak monyet yang  bisa menari. Ternyata dipuncak bukit sudah banyak penebangan pohon yang terjadi
bertahun tahun, malang pada penduduk desa, hujan tidak berhenti berhari hari dan banjir bandang melanda, menelan korban.

"Waktu aku melihat bapak tadi, aku langsung teringat bapak dan tiba tiba  aku berteriak sekuat tenaga..aku seperti melihat wajah bapak.." kata Beno menyudahi ceritanya. 

"Jadi siapa namamu sebenarnya" celetuk salah seorang warga iseng.

Beno tertawa.."Ya iya, Beno.." katanya dan semua warga tertawa. Mereka riang bukan hanya karena hujan mulai reda, banjir bandang yang tidak jadi datang tapi juga karena Beno sudah tidak bisu lagi. Beno diajak Pak Seto, laki laki yang hanyut tadi, untuk tinggal bersama nya dipangkal sungai, Beno menolak, dia memilih tinggal di desanya, tempat kenangan nya bersama keluarganya. 

Beno kini menjadi Beno yang baru, tidak bisu lagi. Beno tetap menyayangi kampungnya, warga desa baru yang mengasihinya apa adanya. Tapi dia tidak lagi tinggal di atas pohon, Pak Atong mengajaknya tinggal dirumahnya, sekali ini Beno mengiyakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun